7 Mitos Penghambat Vaksinasi

Selasa, 13 Oktober 2020 - 19:17 WIB
Windhi Kresnawati, dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli dalam Webinar Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Senin (12/10/2020) yang mengangkat Cek Fakta Seputar Mitos Vaksin.
JAKARTA - Ada beberapa mitos tentang vaksin dan imunisasi yang berseliweran di tengah masyarakat. Tidak sedikit mitos membuat masyarakat enggan menjalani vaksinasi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengamini bahwa satu dari sepuluh ancaman kesehatan global adalah keraguan orang atas vaksin.

Senada dengan hal itu, Windhi Kresnawati, dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli menyebutkan beredarnya mitos memang menjadi hambatan program vaksinasi sejak dulu. Hal itu diungkapkannya dalam Webinar Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Senin (12/10/2020) yang mengangkat Cek Fakta Seputar Mitos Vaksin.

Mitos apa saja yang perlu diluruskan, berikut ini penjelasan Windhi.

1. Mitos Penyakit infeksi bisa dihindari dengan gaya hidup sehat saja.

Windhi tak menampik pola hidup sehat adalah kebiasaan baik. Namun ia mengingatkan, cara ini belum cukup ampuh untuk mencegah infeksi penyakit tertentu. Fakta soal anggapan ini bisa kita lihat di Amerika Serikat. Saat ditemukan vaksin campak di AS pada 1963, penyakit ini berangsur-angsur hilang. Bahkan pada 1974, pemerintah AS menyatakan bahwa mereka bebas campak. Yang perlu digaris bawahi, pola dan gaya hidup warga AS sejak tahun 1963 hingga 1974 tidak ada perubahan. Artinya, peran terbesar atas hilangnya campak di AS adalah imunisasi atau vaksinasi. Bukan semata-mata gaya hidup yang sehat.



Kondisi ini mulai berubah saat di AS mulai muncul sekte atau kelompok masyarakat yang meragukan vaksin MMR (campak, beguk, rubella). Lalu diikuti dengan semakin banyak orang ragu terhadap peran vaksin campak. "Akibatnya, tahun 2018 Amerika Serikat kembali mengalami wabah campak. Ini disebabkan banyak pendatang dari negara lain yang tidak vaksin dan refuse vaksinasi tinggi," ujar Windhi.

2. Mitos anak yang diimunisasi tetap saja sakit.

Windhi menjelaskan bahwa bila pun mengalami sakit, tingkat keparahan yang dialami pasien imunisasi sangat ringan. Anak-anak yang diimunisasi, bila sakit, akan terhindar dari kecacatan dan kematian.

"Dan jangan lupa, kalau Anda tidak diimunisasi dan Anda tidak sakit, berterimakasihlah kepada orang yang diimunisasi. Karena itulah herd immunity. Ketika kita berada di tengah orang-orang yang sehat, kita tidak terjangkit penyakit," ujar Windhi.

3. Mitos vaksin ada kandungan zat berbahaya.

Windhi menegaskan bahwa hal ini keliru. Vaksin yang sudah diproduksi massal harus memenuhi syarat utama: aman, efektif, stabil, dan efisien dari segi biaya. Artinya panjang prosesnya.

"Setelah dinyatakan aman, dipakai oleh masyarakat luas di bawah monitoring. Kalau negara kita di bawah BPOM. Karena satu saja ada temuan efek samping yang tidak diinginkan itu bisa ditarik dan biasanya itu ketahuan di fase awal," ujar Windhi.

4. Mitos vaksin sebabkan autisme

Windhi memastikan bahwa tidak ada kaitannya antara kandungan vaksin terhadap autisme pada anak. Hal ini sudah terbukti pada penelitian mendalam dan panjang, bahkan hingga lebih dari 10 tahun. Thimerosal merupakan salah satu kandungan vaksin yang sempat dituduh memicu autisme pada anak. Thimerosal ini berfungsi sebagai pengawet vaksin.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More