Pilkada: Vaksin ataukah Virus Pandemi Korupsi?
Senin, 26 Oktober 2020 - 05:42 WIB
Nurul Ghufron
Komisioner KPK
COVID-19 yang melanda seluruh dunia memberikan pelajaran bahwa pendekatan terhadap penyakit itu tergantung pada jenis penyakitnya. Kalau sindrom yang menjangkiti sangat personal, pendekatannya secara kasuistis. Namun kala penyakit melanda secara merata dengan karakter sama yang kita sebut sebagai pandemi, pendekatannya pun harus secara sistematis, tidak saja menyangkut aspek kesehatan, tetapi juga kebijakan sosial dan hukum yang komprehensif.
Berdasarkan data pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 2004 hingga 2020, jumlah pejabat daerah yang dihukum mencapai ratusan, terdiri atas anggota DPRD 274, gubernur 21, wali kota/bupati dan wakil 122. Area dan modus korupsinya relatif sama, berkisar pada pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan sumber daya manusia. Modus tersebut hampir merata di semua daerah. Dengan merujuk pada Covid-19, mungkin tidak terlalu berlebihan kalau kita menganggap korupsi sebagai pandemi.
Pendekatan kasuistis, menangkap secara heroik penyelenggara negara mulai dari menteri sampai kepala daerah dan menghukumnya dengan pidana setinggi-tingginya. Justifikasinya “supaya pelakunya jera” dan mencegah penyelenggara negara lain melakukan hal serupa. Justifikasi ini hampir tidak terealisasi. Banyaknya koruptor yang tertangkap tangan terbukti tidak mencegah korupsi selanjutnya.
Pilkada dan Korupsi
Pada 9 Desember 2020 akan dilaksanakan pilkada di 270 daerah, terdiri atas 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan wali kota. Berdasarkan kajian Kementerian Dalam Negeri, biaya setiap pasangan calon yang dihabiskan untuk pilkada ini tidak kurang Rp20 miliar–30 miliar untuk kabupaten/kota dan Rp20 miliar–100 miliar untuk pemilihan gubernur. Kemungkinan di lapangan lebih dari itu. Biaya tersebut untuk pelaksanaan kampanye dan biaya saksi pada saat pemilihan. Belum lagi biaya mahar untuk mendapatkan rekomendasi partai politik (parpol) pengusung dan biaya yang akan diberikan kepada pemilih, baik tunai maupun nontunai. Semua biaya tersebut dalam kajian KPK hanya 18% saja yang didanai secara pribadi sehingga 82% didanai pihak lain.
Secara alami setiap pasangan yang menang menjadi kepala daerah akan berpikir untuk mengembalikan modal biaya politik, apalagi yang 82% sudah tergadai pada sponsor. Adapun gaji, tunjangan, dan insentif bupati yang jumlahnya sekitar Rp30 juta–50 juta, sampai lima tahun menjabat pun, totalnya tak lebih dari Rp3 miliar. Artinya biaya politik tersebut tidak akan kembali selama menjabat kalau tidak ada sumber penerimaan lain. Latar ini yang mendorong siapa pun pasangan yang menang sebagai pejabat publik tersebut berpikir untuk memperdagangkan perizinan, potensi daerah, sumber daya alam, proyek pengadaan barang dan jasa, tata kelola sumber daya manusia, dan lainnya. Itu semua adalah korupsi.
Dalam proses demokrasi yang seperti ini, pilkada menjadi faktor kuat pemicu terjadinya pandemi korupsi. Proses penindakan hanyalah melahirkan proses kucing-kucingan karena bagaimanapun korupsi tetap dibutuhkan oleh pasangan calon pemenang untuk mengembalikan modal. Dalam kondisi pilkada menjadi ajang jual beli kewenangan, pendekatan kasuistis hanya peralihan modus dari yang satu ke lainnya, sementara calon koruptor terus berinovasi mencari modus baru yang dianggap aman. Sebanyak 100 koruptor ditebas, akan tumbuh 1.000 calon penggantinya.
Komisioner KPK
COVID-19 yang melanda seluruh dunia memberikan pelajaran bahwa pendekatan terhadap penyakit itu tergantung pada jenis penyakitnya. Kalau sindrom yang menjangkiti sangat personal, pendekatannya secara kasuistis. Namun kala penyakit melanda secara merata dengan karakter sama yang kita sebut sebagai pandemi, pendekatannya pun harus secara sistematis, tidak saja menyangkut aspek kesehatan, tetapi juga kebijakan sosial dan hukum yang komprehensif.
Berdasarkan data pemberantasan korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 2004 hingga 2020, jumlah pejabat daerah yang dihukum mencapai ratusan, terdiri atas anggota DPRD 274, gubernur 21, wali kota/bupati dan wakil 122. Area dan modus korupsinya relatif sama, berkisar pada pengadaan barang dan jasa, perizinan, dan sumber daya manusia. Modus tersebut hampir merata di semua daerah. Dengan merujuk pada Covid-19, mungkin tidak terlalu berlebihan kalau kita menganggap korupsi sebagai pandemi.
Pendekatan kasuistis, menangkap secara heroik penyelenggara negara mulai dari menteri sampai kepala daerah dan menghukumnya dengan pidana setinggi-tingginya. Justifikasinya “supaya pelakunya jera” dan mencegah penyelenggara negara lain melakukan hal serupa. Justifikasi ini hampir tidak terealisasi. Banyaknya koruptor yang tertangkap tangan terbukti tidak mencegah korupsi selanjutnya.
Pilkada dan Korupsi
Pada 9 Desember 2020 akan dilaksanakan pilkada di 270 daerah, terdiri atas 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati, dan 37 pemilihan wali kota. Berdasarkan kajian Kementerian Dalam Negeri, biaya setiap pasangan calon yang dihabiskan untuk pilkada ini tidak kurang Rp20 miliar–30 miliar untuk kabupaten/kota dan Rp20 miliar–100 miliar untuk pemilihan gubernur. Kemungkinan di lapangan lebih dari itu. Biaya tersebut untuk pelaksanaan kampanye dan biaya saksi pada saat pemilihan. Belum lagi biaya mahar untuk mendapatkan rekomendasi partai politik (parpol) pengusung dan biaya yang akan diberikan kepada pemilih, baik tunai maupun nontunai. Semua biaya tersebut dalam kajian KPK hanya 18% saja yang didanai secara pribadi sehingga 82% didanai pihak lain.
Secara alami setiap pasangan yang menang menjadi kepala daerah akan berpikir untuk mengembalikan modal biaya politik, apalagi yang 82% sudah tergadai pada sponsor. Adapun gaji, tunjangan, dan insentif bupati yang jumlahnya sekitar Rp30 juta–50 juta, sampai lima tahun menjabat pun, totalnya tak lebih dari Rp3 miliar. Artinya biaya politik tersebut tidak akan kembali selama menjabat kalau tidak ada sumber penerimaan lain. Latar ini yang mendorong siapa pun pasangan yang menang sebagai pejabat publik tersebut berpikir untuk memperdagangkan perizinan, potensi daerah, sumber daya alam, proyek pengadaan barang dan jasa, tata kelola sumber daya manusia, dan lainnya. Itu semua adalah korupsi.
Dalam proses demokrasi yang seperti ini, pilkada menjadi faktor kuat pemicu terjadinya pandemi korupsi. Proses penindakan hanyalah melahirkan proses kucing-kucingan karena bagaimanapun korupsi tetap dibutuhkan oleh pasangan calon pemenang untuk mengembalikan modal. Dalam kondisi pilkada menjadi ajang jual beli kewenangan, pendekatan kasuistis hanya peralihan modus dari yang satu ke lainnya, sementara calon koruptor terus berinovasi mencari modus baru yang dianggap aman. Sebanyak 100 koruptor ditebas, akan tumbuh 1.000 calon penggantinya.
tulis komentar anda