Kepemimpinan Nasional Berbasis Kepala Daerah, Jokowi sebagai Role Model
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ada beberapa kepala daerah yang namanya sangat menonjol dalam takaran politik nasional . Beberapa nama tersebut memiliki kekuatan strategis dalam memimpin daerahnya sehingga implikasi kepemimpinannya menggema dalam skala nasional.
Sebut saja Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Prof Dr Nurdin Abdullah (Gubernur Sulsel), DR Anis Baswedan (Gubernur DKI), Khofifah Indarparawangsa (gubernur Jatim), dan Gubernur Bali I Wayan Koster. Keenam nama ini memiliki brand yang sangat kuat sebagai kepala daerah yang secara ketokohan dan kepemimpinannya sangat diperhitungkan dalam kancah nasional. (Baca juga: Menakar Peluang Anies Baswedan Melaju di Pilpres 2024)
Wajar brand kepala daerah saat ini menjadi menarik karena Presiden Jokowi menjadi mirror atau role model bagi setiap kepala daerah yang ingin menapaki kariernya sampai pucuk pimpinan nasional. Pasca Presiden Jokowi mengakhiri jabatannya di 2024, tentu kompetisi dalam perebutan posisi pucuk pimpinan nasional akan semakin menarik, karena beberapa kepala daerah tersebut akan muncul dalam sketsa persaingan dengan tokoh tokoh nasional lainnya yang saat ini sedang bersiap siap. (Baca juga: Mengukur Peluang Ridwan Kamil di Pilpres 2024)
Untuk konteks Indonesia saat ini, yang masih banyak tantangan di berbagai bidang, kepemimpinan yang berbasis dari kepala daerah sangat relevan dan perlu diberi jalan yang lebar untuk melanjutkan kepemimpinan Presiden Jokowi yang juga sama sama berbasis kepala daerah. (Baca juga: Pernah Salip Prabowo, Ganjar Punya Kans Bersaing di Pilpres 2024)
Ada kelebihan kelebihan yang bisa dirasakan dalam kepemimpinan berbasis kepala daerah, yakni kepala daerah terbiasa turun ke bawahdan dekat dengan rakyat, terbiasa detail, terbiasa menginventarasi persoalan dan menyelesaikannya dengan cepat. Mereka meminimalisasi retorika dan menguatkan hasil kerja yang nyata.
Ketika kultur kepemimpinan berbasis kepala daerah ini di bawa ke level nasional tentu akan memberi dampak terhadap akselarasi pembangunan nasional di berbagai bidang. Ini sebuah wacana positif yang perlu disebarkan dalam diskursus politik pasca kepemimpinan Presiden Jokowi di 2024.
Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah tokoh tokoh nasional yang saat ini sedang bersiap siap berkompetisi di 2024 kredibilitasa kepemimpinannya masih diragukan? Jika muncul pertanyaan seperti ini, tentunya narasi yang dibangun untuk memberikan jalan yang lebar bagi kepemimpinan nasional yang berbasis kepala daerah tidak otomatis melemahkan sejumlah tokoh nasional yang berminat maju di 2024. (Baca juga: Nurdin Abdullah Disebut Figur yang Layak Diperhitungkan di Pilpres 2024)
Demokrasi kita tidak pernah mendiskriminasi ketokohan seseorang yang dibangun dari daerah maupun dari kancah nasional. Mereka tetap memiliki hak dan peluang yang sama. Namun poin yang ingin disampaikan dalam narasi kepemimpinan nasional yang berbasis kepala daerah ini adalah, bagaimana negara ini benar-benar dipikirkan dalam pengelolaannya agar keberadaannya memberikan manfaat bagi kepentingan rakyat dan menguatkan bangsa secara global.
Jadi bukan memikirkan negara dalam kontek terbatas hanya bagaimana menjaga dan mempertahankannnya. Ketika narasi yang terbangun sekadar menjaga dan mempertahankannya tentu banyak memberi celah kelemahan terhadap bangsa ini.
Sudah banyak sejarah yang bisa dilihat pada bangsa ini, yang menyebabkan Indonesia hanya berjalan di tempat, sementara bangsa-bangsa lain di sekitar Indonesia, sudah berlari jauh meninggalkan bangsa kita. Tentu Indonesia tidak mau terjebak dalam jeratan masa lalu yang tidak baik. (Baca juga: Pengamat: HRS Bisa Jadi Pendorong Tokoh Tertentu Maju di Pilpres 2024)
Yang diinginkan adalah bagaimana Indonesia bisa merevitalisasi narasi-narasi yang kurang pas dalam kepemimpinan nasional pada bangsa ini. Ada contoh menarik, dalam mindset kepemimpinan nasional sering tidak bisa menghindari apa yang disebut mencari pinjaman untuk menutupi minus dari APBN danhal ini seperti menjadi sebuah kelaziman dalam setiap era.
Namun ada narasi yang positif yang dibangun oleh Gubernur Sulsel, Prof Nurdin Abdullah ; untuk apa kita mencari pinjaman? Narasi ini dimaksudkan agar dalam setiap kepemimpinan tidak memfokuskan setiap penyelesaian persoalan kebangsaan dengan mencari pinjaman, namun dengan membangun postulat pembangunan yang benar.
Ide Prof Nurdin ini didesain agar bangsa ini juga diarahkan untuk menguatkan pembangunan di industripangan, karena Indonesia memiliki kekuatan besar dalam potensi pangan. untuk merealisasikan pemikiran ini, dibuatlah zonasi wilayah yang bisa dijadikan pusat produksi dan lumbung pangan.
Pendekatan ini sekaligus menguatkan Indonesia menjadi penyangga pangan dunia. Melalui penguatan pangan ini, daya tahan ekonomi Indonesia juga akan makin kuat terutama saat menghadapi pandemi sekarang ini, yang bisa berbicara banyak adalah industri pangan karena sangat jelas kontribusinya dalam menopang ekonomi rakyat.
Tentu tidak hanya Prof Nurdinyang memiliki ide ide besar lain. Masih banyak anak bangsa yang juga mempunyai gagasan yang bisa diimplementasikan dalam memperbaiki pembangunan nasional. Termasuk juga nama nama kepala daerah yang sudah disebut di awal, yakni Ridwan Kamil, Anis Baswedan, Ganjar Pranowo , Khofifah Indarparawangsa, Gubernur Bali I Wayan Koster dan tentu masih ada kepala daerah yang lainnya.
Dengan kekhasan masing-masing mereka sama-sama memiliki strategi yang kuat dalam membangun daerahnya, sehingga daerah-daerah tersebut menjadi poros daerah yang menonjol sekaligus menjadi bagian kekuatan nasional. Kini tinggal bagaimana membangun narasi yang bisa memudahkan publikmenerima jalan pemikiran kepemimpinan nasional yang berbasis kepala daerah.
Sesungguhnya tidak ada yang sulit, dan ini hanya membutuhkan proses waktu karena secara pemahaman publik, sudah ada percontohan atas kepemimpinan Presiden Jokowi yang juga bisa dimaknai sebagai wujud kepemimpinan nasional yang berbasis kepala daerah.
Sebut saja Ridwan Kamil (Gubernur Jawa Barat), Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah), Prof Dr Nurdin Abdullah (Gubernur Sulsel), DR Anis Baswedan (Gubernur DKI), Khofifah Indarparawangsa (gubernur Jatim), dan Gubernur Bali I Wayan Koster. Keenam nama ini memiliki brand yang sangat kuat sebagai kepala daerah yang secara ketokohan dan kepemimpinannya sangat diperhitungkan dalam kancah nasional. (Baca juga: Menakar Peluang Anies Baswedan Melaju di Pilpres 2024)
Wajar brand kepala daerah saat ini menjadi menarik karena Presiden Jokowi menjadi mirror atau role model bagi setiap kepala daerah yang ingin menapaki kariernya sampai pucuk pimpinan nasional. Pasca Presiden Jokowi mengakhiri jabatannya di 2024, tentu kompetisi dalam perebutan posisi pucuk pimpinan nasional akan semakin menarik, karena beberapa kepala daerah tersebut akan muncul dalam sketsa persaingan dengan tokoh tokoh nasional lainnya yang saat ini sedang bersiap siap. (Baca juga: Mengukur Peluang Ridwan Kamil di Pilpres 2024)
Untuk konteks Indonesia saat ini, yang masih banyak tantangan di berbagai bidang, kepemimpinan yang berbasis dari kepala daerah sangat relevan dan perlu diberi jalan yang lebar untuk melanjutkan kepemimpinan Presiden Jokowi yang juga sama sama berbasis kepala daerah. (Baca juga: Pernah Salip Prabowo, Ganjar Punya Kans Bersaing di Pilpres 2024)
Ada kelebihan kelebihan yang bisa dirasakan dalam kepemimpinan berbasis kepala daerah, yakni kepala daerah terbiasa turun ke bawahdan dekat dengan rakyat, terbiasa detail, terbiasa menginventarasi persoalan dan menyelesaikannya dengan cepat. Mereka meminimalisasi retorika dan menguatkan hasil kerja yang nyata.
Ketika kultur kepemimpinan berbasis kepala daerah ini di bawa ke level nasional tentu akan memberi dampak terhadap akselarasi pembangunan nasional di berbagai bidang. Ini sebuah wacana positif yang perlu disebarkan dalam diskursus politik pasca kepemimpinan Presiden Jokowi di 2024.
Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah tokoh tokoh nasional yang saat ini sedang bersiap siap berkompetisi di 2024 kredibilitasa kepemimpinannya masih diragukan? Jika muncul pertanyaan seperti ini, tentunya narasi yang dibangun untuk memberikan jalan yang lebar bagi kepemimpinan nasional yang berbasis kepala daerah tidak otomatis melemahkan sejumlah tokoh nasional yang berminat maju di 2024. (Baca juga: Nurdin Abdullah Disebut Figur yang Layak Diperhitungkan di Pilpres 2024)
Demokrasi kita tidak pernah mendiskriminasi ketokohan seseorang yang dibangun dari daerah maupun dari kancah nasional. Mereka tetap memiliki hak dan peluang yang sama. Namun poin yang ingin disampaikan dalam narasi kepemimpinan nasional yang berbasis kepala daerah ini adalah, bagaimana negara ini benar-benar dipikirkan dalam pengelolaannya agar keberadaannya memberikan manfaat bagi kepentingan rakyat dan menguatkan bangsa secara global.
Jadi bukan memikirkan negara dalam kontek terbatas hanya bagaimana menjaga dan mempertahankannnya. Ketika narasi yang terbangun sekadar menjaga dan mempertahankannya tentu banyak memberi celah kelemahan terhadap bangsa ini.
Sudah banyak sejarah yang bisa dilihat pada bangsa ini, yang menyebabkan Indonesia hanya berjalan di tempat, sementara bangsa-bangsa lain di sekitar Indonesia, sudah berlari jauh meninggalkan bangsa kita. Tentu Indonesia tidak mau terjebak dalam jeratan masa lalu yang tidak baik. (Baca juga: Pengamat: HRS Bisa Jadi Pendorong Tokoh Tertentu Maju di Pilpres 2024)
Yang diinginkan adalah bagaimana Indonesia bisa merevitalisasi narasi-narasi yang kurang pas dalam kepemimpinan nasional pada bangsa ini. Ada contoh menarik, dalam mindset kepemimpinan nasional sering tidak bisa menghindari apa yang disebut mencari pinjaman untuk menutupi minus dari APBN danhal ini seperti menjadi sebuah kelaziman dalam setiap era.
Namun ada narasi yang positif yang dibangun oleh Gubernur Sulsel, Prof Nurdin Abdullah ; untuk apa kita mencari pinjaman? Narasi ini dimaksudkan agar dalam setiap kepemimpinan tidak memfokuskan setiap penyelesaian persoalan kebangsaan dengan mencari pinjaman, namun dengan membangun postulat pembangunan yang benar.
Ide Prof Nurdin ini didesain agar bangsa ini juga diarahkan untuk menguatkan pembangunan di industripangan, karena Indonesia memiliki kekuatan besar dalam potensi pangan. untuk merealisasikan pemikiran ini, dibuatlah zonasi wilayah yang bisa dijadikan pusat produksi dan lumbung pangan.
Pendekatan ini sekaligus menguatkan Indonesia menjadi penyangga pangan dunia. Melalui penguatan pangan ini, daya tahan ekonomi Indonesia juga akan makin kuat terutama saat menghadapi pandemi sekarang ini, yang bisa berbicara banyak adalah industri pangan karena sangat jelas kontribusinya dalam menopang ekonomi rakyat.
Tentu tidak hanya Prof Nurdinyang memiliki ide ide besar lain. Masih banyak anak bangsa yang juga mempunyai gagasan yang bisa diimplementasikan dalam memperbaiki pembangunan nasional. Termasuk juga nama nama kepala daerah yang sudah disebut di awal, yakni Ridwan Kamil, Anis Baswedan, Ganjar Pranowo , Khofifah Indarparawangsa, Gubernur Bali I Wayan Koster dan tentu masih ada kepala daerah yang lainnya.
Dengan kekhasan masing-masing mereka sama-sama memiliki strategi yang kuat dalam membangun daerahnya, sehingga daerah-daerah tersebut menjadi poros daerah yang menonjol sekaligus menjadi bagian kekuatan nasional. Kini tinggal bagaimana membangun narasi yang bisa memudahkan publikmenerima jalan pemikiran kepemimpinan nasional yang berbasis kepala daerah.
Sesungguhnya tidak ada yang sulit, dan ini hanya membutuhkan proses waktu karena secara pemahaman publik, sudah ada percontohan atas kepemimpinan Presiden Jokowi yang juga bisa dimaknai sebagai wujud kepemimpinan nasional yang berbasis kepala daerah.
(poe)