Ketimpangan Akses dan Kualitas Pendidikan

Rabu, 30 September 2020 - 06:43 WIB
Delish Julkarson Hehi
Delish Julkarson Hehi

Ketua Umum GSKI

PANDEMI Covid-19 masih berkecamuk. Selama enam bulan terakhir, belum ada tanda menunjukan penuruan angka kasus positif. Situasi ini turut memengaruhi dunia pendidikan formal kita yang mempunyai ikatan erat dengan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Apalagi, jauh sebelum pandemi tampak ke permukaan, Indeks Modal Manusia (Human Capital Index /HCI) kita belum cukup membanggakan.

Hasil kajian Bank Dunia pada tahun 2018, menunjukan angka HCI Indonesia sebesar 0.53, kemudian meningkat menjadi 0.54 pada tahun 2020. Indeks ini mengukur dampak tingkat produktivitas pekerja pada masa yang akan datang berdasarkan aspek pendidikan dan kesehatan. Ada lima indikator dalam mengukur indeks tersebut yaitu peluang anak bertahan hidup sampai usia 5 tahun, masa sekolah anak, kualitas pembelajaran, peluang bertahan hidup anak usia 15 tahun sampai dengan 60 tahun, dan proporsi anak yang tidak mengalami stunting. Secara peringkat, Indonesia berada di posisi ke-96 dari 174 negara. Bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga yang dikategorikan sebagai upper middleincome country seperti Thailand (0.61), Malaysia (0.61), HCI Indonesia dikatakan tergolong rendah. Butuh terobosan dan konsistensi dalam membajak pandemi untuk mengkatrol modal manusia Indonesia, guna mendukung pemulihan ekonomi setelah pandemi berlalu.

Inklusivitas Pendidikan



Derap langkah mencerdaskan kehidupan bangsa lewat pendidikan semakin deras terdisrupsi. Meski mengalami guncangan, amanat yang tertuang di dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 C ayat 1) mesti terus ditunaikan. Dunia pendidikan tengah dipaksa untuk mengadopsi metode pembelajaran jarak jauh (PJJ). Tujuannya, agar mencegah penyebaran virus yang bisa menjangkit dan menyebar melalui peserta didik maupun tenaga pendidik. Di sisi lain, situasi sekarang menuntun dunia pendidikan untuk mengakselerasi diri ke arah digital. Namun, metode pembelajaran tersebut menemukan titik kesulitan tersendiri bagi anak. Kemampuan memahami tugas, termasuk materi pelajaran dirasa sulit karena nihilnya bimbingan yang dilakukan secara fisik. Jadwal belajar online belum teratur, besarnya peluang terganggunya fokus peserta didik turut menjadi tantangan yang harus dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar daring.

Berangkat dari hal kemampuan mengikuti pendidikan secara virtual, ternyata disparitas akses sangat nyata. Infrastruktur pendukung kegiatan belajar seperti sambungan internet tergolong sangat minim. Laju pendidikan di jalan digital menemui titik kemacetan. Meski masyarakat sudah mengenal internet sejak tahun 1989, nyatanya akses terhadap internet belum terdistribusi merata. Data Podes 2018 oleh BPS membuktikan bahwa mayoritas povinsi di daerah matahari terbit Indonesia memiliki akses layanan internet yang mendesak untuk segera dibenahi. Di Papua misalnya, terdapat 81.3% desa yang tidak memiliki sinyal telepon seluler maupun sinyal internet posisi kedua diikuti Papua Barat (68,7%), kemudian disusul Maluku (58.2%). Selanjutnya, merujuk pada data yang dirilis oleh Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Papua terdapat 14 daerah yang tidak sama sekali menjalankan kegiatan pembelajaran jarak jauh selama pademi. Praktis akibat dari rendahnya infrastruktur pendukung belajar mengajar daring diprediksikan berdampak terhadap penurunan lama bersekolah anak.

Upaya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan patut kita hargai dalam mendukung digitalisasi pendidikan. Salah satunya lewat pengelontoran anggaran pembelian kuota internet sebesar Rp7,2 triliun akan menyasar siswa, mahasiswa, guru, dan dosen, kala daya beli masyarakat melemah. Namun, menurut hemat penulis tampaknya ikhtiar yang didaratkan perlu mengedepankan aspek keadilan. Hal ini melihat realita infrastruktur pendukung berlajar daring di kawasan Indonesia bagian timur masih tergolong rendah. Lebih lanjut, penulis mengibaratkan Kemendikbud adalah dokter dan pelajar itu pasien, kondisi ini seolah-olah menunjukan dokter sudah memberi tindakan kuratif, sementara sang pasien belum diobservasi apa jenis penyakit yang menjangkit tubuhnya. Belum lagi diperparah dengan data pokok pendidikan (Dapodik) yang menyatakan baru 49.32% nomor ponsel siswa yang terdaftar dari 44 juta siswa. Artinya, ada ruang kosong dan anggaran tidak efektif (ineffective budget) dalam pelaksanaan program tersebut.

Terdapat beberapa solusi untuk mewujudkan tata kelola pendidikan yang berkeadilan di tengah terjangan pandemi. Pertama, berikan sedikit kelonggaran bagi pemerintah daerah yang mengetahui betul bagaimana kualitas jaringan internet dalam mendukung PJJ. Cara desentralistik ini mungkin saja bisa ditempuh dengan mengadakan penambahan ruang kelas semi permanen dan mudah dibangun. Disamping itu, ruangan kelas bisa di desain dengan partisi yang menerapakan prinsip physical distancing antar peserta didik.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More