Pemerintah Diimbau Waspada Serangan Siber ke Fasilitas Kesehatan
Rabu, 30 September 2020 - 08:30 WIB
JAKARTA - Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah mewaspadai serangan siber . Peringatan muncul setelah virus Ransomware melumpuhkan aktivitas Universal Health Service (UHS) di Amerika Serikat (AS) .
(Baca juga: Kabupaten Ngada Bisa Jadi Contoh Penyelenggaraan Pilkada Aman Covid-19)
Anggota Komisi I Sukamta mengatakan, di masa pandemi Covid-19 (virus Corona), semua orang sadar dan begitu waspada terhadap virus Sars Cov-II. Akan tetapi, Indonesia juga perlu waspada terhadap serangan siber dalam bentuk virus, seperti Ransomware, Wannacry, dan sebagainya.
(Baca juga: Pilkada Tetap Dilanjutkan, Komnas HAM Ingatkan Ratusan KPPS Meninggal di 2019)
Berdasarkan data Kaspersky. Ada 289.892 serangan Ransomware yang terdeteksi di Indonesia sepanjang semester pertama 2020 ini. Targetnya, antara lain, 2 persen usaha, kecil, dan menengah (UKM), 39 persen individu, dan 49 persen enterprise.
Angka itu, menurutnya, menempatkan Indonesia menjadi negara terbesar kedua yang diserang Ransomware di ASEAN. "Jika rumah sakit-rumah sakit dan pusat karantina khusus pasien Covid-19 mendapatkan serangan Ransomware, keadaan bisa menjadi lebih tidak kondusif," ujar Sukamta dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (30/9/2020).
Dia menyebut, virus siber bisa berdampak terhadap pasien. Paling fatal sampai mengancam nyawa. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mencontohkan seorang pasien yang meninggal dunia di Jerman setelah Ransomware menyerang rumah sakit tempatnya dirawat.
"Dalam kondisi kritis, pasien tersebut terpaksa dilarikan ke rumah sakit lain yang jaraknya lebih jauh. Namun, nyawanya tidak tertolong," tuturnya.
Anggota DPR dari daerah pemilihan Yogyakarta itu mengungkapkan, Indonesia pernah diserang malware pada tahun 2017. Virus itu menyerang rumah sakit Dharmais dan Harapan Kita. Jadi, tidak menutup kemungkinan akan ada serangan serupa lagi.
Dia meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Badan Siber dan Sandi Negara agar lebih sigap dalam mencegah serangan siber. "Bagi perusahaan, bisa juga untuk terus meng-update antivirus dan sering melakukan back up data. Jika terjadi serangan, setidaknya ada data cadangan," pungkasnya.
(Baca juga: Kabupaten Ngada Bisa Jadi Contoh Penyelenggaraan Pilkada Aman Covid-19)
Anggota Komisi I Sukamta mengatakan, di masa pandemi Covid-19 (virus Corona), semua orang sadar dan begitu waspada terhadap virus Sars Cov-II. Akan tetapi, Indonesia juga perlu waspada terhadap serangan siber dalam bentuk virus, seperti Ransomware, Wannacry, dan sebagainya.
(Baca juga: Pilkada Tetap Dilanjutkan, Komnas HAM Ingatkan Ratusan KPPS Meninggal di 2019)
Berdasarkan data Kaspersky. Ada 289.892 serangan Ransomware yang terdeteksi di Indonesia sepanjang semester pertama 2020 ini. Targetnya, antara lain, 2 persen usaha, kecil, dan menengah (UKM), 39 persen individu, dan 49 persen enterprise.
Angka itu, menurutnya, menempatkan Indonesia menjadi negara terbesar kedua yang diserang Ransomware di ASEAN. "Jika rumah sakit-rumah sakit dan pusat karantina khusus pasien Covid-19 mendapatkan serangan Ransomware, keadaan bisa menjadi lebih tidak kondusif," ujar Sukamta dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Rabu (30/9/2020).
Dia menyebut, virus siber bisa berdampak terhadap pasien. Paling fatal sampai mengancam nyawa. Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mencontohkan seorang pasien yang meninggal dunia di Jerman setelah Ransomware menyerang rumah sakit tempatnya dirawat.
"Dalam kondisi kritis, pasien tersebut terpaksa dilarikan ke rumah sakit lain yang jaraknya lebih jauh. Namun, nyawanya tidak tertolong," tuturnya.
Anggota DPR dari daerah pemilihan Yogyakarta itu mengungkapkan, Indonesia pernah diserang malware pada tahun 2017. Virus itu menyerang rumah sakit Dharmais dan Harapan Kita. Jadi, tidak menutup kemungkinan akan ada serangan serupa lagi.
Dia meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Badan Siber dan Sandi Negara agar lebih sigap dalam mencegah serangan siber. "Bagi perusahaan, bisa juga untuk terus meng-update antivirus dan sering melakukan back up data. Jika terjadi serangan, setidaknya ada data cadangan," pungkasnya.
(maf)
tulis komentar anda