Ini Hukum Perkawinan Beda Agama dan Beda Kewarganegaraan
Minggu, 04 Oktober 2020 - 21:56 WIB
Secara yuridis, tidak ada larangan perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama. Dan, jika ada diskriminasi terhadap perkawinan beda agama itu merupakan pelanggaran terhadap asas-asas dasar hak asasi manusia itu sendiri.
Hal ini ditegaskan Ketua Program Studi Doktor Hukum UKI, Prof. John Pieris, dalam webinar “Aspek Hukum Perkawinan Campur ; Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Beda Kewarganegaraan”, yang diadakan Fakultas Hukum UKI bekerjasama dengan Program Studi Doktor Hukum UKI (23/9/2020).
Prof. John Pieris menyatakan secara yuridis, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, tidak melarang adanya perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama. Bahkan, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memberikan secara tidak langsung ruang bagi terjadinya perkawinan beda agama, yaitu dengan memanfaatkan Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
“Secara sosiologis, perkawinan beda agama masih diterima oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Secara filosofis, hak-hak yang terkait dengan agama merupakan hak yang sangat mendasar dan tidak dapat dikurangi, diskriminasi terhadap perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap asas-asas dasar hak asasi manusia itu sendiri, “ ujar Prof. John Pieris.
John Pieris menambahkan bahwa kebebasan dalam memilih pasangan hidup, merupakan salah satu Hak Asasi Manusia yang mendapat perlindungan secara sungguh-sungguh. Hak Kebebasan adalah hak yang bersifat melindungi kebebasan dan kedamaian manusia dalam kehidupan pribadi, antara lain kebebasan memilih jodoh dan kebebasan beragama.
“UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 perlu di revisi dengan terlebih dahulu meletakkan paradigma baru. Teologi persahabatan harus dibangkitkan. Teman-teman yang berbeda agama itu adalah satu bangsa dan satu tanah air. Mari kita merajut persatuan dan menjaga kebhinekaan ini !” tegas John Pieris.
Hal senada dinyatakan Pendeta GKI, yang aktivis lintas agama Pdt. Dr. Albertus Patty, M.A., M.ST bahwa UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974, pasal 2 menyatakan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing HUKUM agamanya dan kepercayaannya itu.
“Tetapi, Indonesia bangsa yang plural! Dunia pun berubah. Perkembangan teknologi, transportasi dan mobilisasi membuat masyarakat mudah berinteraksi. Perkawinan beda agama akan semakin meningkat dan semakin tidak realistis menolaknya. Seharusnya pemerintah melayani kebutuhan warganya yang ingin menikah beda agama karena efek sosialnya yang positif, “ tutur Aktivis Lintas Agama ini.
Pdt. Albertus Patty berpandangan seharusnya agama diciptakan untuk kebaikan manusia. Pemerintah melalui Kementerian Agama dapat melindungi warga negara, dengan merevisi UU Perkawinan.
Hal ini ditegaskan Ketua Program Studi Doktor Hukum UKI, Prof. John Pieris, dalam webinar “Aspek Hukum Perkawinan Campur ; Perkawinan Beda Agama dan Perkawinan Beda Kewarganegaraan”, yang diadakan Fakultas Hukum UKI bekerjasama dengan Program Studi Doktor Hukum UKI (23/9/2020).
Prof. John Pieris menyatakan secara yuridis, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, tidak melarang adanya perkawinan yang dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama. Bahkan, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 memberikan secara tidak langsung ruang bagi terjadinya perkawinan beda agama, yaitu dengan memanfaatkan Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
“Secara sosiologis, perkawinan beda agama masih diterima oleh sebagian masyarakat di Indonesia. Secara filosofis, hak-hak yang terkait dengan agama merupakan hak yang sangat mendasar dan tidak dapat dikurangi, diskriminasi terhadap perkawinan beda agama merupakan pelanggaran terhadap asas-asas dasar hak asasi manusia itu sendiri, “ ujar Prof. John Pieris.
John Pieris menambahkan bahwa kebebasan dalam memilih pasangan hidup, merupakan salah satu Hak Asasi Manusia yang mendapat perlindungan secara sungguh-sungguh. Hak Kebebasan adalah hak yang bersifat melindungi kebebasan dan kedamaian manusia dalam kehidupan pribadi, antara lain kebebasan memilih jodoh dan kebebasan beragama.
“UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 perlu di revisi dengan terlebih dahulu meletakkan paradigma baru. Teologi persahabatan harus dibangkitkan. Teman-teman yang berbeda agama itu adalah satu bangsa dan satu tanah air. Mari kita merajut persatuan dan menjaga kebhinekaan ini !” tegas John Pieris.
Hal senada dinyatakan Pendeta GKI, yang aktivis lintas agama Pdt. Dr. Albertus Patty, M.A., M.ST bahwa UU Perkawinan nomor 1 Tahun 1974, pasal 2 menyatakan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut masing-masing HUKUM agamanya dan kepercayaannya itu.
“Tetapi, Indonesia bangsa yang plural! Dunia pun berubah. Perkembangan teknologi, transportasi dan mobilisasi membuat masyarakat mudah berinteraksi. Perkawinan beda agama akan semakin meningkat dan semakin tidak realistis menolaknya. Seharusnya pemerintah melayani kebutuhan warganya yang ingin menikah beda agama karena efek sosialnya yang positif, “ tutur Aktivis Lintas Agama ini.
Pdt. Albertus Patty berpandangan seharusnya agama diciptakan untuk kebaikan manusia. Pemerintah melalui Kementerian Agama dapat melindungi warga negara, dengan merevisi UU Perkawinan.
tulis komentar anda