Hari Pertama Kampanye Diwarnai Pelanggaran
Senin, 28 September 2020 - 08:01 WIB
Namun, pemerintah berpandangan lain. Pilkada tetap harus dilakukan karena tidak ada jaminan kapan pandemi akan berakhir. Selain itu, jika pilkada tertunda banyak daerah yang gubernur, bupati, dan wali kotanya akan dijabat pelaksana tugas.
Keputusan pemerintah ini dinilai nekat. Bahkan, keputusan itu makin diperparah dengan tidak disiapkannya regulasi berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Padahal, dengan menerbitkan perppu setidaknya bisa dibuat aturan yang bisa melindungi masyarakat dari penularan virus. Misalnya perppu akan menghapus ketentuan rapat umum yang rawan memicu kerumunan, juga mengatur secara jelas dan tegas sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. (Baca juga: Susu Colostrum Diklaim Mampu Pulihkan Saraf Kejepit)
Selain itu, perppu bisa mengatur perubahan waktu pencoblosan di TPS, dari maksimal pukul 12.00 menjadi hingga pukul 15.00. Tujuannya agar tidak terjadi penumpukan calon pemilih di TPS.
Tanpa perppu pilkada dianggap sangat rawan memicu bencana. Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera dengan tegas mengingatkan ancaman bahaya jika pilkada digelar tanpa payung hukum yang kuat. “Tidak cukup hanya PKPU. Wajib perppu. Pilkada dengan hanya menggunakan PKPU, itu tanda pemerintah tidak serius menangani pilkada di masa pandemi,” ujarnya kepada KORAN SINDO.
Menurut Mardani, perppu akan memberi kepastian hukum kepada penyelenggara dan pasangan calon. Berbeda dengan PKPU di mana hasil pilkada nanti bakal rawan digugat.
Ancaman Meningkatnya Golput
Sikap pemerintah yang tetap ngotot menggelar pilkada di tengah derasnya permintaan penundaan bisa berdampak pada tingginya angka golongan putih (golput). Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, melihat ancaman golput akan meningkat. Berdasarkan hasil survei, mayoritas warga meminta pesta demokrasi lokal ini ditunda karena pandemi belum berlalu. (Baca juga: Korsel Gelar Operasi di Laut, Korut Kirim Peringatan)
Burhanuddin menyebut warga yang meminta pilkada ditunda sama dengan hasil survei sebelumnya pada Juli 2020 berjumlah 65%. “Saya menduga angkanya akan meningkat lebih tajam kalau kita lakukan survei di hari terakhir, seiring dengan permintaan NU atau Muhammadiyah atau ormas lain," katanya pada webinar bertajuk "Perempuan dan Pilkada" kemarin.
Meningkatnya permintaan penundaan pilkada di tengah pandemi merupakan indikasi kuat akan membesarnya angka golput. Burhanuddin menyebut ada ancaman pilkada tahun ini akan mencatatkan angka golput terbesar dibanding pilkada sebelumnya.
"Jadi, ancaman pilkada di 270 wilayah di tengah bencana ini adalah meningkatnya golput. Jadi 65% di bulan Juli yang minta penundaan adalah sumber golput terbesar," katanya.
Keputusan pemerintah ini dinilai nekat. Bahkan, keputusan itu makin diperparah dengan tidak disiapkannya regulasi berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Padahal, dengan menerbitkan perppu setidaknya bisa dibuat aturan yang bisa melindungi masyarakat dari penularan virus. Misalnya perppu akan menghapus ketentuan rapat umum yang rawan memicu kerumunan, juga mengatur secara jelas dan tegas sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. (Baca juga: Susu Colostrum Diklaim Mampu Pulihkan Saraf Kejepit)
Selain itu, perppu bisa mengatur perubahan waktu pencoblosan di TPS, dari maksimal pukul 12.00 menjadi hingga pukul 15.00. Tujuannya agar tidak terjadi penumpukan calon pemilih di TPS.
Tanpa perppu pilkada dianggap sangat rawan memicu bencana. Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera dengan tegas mengingatkan ancaman bahaya jika pilkada digelar tanpa payung hukum yang kuat. “Tidak cukup hanya PKPU. Wajib perppu. Pilkada dengan hanya menggunakan PKPU, itu tanda pemerintah tidak serius menangani pilkada di masa pandemi,” ujarnya kepada KORAN SINDO.
Menurut Mardani, perppu akan memberi kepastian hukum kepada penyelenggara dan pasangan calon. Berbeda dengan PKPU di mana hasil pilkada nanti bakal rawan digugat.
Ancaman Meningkatnya Golput
Sikap pemerintah yang tetap ngotot menggelar pilkada di tengah derasnya permintaan penundaan bisa berdampak pada tingginya angka golongan putih (golput). Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, melihat ancaman golput akan meningkat. Berdasarkan hasil survei, mayoritas warga meminta pesta demokrasi lokal ini ditunda karena pandemi belum berlalu. (Baca juga: Korsel Gelar Operasi di Laut, Korut Kirim Peringatan)
Burhanuddin menyebut warga yang meminta pilkada ditunda sama dengan hasil survei sebelumnya pada Juli 2020 berjumlah 65%. “Saya menduga angkanya akan meningkat lebih tajam kalau kita lakukan survei di hari terakhir, seiring dengan permintaan NU atau Muhammadiyah atau ormas lain," katanya pada webinar bertajuk "Perempuan dan Pilkada" kemarin.
Meningkatnya permintaan penundaan pilkada di tengah pandemi merupakan indikasi kuat akan membesarnya angka golput. Burhanuddin menyebut ada ancaman pilkada tahun ini akan mencatatkan angka golput terbesar dibanding pilkada sebelumnya.
"Jadi, ancaman pilkada di 270 wilayah di tengah bencana ini adalah meningkatnya golput. Jadi 65% di bulan Juli yang minta penundaan adalah sumber golput terbesar," katanya.
tulis komentar anda