Pilkada: Vaksin ataukah Virus Pandemi Korupsi?
Senin, 26 Oktober 2020 - 05:42 WIB
Perbaikan
Saatnya memikirkan penyelesaian pandemi korupsi ini secara sistematis, terpadu, dan komprehensif dari hulu. Proses demokrasi untuk memilih pemimpin harus mampu meminimalkan terjadinya salah/gagal produk. Demokrasi melibatkan semua warga untuk menentukan pemimpinnya dengan harapan yang terpilih mampu memikirkan kepentingan semua pemilihnya. Namun proses demokrasi yang rusak karena adanya politik uang berubah menjadi proses jual beli kuasa dari rakyat, diperjualbelikan untuk kemudian digunakan dengan tanpa lagi memikirkan kepentingan rakyat. Pilkada berubah menjadi transaksi jual beli kuasa: setelah dibayar, pasangan calon merasa telah membeli kuasa wewenang publik.
Untuk itu guna mengembalikan proses politik pilkada ke jalannya yang benar dan mencegah agar tidak berubah menjadi kluster baru pandemi korupsi, Pilkada 2020 harus dilaksanakan dengan perbaikan dalam tiga stakeholder. Pertama, penyelenggara pilkada, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kedua, peserta pilkada dalam hal ini pasangan calon yang diusung parpol maupun independen. Ketiga, masyarakat pemilih. Ketiganya adalah penentu pilkada, akankah sukses menemukan pejabat publik atau penjahat publik?
KPU wajib menjadi wasit yang netral dan adil dalam penyelenggaraan kontestasi demokrasi ini. Jangan sampai KPU merupakan kader parpol yang gagal dalam pemilu, kemudian dikaryakan ke KPU. Untuk itu persyaratan untuk menduduki jabatan penyelenggara pemilu minimal tidak memiliki hubungan keanggotaan dengan parpol dalam waktu yang cukup lama agar menjamin imparsialitas dan bebas dari intervensi peserta.
Dalam hal pencalonan kepala daerah, pasangan calon yang diusung idealnya adalah dari kader parpol. Penelitian KPK menjelaskan biaya mahar untuk parpol tinggi karena kebanyakan pasangan calon bukan kader. Namun dalam sistem demokrasi yang liberal seperti saat ini—di mana masyarakat pemilih masih menunggu “serangan fajar”––, parpol pun realistis memilih pasangan calon, yakni yang memiliki elektabilitas tinggi atau memiliki modal untuk membiayai pesta demokrasi. Maka sirnalah arti kaderisasi parpol. Bahkan kemudian lahirlah diaspora politik, yakni kader parpol yang satu pindah dan didukung oleh parpol lain, begitu pun sebaliknya. Untuk itu perlu perbaikan dua hal: pertama, syarat untuk mencalonkan harus dari kader parpol yang usia kaderisasi sudah cukup lama, kedua, perlunya peningkatan biaya pembinaan bagi parpol.
Adapun pemilih pilkada haruslah dipersyaratkan memiliki kedewasaan politik yang cukup. Selama ini diatur, pemilih adalah mereka yang telah berusia 17 tahun ke atas dan/atau telah menikah. Ukuran itu perlu ditinjau ulang. Mengapa? Karena faktor pendidikan dan kemampuan ekonomi yang menjadi pengaruh besar integritas pemilih tidak diukur sedikit pun. Ke depan perlu dipikirkan untuk mencari indikator syarat pemilih berintegritas, misalnya dengan mendasarkan pada “pemenuhan kewajiban pajak”. Asumsinya, warga negara yang telah memenuhi kewajibannya kepada negara berhak untuk memilih pemimpinnya. Pajak juga indikator kemampuan ekonomi. Warga yang kemampuan ekonominya sudah cukup dianggap punya integritas untuk memilih karena saat terjadi serangan politik uang, ia cukup kuat untuk menjaganya.
Vaksin ataukah Virus Korupsi?
Hanya dengan menjamin pilkada berintegritas kita mampu mencegah pilkada menjadi kluster pandemi korupsi. Jika tidak, siap-siaplah akan terbentuk kluster pandemi korupsi baru. Inilah masalah bersama bangsa yang tidak dapat dibebankan hanya dengan penegakan hukum. Penangkapan demi penangkapan koruptor, selama persoalan tidak diselesaikan dari hulu dan secara sistemik, akhirnya angka pemberantasan korupsi hanya menjadi angka semu yang tidak menyelesaikan persoalan pemberantasan korupsi.
Perlu diingat biaya Pilkada 2020 ini mencapai Rp15,195 triliun. Kita semua berharap biaya tersebut merupakan ongkos untuk membeli “vaksin” antikorupsi, yaitu menemukan kepala daerah berintegritas yang mampu melayani dan mendorong kemajuan daerahnya. Sebaliknya bukan biaya untuk membeli “virus” pemicu pandemi korupsi karena proses pilkadanya yang rusak. Alih-alih memilih aparat pejabat publik yang melayani rakyat, bisa jadi yang terpilih justru penjahat publik yang siap untuk memperdagangkan kewenangan, aset, dan fasilitas publik.
Saatnya memikirkan penyelesaian pandemi korupsi ini secara sistematis, terpadu, dan komprehensif dari hulu. Proses demokrasi untuk memilih pemimpin harus mampu meminimalkan terjadinya salah/gagal produk. Demokrasi melibatkan semua warga untuk menentukan pemimpinnya dengan harapan yang terpilih mampu memikirkan kepentingan semua pemilihnya. Namun proses demokrasi yang rusak karena adanya politik uang berubah menjadi proses jual beli kuasa dari rakyat, diperjualbelikan untuk kemudian digunakan dengan tanpa lagi memikirkan kepentingan rakyat. Pilkada berubah menjadi transaksi jual beli kuasa: setelah dibayar, pasangan calon merasa telah membeli kuasa wewenang publik.
Untuk itu guna mengembalikan proses politik pilkada ke jalannya yang benar dan mencegah agar tidak berubah menjadi kluster baru pandemi korupsi, Pilkada 2020 harus dilaksanakan dengan perbaikan dalam tiga stakeholder. Pertama, penyelenggara pilkada, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kedua, peserta pilkada dalam hal ini pasangan calon yang diusung parpol maupun independen. Ketiga, masyarakat pemilih. Ketiganya adalah penentu pilkada, akankah sukses menemukan pejabat publik atau penjahat publik?
KPU wajib menjadi wasit yang netral dan adil dalam penyelenggaraan kontestasi demokrasi ini. Jangan sampai KPU merupakan kader parpol yang gagal dalam pemilu, kemudian dikaryakan ke KPU. Untuk itu persyaratan untuk menduduki jabatan penyelenggara pemilu minimal tidak memiliki hubungan keanggotaan dengan parpol dalam waktu yang cukup lama agar menjamin imparsialitas dan bebas dari intervensi peserta.
Dalam hal pencalonan kepala daerah, pasangan calon yang diusung idealnya adalah dari kader parpol. Penelitian KPK menjelaskan biaya mahar untuk parpol tinggi karena kebanyakan pasangan calon bukan kader. Namun dalam sistem demokrasi yang liberal seperti saat ini—di mana masyarakat pemilih masih menunggu “serangan fajar”––, parpol pun realistis memilih pasangan calon, yakni yang memiliki elektabilitas tinggi atau memiliki modal untuk membiayai pesta demokrasi. Maka sirnalah arti kaderisasi parpol. Bahkan kemudian lahirlah diaspora politik, yakni kader parpol yang satu pindah dan didukung oleh parpol lain, begitu pun sebaliknya. Untuk itu perlu perbaikan dua hal: pertama, syarat untuk mencalonkan harus dari kader parpol yang usia kaderisasi sudah cukup lama, kedua, perlunya peningkatan biaya pembinaan bagi parpol.
Adapun pemilih pilkada haruslah dipersyaratkan memiliki kedewasaan politik yang cukup. Selama ini diatur, pemilih adalah mereka yang telah berusia 17 tahun ke atas dan/atau telah menikah. Ukuran itu perlu ditinjau ulang. Mengapa? Karena faktor pendidikan dan kemampuan ekonomi yang menjadi pengaruh besar integritas pemilih tidak diukur sedikit pun. Ke depan perlu dipikirkan untuk mencari indikator syarat pemilih berintegritas, misalnya dengan mendasarkan pada “pemenuhan kewajiban pajak”. Asumsinya, warga negara yang telah memenuhi kewajibannya kepada negara berhak untuk memilih pemimpinnya. Pajak juga indikator kemampuan ekonomi. Warga yang kemampuan ekonominya sudah cukup dianggap punya integritas untuk memilih karena saat terjadi serangan politik uang, ia cukup kuat untuk menjaganya.
Vaksin ataukah Virus Korupsi?
Hanya dengan menjamin pilkada berintegritas kita mampu mencegah pilkada menjadi kluster pandemi korupsi. Jika tidak, siap-siaplah akan terbentuk kluster pandemi korupsi baru. Inilah masalah bersama bangsa yang tidak dapat dibebankan hanya dengan penegakan hukum. Penangkapan demi penangkapan koruptor, selama persoalan tidak diselesaikan dari hulu dan secara sistemik, akhirnya angka pemberantasan korupsi hanya menjadi angka semu yang tidak menyelesaikan persoalan pemberantasan korupsi.
Perlu diingat biaya Pilkada 2020 ini mencapai Rp15,195 triliun. Kita semua berharap biaya tersebut merupakan ongkos untuk membeli “vaksin” antikorupsi, yaitu menemukan kepala daerah berintegritas yang mampu melayani dan mendorong kemajuan daerahnya. Sebaliknya bukan biaya untuk membeli “virus” pemicu pandemi korupsi karena proses pilkadanya yang rusak. Alih-alih memilih aparat pejabat publik yang melayani rakyat, bisa jadi yang terpilih justru penjahat publik yang siap untuk memperdagangkan kewenangan, aset, dan fasilitas publik.
Lihat Juga :
tulis komentar anda