Pilkada, Narasi Kepahlawanan, dan Politik Tahu Diri
Selasa, 10 November 2020 - 05:30 WIB
Meminjam pendapat psikolog Carl S Pearson bahwa orang-orang biasa dapat menciptakan kehidupan luar biasa jika mampu mendayagunakan apa yang disebutnya sebagai mitos tentang fitrah kepahlawanan dalam diri (the power of mythic archetypes). Pearson menyatakan, usaha menghidupkan kepahlawanan dalam diri memerlukan transformasi hidup secara kontinyu. Manusia harus melalui tahapan dari fase penderitaan (orphan), pengembaraan (wanderer), kependekaran (warrior), komitmen pada kebajikan yang luhur (altruist), kebahagiaan (innocent), dan akhirnya mampu menciptakan kehidupan seperti yang diinginkan (magician).
Politik Tahu Diri
Melaksanakan pesta demokrasi di kala darurat kesehatan bukanlah hal yang mudah dan murah. Bayangkan biaya untuk pelaksanaan pilkada tahun ini membengkak berkisar Rp15 triliun. Belum lagi keribetan para penyelenggara pemilu untuk mengawal proses pilkada ini dengan protokol kesehatan. Semua mekanisme dan prosedur pilkada harus diselaraskan dengan aspek keamanan kesehatan masyarakat. Jangan sampai pilkada ini memunculkan kluster baru penyebaran Covid-19.
Oleh karenanya, bagi para elite politik dan setiap paslon sekiranya agar sadar diri dan penuh khidmat memahami bahwa pelaksanaan pilkada tahun ini perlu effort yang luar biasa dari berbagai elemen. Untuk menyukseskan itu, lagi-lagi membutuhkan pengorbanan rakyat sebab untuk memberikan suaranya saja, warga harus berkorban menghilangkan rasa takut akan terpapar Covid-19 baik di perjalanan menuju TPS maupun di TPS itu sendiri. Apakah para elite politik dan pasangan calon itu tetap tega mengkhianati jerih payah warga yang memilihnya?
Para pasangan calon harus benar-benar menjadi insan yang “tahu diri” bahwa sumber legitimasi kekuasaannya dan jalan sukses kepemimpinannya adalah berasal dari rakyat. Kepemimpinan yang tahu diri pada hakikatnya akan menciptakan pemimpin yang amanah, dan setiap tindakannya akan bersandarkan pada nilai-nilai moral.
Semoga melalui politik tahu diri disertai aplikatif penanaman nilai kepahlawanan setiap pasangan calon dan elite politik diharapkan mampu membawa pilkada tahun ini menuju proses berdemokrasi yang lebih sehat dan bermartabat.
Politik Tahu Diri
Melaksanakan pesta demokrasi di kala darurat kesehatan bukanlah hal yang mudah dan murah. Bayangkan biaya untuk pelaksanaan pilkada tahun ini membengkak berkisar Rp15 triliun. Belum lagi keribetan para penyelenggara pemilu untuk mengawal proses pilkada ini dengan protokol kesehatan. Semua mekanisme dan prosedur pilkada harus diselaraskan dengan aspek keamanan kesehatan masyarakat. Jangan sampai pilkada ini memunculkan kluster baru penyebaran Covid-19.
Oleh karenanya, bagi para elite politik dan setiap paslon sekiranya agar sadar diri dan penuh khidmat memahami bahwa pelaksanaan pilkada tahun ini perlu effort yang luar biasa dari berbagai elemen. Untuk menyukseskan itu, lagi-lagi membutuhkan pengorbanan rakyat sebab untuk memberikan suaranya saja, warga harus berkorban menghilangkan rasa takut akan terpapar Covid-19 baik di perjalanan menuju TPS maupun di TPS itu sendiri. Apakah para elite politik dan pasangan calon itu tetap tega mengkhianati jerih payah warga yang memilihnya?
Para pasangan calon harus benar-benar menjadi insan yang “tahu diri” bahwa sumber legitimasi kekuasaannya dan jalan sukses kepemimpinannya adalah berasal dari rakyat. Kepemimpinan yang tahu diri pada hakikatnya akan menciptakan pemimpin yang amanah, dan setiap tindakannya akan bersandarkan pada nilai-nilai moral.
Semoga melalui politik tahu diri disertai aplikatif penanaman nilai kepahlawanan setiap pasangan calon dan elite politik diharapkan mampu membawa pilkada tahun ini menuju proses berdemokrasi yang lebih sehat dan bermartabat.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda