Kepemimpinan Nasional Berbasis Kepala Daerah, Jokowi sebagai Role Model
Senin, 16 November 2020 - 15:44 WIB
JAKARTA - Ada beberapa kepala daerah yang namanya sangat menonjol dalam takaran politik nasional . Beberapa nama tersebut memiliki kekuatan strategis dalam memimpin daerahnya sehingga implikasi kepemimpinannya menggema dalam skala nasional.
Sebut saja Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Prof Dr Nurdin Abdullah (Gubernur Sulsel), DR Anis Baswedan (Gubernur DKI), Khofifah Indarparawangsa (gubernur Jatim), dan Gubernur Bali I Wayan Koster. Keenam nama ini memiliki brand yang sangat kuat sebagai kepala daerah yang secara ketokohan dan kepemimpinannya sangat diperhitungkan dalam kancah nasional. (Baca juga: Menakar Peluang Anies Baswedan Melaju di Pilpres 2024)
Wajar brand kepala daerah saat ini menjadi menarik karena Presiden Jokowi menjadi mirror atau role model bagi setiap kepala daerah yang ingin menapaki kariernya sampai pucuk pimpinan nasional. Pasca Presiden Jokowi mengakhiri jabatannya di 2024, tentu kompetisi dalam perebutan posisi pucuk pimpinan nasional akan semakin menarik, karena beberapa kepala daerah tersebut akan muncul dalam sketsa persaingan dengan tokoh tokoh nasional lainnya yang saat ini sedang bersiap siap. (Baca juga: Mengukur Peluang Ridwan Kamil di Pilpres 2024)
Untuk konteks Indonesia saat ini, yang masih banyak tantangan di berbagai bidang, kepemimpinan yang berbasis dari kepala daerah sangat relevan dan perlu diberi jalan yang lebar untuk melanjutkan kepemimpinan Presiden Jokowi yang juga sama sama berbasis kepala daerah. (Baca juga: Pernah Salip Prabowo, Ganjar Punya Kans Bersaing di Pilpres 2024)
Ada kelebihan kelebihan yang bisa dirasakan dalam kepemimpinan berbasis kepala daerah, yakni kepala daerah terbiasa turun ke bawahdan dekat dengan rakyat, terbiasa detail, terbiasa menginventarasi persoalan dan menyelesaikannya dengan cepat. Mereka meminimalisasi retorika dan menguatkan hasil kerja yang nyata.
Ketika kultur kepemimpinan berbasis kepala daerah ini di bawa ke level nasional tentu akan memberi dampak terhadap akselarasi pembangunan nasional di berbagai bidang. Ini sebuah wacana positif yang perlu disebarkan dalam diskursus politik pasca kepemimpinan Presiden Jokowi di 2024.
Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah tokoh tokoh nasional yang saat ini sedang bersiap siap berkompetisi di 2024 kredibilitasa kepemimpinannya masih diragukan? Jika muncul pertanyaan seperti ini, tentunya narasi yang dibangun untuk memberikan jalan yang lebar bagi kepemimpinan nasional yang berbasis kepala daerah tidak otomatis melemahkan sejumlah tokoh nasional yang berminat maju di 2024. (Baca juga: Nurdin Abdullah Disebut Figur yang Layak Diperhitungkan di Pilpres 2024)
Demokrasi kita tidak pernah mendiskriminasi ketokohan seseorang yang dibangun dari daerah maupun dari kancah nasional. Mereka tetap memiliki hak dan peluang yang sama. Namun poin yang ingin disampaikan dalam narasi kepemimpinan nasional yang berbasis kepala daerah ini adalah, bagaimana negara ini benar-benar dipikirkan dalam pengelolaannya agar keberadaannya memberikan manfaat bagi kepentingan rakyat dan menguatkan bangsa secara global.
Jadi bukan memikirkan negara dalam kontek terbatas hanya bagaimana menjaga dan mempertahankannnya. Ketika narasi yang terbangun sekadar menjaga dan mempertahankannya tentu banyak memberi celah kelemahan terhadap bangsa ini.
Sebut saja Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Prof Dr Nurdin Abdullah (Gubernur Sulsel), DR Anis Baswedan (Gubernur DKI), Khofifah Indarparawangsa (gubernur Jatim), dan Gubernur Bali I Wayan Koster. Keenam nama ini memiliki brand yang sangat kuat sebagai kepala daerah yang secara ketokohan dan kepemimpinannya sangat diperhitungkan dalam kancah nasional. (Baca juga: Menakar Peluang Anies Baswedan Melaju di Pilpres 2024)
Wajar brand kepala daerah saat ini menjadi menarik karena Presiden Jokowi menjadi mirror atau role model bagi setiap kepala daerah yang ingin menapaki kariernya sampai pucuk pimpinan nasional. Pasca Presiden Jokowi mengakhiri jabatannya di 2024, tentu kompetisi dalam perebutan posisi pucuk pimpinan nasional akan semakin menarik, karena beberapa kepala daerah tersebut akan muncul dalam sketsa persaingan dengan tokoh tokoh nasional lainnya yang saat ini sedang bersiap siap. (Baca juga: Mengukur Peluang Ridwan Kamil di Pilpres 2024)
Untuk konteks Indonesia saat ini, yang masih banyak tantangan di berbagai bidang, kepemimpinan yang berbasis dari kepala daerah sangat relevan dan perlu diberi jalan yang lebar untuk melanjutkan kepemimpinan Presiden Jokowi yang juga sama sama berbasis kepala daerah. (Baca juga: Pernah Salip Prabowo, Ganjar Punya Kans Bersaing di Pilpres 2024)
Ada kelebihan kelebihan yang bisa dirasakan dalam kepemimpinan berbasis kepala daerah, yakni kepala daerah terbiasa turun ke bawahdan dekat dengan rakyat, terbiasa detail, terbiasa menginventarasi persoalan dan menyelesaikannya dengan cepat. Mereka meminimalisasi retorika dan menguatkan hasil kerja yang nyata.
Ketika kultur kepemimpinan berbasis kepala daerah ini di bawa ke level nasional tentu akan memberi dampak terhadap akselarasi pembangunan nasional di berbagai bidang. Ini sebuah wacana positif yang perlu disebarkan dalam diskursus politik pasca kepemimpinan Presiden Jokowi di 2024.
Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah tokoh tokoh nasional yang saat ini sedang bersiap siap berkompetisi di 2024 kredibilitasa kepemimpinannya masih diragukan? Jika muncul pertanyaan seperti ini, tentunya narasi yang dibangun untuk memberikan jalan yang lebar bagi kepemimpinan nasional yang berbasis kepala daerah tidak otomatis melemahkan sejumlah tokoh nasional yang berminat maju di 2024. (Baca juga: Nurdin Abdullah Disebut Figur yang Layak Diperhitungkan di Pilpres 2024)
Demokrasi kita tidak pernah mendiskriminasi ketokohan seseorang yang dibangun dari daerah maupun dari kancah nasional. Mereka tetap memiliki hak dan peluang yang sama. Namun poin yang ingin disampaikan dalam narasi kepemimpinan nasional yang berbasis kepala daerah ini adalah, bagaimana negara ini benar-benar dipikirkan dalam pengelolaannya agar keberadaannya memberikan manfaat bagi kepentingan rakyat dan menguatkan bangsa secara global.
Jadi bukan memikirkan negara dalam kontek terbatas hanya bagaimana menjaga dan mempertahankannnya. Ketika narasi yang terbangun sekadar menjaga dan mempertahankannya tentu banyak memberi celah kelemahan terhadap bangsa ini.
tulis komentar anda