Soal Vaksin Covid-19, Ketua ITAGI: Semua Sesuai Standar dan Jaminan Aman
Senin, 02 November 2020 - 09:08 WIB
JAKARTA - Normalnya dibutuhkan waktu 10–12 tahun untuk membuat vaksin. Namun karena pandemi, pembuatan vaksin Covid-19 dipercepat. Ini bukan alasan meragukan vaksin ini.
Masyarakat banyak yang meragukan efikasi vaksin Covid-19 yang tengah menjalani uji klinis fase 3 di Indonesia ataupun di beberapa negara. Singkatnya waktu pembuatan dan uji klinis melandasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin ini.
Menjawab permasalahan ini, Prof Sri Rezeki Hadinegoro, Ketua ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization) menjelaskan, uji vaksin terdiri atas uji preklinis dan uji klinis pada manusia.
Pada uji preklinis dilakukan di laboratorium dengan mencari kandidat vaksin dan uji binatang percobaan. Sementara pada uji klinis, dilakukan di lapangan yang mencakup, fase 1 untuk menguji keamanan vaksin, fase 2 untuk mengetahui imunogenitas (peningkatan kadar antibodi, fase 3 untuk mengetahui efikasi vaksin, dan fase 4 untuk mengetahui keamanan vaksin setelah dipergunakan luas di masyarakat.
“Memang dari fase preklinis sampai fase 3 bisa 10 tahun, fase-fase tadi dipercepat karena adanya pandemi. Walau dipercepat, semua tahapan dikerjakan sesuai standar yang ditetapkan dan di bawah pengawasan otoritas terkait, seperti BPOM, Kementerian Kesehatan, dan ITAGI,” ungkap Prof Sri dalam Webinar yang diadakan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), & Kominfo.
Ia melanjutkan, sebelum sampai di uji klinis fase 3 seperti yang dilaksanakan di Bandung saat ini, kandidat vaksin sudah melalui uji klinis fase 1 dan fase 2 untuk menguji keamanannya. Apabila pada uji klinis 1 dan 2 tidak aman, maka tidak akan dilanjutkan ke fase 3. Dari kandidat vaksin yang uji preklinis hanya sekitar 7% yang bisa gol ke fase berikutnya.
Artinya, ketika satu vaksin sudah sampai di uji klinis fase 3, maka aspek keamanan yang diuji pada fase 1 dan 2 mestinya sudah terlampaui. Ia menegaskan, jika sejak awal tidak aman tentunya vaksin tidak akan dilanjutkan sampai fase ke-3. “Seperti uji coba pada binatang, kalau binatangnya mati, maka tidak akan diteruskan ke manusia. Jadi bertahap ini sebagai skrining,” imbuh Prof Sri.
Karena dalam kondisi pandemi, maka dibutuhkan izin penggunaan dalam kondisi darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari BPOM. Gunanya untuk memastikan semua proses pembuatan vaksin telah dilakukan sesuai standar serta ada jaminan aman dan efektif.
Masyarakat banyak yang meragukan efikasi vaksin Covid-19 yang tengah menjalani uji klinis fase 3 di Indonesia ataupun di beberapa negara. Singkatnya waktu pembuatan dan uji klinis melandasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap vaksin ini.
Menjawab permasalahan ini, Prof Sri Rezeki Hadinegoro, Ketua ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization) menjelaskan, uji vaksin terdiri atas uji preklinis dan uji klinis pada manusia.
Pada uji preklinis dilakukan di laboratorium dengan mencari kandidat vaksin dan uji binatang percobaan. Sementara pada uji klinis, dilakukan di lapangan yang mencakup, fase 1 untuk menguji keamanan vaksin, fase 2 untuk mengetahui imunogenitas (peningkatan kadar antibodi, fase 3 untuk mengetahui efikasi vaksin, dan fase 4 untuk mengetahui keamanan vaksin setelah dipergunakan luas di masyarakat.
“Memang dari fase preklinis sampai fase 3 bisa 10 tahun, fase-fase tadi dipercepat karena adanya pandemi. Walau dipercepat, semua tahapan dikerjakan sesuai standar yang ditetapkan dan di bawah pengawasan otoritas terkait, seperti BPOM, Kementerian Kesehatan, dan ITAGI,” ungkap Prof Sri dalam Webinar yang diadakan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), & Kominfo.
Ia melanjutkan, sebelum sampai di uji klinis fase 3 seperti yang dilaksanakan di Bandung saat ini, kandidat vaksin sudah melalui uji klinis fase 1 dan fase 2 untuk menguji keamanannya. Apabila pada uji klinis 1 dan 2 tidak aman, maka tidak akan dilanjutkan ke fase 3. Dari kandidat vaksin yang uji preklinis hanya sekitar 7% yang bisa gol ke fase berikutnya.
Artinya, ketika satu vaksin sudah sampai di uji klinis fase 3, maka aspek keamanan yang diuji pada fase 1 dan 2 mestinya sudah terlampaui. Ia menegaskan, jika sejak awal tidak aman tentunya vaksin tidak akan dilanjutkan sampai fase ke-3. “Seperti uji coba pada binatang, kalau binatangnya mati, maka tidak akan diteruskan ke manusia. Jadi bertahap ini sebagai skrining,” imbuh Prof Sri.
Karena dalam kondisi pandemi, maka dibutuhkan izin penggunaan dalam kondisi darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari BPOM. Gunanya untuk memastikan semua proses pembuatan vaksin telah dilakukan sesuai standar serta ada jaminan aman dan efektif.
Lihat Juga :
tulis komentar anda