Pilkada, Narasi Kepahlawanan, dan Politik Tahu Diri
Selasa, 10 November 2020 - 05:30 WIB
Kita memang telah memiliki banyak regulasi untuk membangun kontestasi politik yang sehat, sayangnya sampai saat ini masih belum bisa memberikan dampak pendewasaan sikap berdemokrasi para elite politik.
Pilkada yang sejatinya merupakan sarana untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah disulap seketika oleh oknum politikus jahat sebagai wahana transaksi kepentingan politik dan ekonomi.
Kehidupan mulia bernegara terabrasi menjadi sekadar kehidupan berpolitik murahan yang dikuasai dengan kerja-kerja yang penuh manipulasi, intrik, tipu muslihat, bahkan kriminal. Semua dikemas apik demi memenuhi nafsu kekuasaan belaka.
Alih-alih elite partai politik seringkali lantang berkumandang bahwa rakyat sebagai basis legitimasi mereka dan yang mereka suarakan adalah suara rakyat. Faktanya, banyak di antara mereka yang jalan berpolitiknya justru kerap mencederai perasaan rakyat, bahkan mengancam keselamatan rakyat.
Coba kita merenung sejenak apakah jajaran nama seperti Soekarno, Soedirman, Tan Malaka, Agus Salim, Sutomo, dan segudang tokoh pahlawan lain yang dimiliki bangsa Indonesia bekerja hanya untuk mewujudkan berahi kekuasaan personal ataupun komunal (sektarian)? Sedikit pun kita tidak melihatnya. Justru tanpa eksistensi kuatnya visi-misi, kecerdasan, dan kematangan berpolitik, pengesampingan segala kepentingan personal, hingga pertaruhan nyawa, maka atmosfer kemerdekaan yang kita rasakan saat ini mungkin tidak akan pernah terwujud.
Kita juga perlu berefleksi diri jika setiap ajang suksesi kepemimpinan yang kita laksanakan lebih berwajah konfrontasional. Perbedaan pandangan politik kerap memecah kohesi sosial. Sesama warga negara saling tikam, saling menyebar kebencian, memfitnah, dan merendahkan akal sehat. Semua dibangun hanya karena landasan diferensiasi politik.
Para founding fathers kita sesungguhnya telah memberi suri teladan bahwa bagaimanapun runcingnya perbedaan pandangan, haruslah tetap mengedepankan dialog untuk bermusyawarah mufakat. Sebagai contoh kita bisa melihat bagaimana terjadi silang pendapat antara Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, M Yamin, Supomo, dan lainnya dalam rapat-rapat persiapan kemerdekaan Indonesia di BPUPKI dan PPKI. Namun, semuanya diakhiri dengan kesepakatan demi kemaslahatan bangsa. Spirit persatuan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi ataupun golongan.
Semestinya narasi kepahlawanan yang sudah lama padam dalam praktik berdemokrasi perlu dinyalakan kembali. Pilkada harus dikembalikan khitahnya, bukan semata ajang kontestasi perebutan kekuasaan absah lokal. Namun, pelaksanaan pilkada beserta seluruh hasilnya harus lebih mendekatkan diri kepada gagasan kebaikan bersama (bonnum commune).
Pilkada beserta hasilnya harus menggaransi sekaligus memberikan harapan baru bagi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Para elite politik beserta para pasangan calon harus segera menghentikan praktik politik ala Machiavellian. Mereka harus bergegas menyandarkan kapal politik pada dermaga moral-spiritualitas. Bukankah semua tindakan kita berisiko dan akan berlabuh pada sebuah pertanggungjawaban? Oleh karenanya, semua komponen bangsa harus duduk bersama mencari jalan keluar untuk memutus mata rantai pragmatisme politik.
Sejatinya seorang pemimpin (calon kepala daerah) harus menjadi pahlawan bagi dirinya dan rakyatnya. Seorang pemimpin pantang menjadi liar tak terkendali menuhankan hawa nafsu kekuasaannya. Menghidupkan kepahlawanan dalam diri seorang pemimpin akan mampu mengawal, memberi solusi, serta mencapai tujuan atas amanah kepemimpinannya.
Pilkada yang sejatinya merupakan sarana untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah disulap seketika oleh oknum politikus jahat sebagai wahana transaksi kepentingan politik dan ekonomi.
Kehidupan mulia bernegara terabrasi menjadi sekadar kehidupan berpolitik murahan yang dikuasai dengan kerja-kerja yang penuh manipulasi, intrik, tipu muslihat, bahkan kriminal. Semua dikemas apik demi memenuhi nafsu kekuasaan belaka.
Alih-alih elite partai politik seringkali lantang berkumandang bahwa rakyat sebagai basis legitimasi mereka dan yang mereka suarakan adalah suara rakyat. Faktanya, banyak di antara mereka yang jalan berpolitiknya justru kerap mencederai perasaan rakyat, bahkan mengancam keselamatan rakyat.
Coba kita merenung sejenak apakah jajaran nama seperti Soekarno, Soedirman, Tan Malaka, Agus Salim, Sutomo, dan segudang tokoh pahlawan lain yang dimiliki bangsa Indonesia bekerja hanya untuk mewujudkan berahi kekuasaan personal ataupun komunal (sektarian)? Sedikit pun kita tidak melihatnya. Justru tanpa eksistensi kuatnya visi-misi, kecerdasan, dan kematangan berpolitik, pengesampingan segala kepentingan personal, hingga pertaruhan nyawa, maka atmosfer kemerdekaan yang kita rasakan saat ini mungkin tidak akan pernah terwujud.
Kita juga perlu berefleksi diri jika setiap ajang suksesi kepemimpinan yang kita laksanakan lebih berwajah konfrontasional. Perbedaan pandangan politik kerap memecah kohesi sosial. Sesama warga negara saling tikam, saling menyebar kebencian, memfitnah, dan merendahkan akal sehat. Semua dibangun hanya karena landasan diferensiasi politik.
Para founding fathers kita sesungguhnya telah memberi suri teladan bahwa bagaimanapun runcingnya perbedaan pandangan, haruslah tetap mengedepankan dialog untuk bermusyawarah mufakat. Sebagai contoh kita bisa melihat bagaimana terjadi silang pendapat antara Soekarno, Muhammad Hatta, Syahrir, M Yamin, Supomo, dan lainnya dalam rapat-rapat persiapan kemerdekaan Indonesia di BPUPKI dan PPKI. Namun, semuanya diakhiri dengan kesepakatan demi kemaslahatan bangsa. Spirit persatuan dan kesatuan bangsa lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi ataupun golongan.
Semestinya narasi kepahlawanan yang sudah lama padam dalam praktik berdemokrasi perlu dinyalakan kembali. Pilkada harus dikembalikan khitahnya, bukan semata ajang kontestasi perebutan kekuasaan absah lokal. Namun, pelaksanaan pilkada beserta seluruh hasilnya harus lebih mendekatkan diri kepada gagasan kebaikan bersama (bonnum commune).
Pilkada beserta hasilnya harus menggaransi sekaligus memberikan harapan baru bagi kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Para elite politik beserta para pasangan calon harus segera menghentikan praktik politik ala Machiavellian. Mereka harus bergegas menyandarkan kapal politik pada dermaga moral-spiritualitas. Bukankah semua tindakan kita berisiko dan akan berlabuh pada sebuah pertanggungjawaban? Oleh karenanya, semua komponen bangsa harus duduk bersama mencari jalan keluar untuk memutus mata rantai pragmatisme politik.
Sejatinya seorang pemimpin (calon kepala daerah) harus menjadi pahlawan bagi dirinya dan rakyatnya. Seorang pemimpin pantang menjadi liar tak terkendali menuhankan hawa nafsu kekuasaannya. Menghidupkan kepahlawanan dalam diri seorang pemimpin akan mampu mengawal, memberi solusi, serta mencapai tujuan atas amanah kepemimpinannya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda