Merampungkan Proyeksi Indonesia
Rabu, 07 Oktober 2020 - 06:05 WIB
Hasibullah Satrawi
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
PADA tahap tertentu pandemi Covid-19 bisa diibaratkan seperti tsunami, sedangkan Indonesia bisa diibaratkan seperti rumah beton yang masih pada tahap pembangunan; sebagian atap belum terpasang secara baik dan kamar-kamar yang ada belum berfungsi secara baik. Pun demikian dengan instalasi listrik dan saluran airnya. Sementara penghuninya sangat padat dengan pendidikan yang belum merata.
Mungkin karena terbuat dari "beton", sejauh ini Indonesia tak goyah (apalagi runtuh-lumpuh) oleh terjangan Covid-19. Namun demikian, jelas terjadi kebocoran di sana-sini. Dari segi elite (baik pusat maupun daerah), nyaris tidak ada kejelasan yang akan didahulukan antara penyelamatan nyawa atau ekonomi (maunya keduanya terselamatkan tapi justru terancam kehilangan kedua-duanya). Sementara dari sisi masyarakat akar rumput kebutuhan ekonomi sehari-hari dan ketidakpercayaan terhadap bahaya wabah ini bercampur menjadi satu. Ditambah lagi di satu sisi, selama ini ada penyakit kronis berupa korupsi yang membuat masyarakat nyaris tidak percaya kepada elitenya (bahwa elite bekerja untuk kebaikan rakyat), dan di sisi yang lain, tidak semua mereka yang terkena Covid-19 mematikan (ada yang bisa sembuh bahkan tanpa gejala). Semua ini telah membuat Covid-19 acap tak terkendali seperti terlihat belakangan dengan jumlah kasus dan kematian yang semakin meningkat.
Sampai hari ini, penulis merasa lingkaran penyebaran Covid-19 tak ubahnya obat nyamuk bakar. Awalnya titik apinya terjadi di Wuhan yang jauh di sana, tapi pelan-pelan semakin dekat ke Indonesia dan terus semakin dekat ke lingkaran kita sebagai pribadi. Belakangan beberapa kolega yang kenal dekat dengan penulis mulai ada yang terkena virus ini, baik dari unsur pejabat pemerintahan maupun rakyat biasa.
Kondisi Darurat
Dilihat dari perkembangan yang ada, dalam hemat penulis, persoalan Covid-19 sudah masuk dalam kondisi darurat. Tidak hanya dilihat dari data-data positif Covid-19 yang terus meningkat, melainkan juga dilihat dari cara masyarakat yang (karena beberapa hal di atas) tidak terlalu percaya dengan bahaya virus ini. Persoalan Covid-19 di Indonesia tak ubahnya benang kusut yang melilit kehidupan bersama; tak mudah menarik ujung pangkal untuk mengurainya. Salah-salah bisa semakin erat membunuh kita semua.
Oleh karenanya, dibutuhkan ketenangan untuk mengatasi situasi darurat ini dengan penetapan skala prioritas yang dijalankan secara konsisten, yaitu penyelamatan nyawa daripada ekonomi (sesuai dengan saran ahli kesehatan dan epidemiolog). Tak berarti ekonomi tidak penting, tapi seseorang butuh hidup terlebih dahulu sebelum berbicara tentang kebutuhan dalam hidupnya.
Peran kepemimpinan nasional tentu sangat dibutuhkan dalam situasi ini. Ibarat menegakkan benang basah, kepemimpinan nasional bisa menjadi pucuk pimpinan yang bisa menegakkan kepemimpinan-kepemimpinan yang ada di daerah hingga di level paling bawah, minimal dalam menghadapi situasi darurat ini. Dengan kata lain, pemerintah pusat atau badan yang ditunjuk untuk menangani Covid-19 (seperti satgas) harus diberikan wewenang untuk menetapkan wilayah mana yang sudah masuk situasi darurat serta langkah-langkah yang harus dilakukan oleh daerah tersebut untuk bisa keluar dari situasi darurat yang ada.
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
PADA tahap tertentu pandemi Covid-19 bisa diibaratkan seperti tsunami, sedangkan Indonesia bisa diibaratkan seperti rumah beton yang masih pada tahap pembangunan; sebagian atap belum terpasang secara baik dan kamar-kamar yang ada belum berfungsi secara baik. Pun demikian dengan instalasi listrik dan saluran airnya. Sementara penghuninya sangat padat dengan pendidikan yang belum merata.
Mungkin karena terbuat dari "beton", sejauh ini Indonesia tak goyah (apalagi runtuh-lumpuh) oleh terjangan Covid-19. Namun demikian, jelas terjadi kebocoran di sana-sini. Dari segi elite (baik pusat maupun daerah), nyaris tidak ada kejelasan yang akan didahulukan antara penyelamatan nyawa atau ekonomi (maunya keduanya terselamatkan tapi justru terancam kehilangan kedua-duanya). Sementara dari sisi masyarakat akar rumput kebutuhan ekonomi sehari-hari dan ketidakpercayaan terhadap bahaya wabah ini bercampur menjadi satu. Ditambah lagi di satu sisi, selama ini ada penyakit kronis berupa korupsi yang membuat masyarakat nyaris tidak percaya kepada elitenya (bahwa elite bekerja untuk kebaikan rakyat), dan di sisi yang lain, tidak semua mereka yang terkena Covid-19 mematikan (ada yang bisa sembuh bahkan tanpa gejala). Semua ini telah membuat Covid-19 acap tak terkendali seperti terlihat belakangan dengan jumlah kasus dan kematian yang semakin meningkat.
Sampai hari ini, penulis merasa lingkaran penyebaran Covid-19 tak ubahnya obat nyamuk bakar. Awalnya titik apinya terjadi di Wuhan yang jauh di sana, tapi pelan-pelan semakin dekat ke Indonesia dan terus semakin dekat ke lingkaran kita sebagai pribadi. Belakangan beberapa kolega yang kenal dekat dengan penulis mulai ada yang terkena virus ini, baik dari unsur pejabat pemerintahan maupun rakyat biasa.
Kondisi Darurat
Dilihat dari perkembangan yang ada, dalam hemat penulis, persoalan Covid-19 sudah masuk dalam kondisi darurat. Tidak hanya dilihat dari data-data positif Covid-19 yang terus meningkat, melainkan juga dilihat dari cara masyarakat yang (karena beberapa hal di atas) tidak terlalu percaya dengan bahaya virus ini. Persoalan Covid-19 di Indonesia tak ubahnya benang kusut yang melilit kehidupan bersama; tak mudah menarik ujung pangkal untuk mengurainya. Salah-salah bisa semakin erat membunuh kita semua.
Oleh karenanya, dibutuhkan ketenangan untuk mengatasi situasi darurat ini dengan penetapan skala prioritas yang dijalankan secara konsisten, yaitu penyelamatan nyawa daripada ekonomi (sesuai dengan saran ahli kesehatan dan epidemiolog). Tak berarti ekonomi tidak penting, tapi seseorang butuh hidup terlebih dahulu sebelum berbicara tentang kebutuhan dalam hidupnya.
Peran kepemimpinan nasional tentu sangat dibutuhkan dalam situasi ini. Ibarat menegakkan benang basah, kepemimpinan nasional bisa menjadi pucuk pimpinan yang bisa menegakkan kepemimpinan-kepemimpinan yang ada di daerah hingga di level paling bawah, minimal dalam menghadapi situasi darurat ini. Dengan kata lain, pemerintah pusat atau badan yang ditunjuk untuk menangani Covid-19 (seperti satgas) harus diberikan wewenang untuk menetapkan wilayah mana yang sudah masuk situasi darurat serta langkah-langkah yang harus dilakukan oleh daerah tersebut untuk bisa keluar dari situasi darurat yang ada.
Lihat Juga :
tulis komentar anda