Memanfaatkan Peluang La Nina untuk Menggenjot Produksi Beras
Jum'at, 30 Oktober 2020 - 05:51 WIB
Keputusan kebijakan impor beras biasanya diumumkan pada September- Oktober sehingga beras impor dapat masuk mulai Desember dan berakhir pada Februari. Dengan begitu beras impor dapat digunakan Bulog untuk operasi pasar dalam rangka stabilisasi harga beras yang biasanya meningkat tajam sejak Desember dan mencapai puncak pada Februari tahun berikutnya. Penghentian impor pada Februari juga dimaksudkan untuk mencegah penurunan harga gabah petani karena musim panen raya sudah mulai pada Maret.
Hingga penghujung Oktober ini, pemerintah belum mengumumkan akan melakukan impor beras. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dengan tegas mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu mengimpor beras pada 2020.
Kebijakan impor beras didasarkan pada beberapa pertimbangan kunci. Pertama, stok beras Bulog pada akhir tahun mencukupi yakni sekitar 1,0 sampai 1,5 juta ton. Realitasnya, Bulog mengatakan bahwa stok beras pada awal Januari 2020 adalah 2,2 juta ton, sedangkan hingga pertengahan Oktober 2020 volume serapan gabah petani mencapai 988.000 ton setara beras dan penyaluran 1,56 juta ton, sehingga stok beras tersedia adalah 1,628 juta ton. Stok Bulog pada akhir Desember 2020 diperkirakan aman di sekitar 1,5 juta ton.
Kedua, stok beras nasional cukup dengan SUR di atas 18% (norma FAO). Realitasnya, Kementerian Pertanian menyebutkan stok pada awal Januari 2020 mencapai 5,90 juta ton, produksi sebesar 31,63 juta ton, dan konsumsi sebesar 29,37 juta ton sehinggga SUR juga aman di 27,78%.
Ketiga, beras eceran telah menunjukkan gejala akselerasi peningkatan musim paceklik sejak bulan September. Realitasnya, BPS menunjukkan bahwa harga beras eceran menurun 0,12% pada Agustus dan berlanjut menurun 0,06% pada September 2020. Ini menunjukkan sentimen pasar yang tidak mengalami langka pasok. Artinya, sentimen pasar beras positif stabil.
Keempat, produksi padi tidak menurun sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun berjalan. Kriteria ini didasarkan pada laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49%/tahun dan kecenderungan penurun konsumsi beras per kapita sekitar 1,5%/tahun sehingga total konsumsi beras diperkirakan tetap. Realitasnya, angka sementara BPS menunjukkan bahwa produksi padi 2020 meningkat 1,02%.
Konsumsi beras pada 2020 diperkirakan menurun sebagai akibat dari penurunan aktivitas ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19 khususnya pada sektor rumah makan, restoran, katering, hotel, dan pariwisata yang banyak menggunakan beras. Dengan demikian, produksi beras 2020 diperkirakan tidak defisit, bahkan Kementerian Pertanian memperkirakan surplus produksi beras sebesar 2,26 juta ton.
Kelima, prospek produksi padi dan kondisi sosial politik tahun depan. Realitasnya, BMKG dan Lembaga-Lembaga Meteorologi global telah menyatakan bahwa fenomena La Nina intensitas lemah hingga sedang telah muncul sejak September 2020 dan diperkirakan akan berlangsung hingga April 2021. La Nina intensitas lemah hingga sedang dan cukup lama (sekitar 6 bulan atau lebih) berdampak positif terhadap produksi padi Indonesia karena meningkatkan ketersediaan air untuk usaha tani. Dalam pada itu, kondisi sosial politik pada tahun 2021 diperkirakan stabil sehingga tidak akan menimbulkan gangguan terhadap pasar beras.
Berdasarkan tinjauan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak perlu mengimpor beras pada 2020 ini. La Nina dalam dua bulan ke depan harus dijadikan peluang untuk memacu peningkatan produksi padi musim tanam 2020/2021 sehingga pada 2021 pun tidak perlu impor beras.
La Nina intensitas lemah hingga sedang dan cukup lama sekitar 6 bulan atau lebih berdampak positif terhadap produksi padi Indonesia karena meningkatkan ketersediaan air untuk usaha tani. Artinya, kondisi sosial politik pada tahun 2021 diperkirakan stabil sehingga tidak akan menimbulkan gangguan terhadap pasar beras
Hingga penghujung Oktober ini, pemerintah belum mengumumkan akan melakukan impor beras. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dengan tegas mengatakan bahwa Indonesia tidak perlu mengimpor beras pada 2020.
Kebijakan impor beras didasarkan pada beberapa pertimbangan kunci. Pertama, stok beras Bulog pada akhir tahun mencukupi yakni sekitar 1,0 sampai 1,5 juta ton. Realitasnya, Bulog mengatakan bahwa stok beras pada awal Januari 2020 adalah 2,2 juta ton, sedangkan hingga pertengahan Oktober 2020 volume serapan gabah petani mencapai 988.000 ton setara beras dan penyaluran 1,56 juta ton, sehingga stok beras tersedia adalah 1,628 juta ton. Stok Bulog pada akhir Desember 2020 diperkirakan aman di sekitar 1,5 juta ton.
Kedua, stok beras nasional cukup dengan SUR di atas 18% (norma FAO). Realitasnya, Kementerian Pertanian menyebutkan stok pada awal Januari 2020 mencapai 5,90 juta ton, produksi sebesar 31,63 juta ton, dan konsumsi sebesar 29,37 juta ton sehinggga SUR juga aman di 27,78%.
Ketiga, beras eceran telah menunjukkan gejala akselerasi peningkatan musim paceklik sejak bulan September. Realitasnya, BPS menunjukkan bahwa harga beras eceran menurun 0,12% pada Agustus dan berlanjut menurun 0,06% pada September 2020. Ini menunjukkan sentimen pasar yang tidak mengalami langka pasok. Artinya, sentimen pasar beras positif stabil.
Keempat, produksi padi tidak menurun sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan beras pada tahun berjalan. Kriteria ini didasarkan pada laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,49%/tahun dan kecenderungan penurun konsumsi beras per kapita sekitar 1,5%/tahun sehingga total konsumsi beras diperkirakan tetap. Realitasnya, angka sementara BPS menunjukkan bahwa produksi padi 2020 meningkat 1,02%.
Konsumsi beras pada 2020 diperkirakan menurun sebagai akibat dari penurunan aktivitas ekonomi akibat dampak pandemi Covid-19 khususnya pada sektor rumah makan, restoran, katering, hotel, dan pariwisata yang banyak menggunakan beras. Dengan demikian, produksi beras 2020 diperkirakan tidak defisit, bahkan Kementerian Pertanian memperkirakan surplus produksi beras sebesar 2,26 juta ton.
Kelima, prospek produksi padi dan kondisi sosial politik tahun depan. Realitasnya, BMKG dan Lembaga-Lembaga Meteorologi global telah menyatakan bahwa fenomena La Nina intensitas lemah hingga sedang telah muncul sejak September 2020 dan diperkirakan akan berlangsung hingga April 2021. La Nina intensitas lemah hingga sedang dan cukup lama (sekitar 6 bulan atau lebih) berdampak positif terhadap produksi padi Indonesia karena meningkatkan ketersediaan air untuk usaha tani. Dalam pada itu, kondisi sosial politik pada tahun 2021 diperkirakan stabil sehingga tidak akan menimbulkan gangguan terhadap pasar beras.
Berdasarkan tinjauan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia tidak perlu mengimpor beras pada 2020 ini. La Nina dalam dua bulan ke depan harus dijadikan peluang untuk memacu peningkatan produksi padi musim tanam 2020/2021 sehingga pada 2021 pun tidak perlu impor beras.
La Nina intensitas lemah hingga sedang dan cukup lama sekitar 6 bulan atau lebih berdampak positif terhadap produksi padi Indonesia karena meningkatkan ketersediaan air untuk usaha tani. Artinya, kondisi sosial politik pada tahun 2021 diperkirakan stabil sehingga tidak akan menimbulkan gangguan terhadap pasar beras
Lihat Juga :
tulis komentar anda