Hari Pertama Kampanye Diwarnai Pelanggaran

Senin, 28 September 2020 - 08:01 WIB
loading...
Hari Pertama Kampanye...
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Imbauan agar peserta pilkada mematuhi protokol kesehatan saat kampanye diabaikan sejumlah pasangan calon. Pada hari pertama kampanye, Sabtu (26/9/2020), sejumlah pelanggaran terjadi. Fakta ini harus disikapi serius karena kampanye pilkada akan berlangsung 71 hari, yakni hingga 5 Desember 2020.

Pada hari pembukaan kampanye Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan pelanggaran protokol kesehatan setidaknya di delapan kabupaten/kota. Pada hari pertama ini, dari 270 daerah yang menggelar pilkada, ada 59 daerah yang pasangan calonnya langsung menggelar kampanye. (Baca: Berkata Kotor dan Keji, Dosa yang Sering Diremehkan)

Salah satu kasus pelanggaran yang menyita perhatian terjadi di Kota Medan, Sumatera Utara. Bawaslu setempat menemukan pelanggaran protokol kesehatan dilakukan oleh dua pasangan calon, yakni Bobby Nasution-Aulia Rachman dan Akhyar Nasution-Salman Alfarisi. Kedua pasangan calon secara terbuka melakukan pertemuan dengan relawan dan pendukung sehingga tercipta kerumunan. Bawaslu setempat menyerahkan kasus pelanggaran ini ke kepolisian untuk ditindaklanjuti.

Ada kekhawatiran pelanggaran protokol kesehatan masih akan terus terjadi. Itu tak lain dipicu oleh lemahnya sanksi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang menerbitkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13/2020 pada Kamis (24/9), namun regulasi tersebut tidak memuat pasal yang memberi sanksi tegas, misalnya diskualifikasi bagi pasangan calon yang melanggar protokol kesehatan.

Pada Pasal 88 diatur bahwa jika terjadi pelanggaran protokol kesehatan maka Bawaslu setempat akan memberikan peringatan tertulis di lokasi kampanye. Jika peringatan tertulis tersebut tidak diindahkan, Bawaslu akan menyampaikan ke pihak kepolisian untuk diberi sanksi sesuai ketentuan undang-undang.

Padahal, sanksi tegas pada kampanye di masa pandemi ini sangat diperlukan agar kejadian kerumunan massa yang rawan memicu penularan Covid-19, sebagaimana saat pendaftaran pasangan calon pada 4-6 September lalu tidak terulang. PKPU Nomor 6/2020 saat itu tidak memuat sanksi tegas bagi yang melanggar protokol kesehatan. Ironisnya, saat dilakukan perubahan PKPU, ketentuan tegas yang bisa menciptakan efek jera juga tidak ada. (Baca juga: Mahasiswa ITS Buat Aplikasi Pemantau Kondisi Manula)

Bawaslu pun tetap tidak bisa merekomendasikan sanksi tegas bagi pelanggar, termasuk diskualifikasi, lantaran PKPU Nomor 13/2020 tidak memberikan kewenangan itu. “Itu aturan yang ada, belum ada ketentuannya (diskualifikasi),” ujar anggota Bawaslu RI Mochammad Afifuddin saat dihubungi kemarin.

Lanjut tanpa Perppu

Sejumlah kalangan mendesak agar jadwal pencoblosan pilkada 9 Desember ditunda demi menghindarkan masyarakat dari potensi penularan virus. Tak kurang, ormas besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menyerukan penundaan.

Namun, pemerintah berpandangan lain. Pilkada tetap harus dilakukan karena tidak ada jaminan kapan pandemi akan berakhir. Selain itu, jika pilkada tertunda banyak daerah yang gubernur, bupati, dan wali kotanya akan dijabat pelaksana tugas.

Keputusan pemerintah ini dinilai nekat. Bahkan, keputusan itu makin diperparah dengan tidak disiapkannya regulasi berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Padahal, dengan menerbitkan perppu setidaknya bisa dibuat aturan yang bisa melindungi masyarakat dari penularan virus. Misalnya perppu akan menghapus ketentuan rapat umum yang rawan memicu kerumunan, juga mengatur secara jelas dan tegas sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan. (Baca juga: Susu Colostrum Diklaim Mampu Pulihkan Saraf Kejepit)

Selain itu, perppu bisa mengatur perubahan waktu pencoblosan di TPS, dari maksimal pukul 12.00 menjadi hingga pukul 15.00. Tujuannya agar tidak terjadi penumpukan calon pemilih di TPS.

Tanpa perppu pilkada dianggap sangat rawan memicu bencana. Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera dengan tegas mengingatkan ancaman bahaya jika pilkada digelar tanpa payung hukum yang kuat. “Tidak cukup hanya PKPU. Wajib perppu. Pilkada dengan hanya menggunakan PKPU, itu tanda pemerintah tidak serius menangani pilkada di masa pandemi,” ujarnya kepada KORAN SINDO.

Menurut Mardani, perppu akan memberi kepastian hukum kepada penyelenggara dan pasangan calon. Berbeda dengan PKPU di mana hasil pilkada nanti bakal rawan digugat.

Ancaman Meningkatnya Golput

Sikap pemerintah yang tetap ngotot menggelar pilkada di tengah derasnya permintaan penundaan bisa berdampak pada tingginya angka golongan putih (golput). Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, melihat ancaman golput akan meningkat. Berdasarkan hasil survei, mayoritas warga meminta pesta demokrasi lokal ini ditunda karena pandemi belum berlalu. (Baca juga: Korsel Gelar Operasi di Laut, Korut Kirim Peringatan)

Burhanuddin menyebut warga yang meminta pilkada ditunda sama dengan hasil survei sebelumnya pada Juli 2020 berjumlah 65%. “Saya menduga angkanya akan meningkat lebih tajam kalau kita lakukan survei di hari terakhir, seiring dengan permintaan NU atau Muhammadiyah atau ormas lain," katanya pada webinar bertajuk "Perempuan dan Pilkada" kemarin.

Meningkatnya permintaan penundaan pilkada di tengah pandemi merupakan indikasi kuat akan membesarnya angka golput. Burhanuddin menyebut ada ancaman pilkada tahun ini akan mencatatkan angka golput terbesar dibanding pilkada sebelumnya.

"Jadi, ancaman pilkada di 270 wilayah di tengah bencana ini adalah meningkatnya golput. Jadi 65% di bulan Juli yang minta penundaan adalah sumber golput terbesar," katanya.

Selain itu, lanjut Burhanuddin, legitimasi pemenang pemilu di tengah pandemi juga akan berkurang. Pasalnya rumus pilkada dan pandemi jelas berlawanan. Pilkada menuntut besarnya partisipasi, sedangkan pandemi menuntut adanya absensi atau ketidakhadiran. (Lihat videonya: Dua Kelompok Ormas di Bekasi Selatan Terlibat Bentrok)

Dengan perbedaan mendasar rumus pilkada dan pandemi ini, dia menilai pemerintah dan DPR terlalu memaksakan gelaran pesta demokrasi tersebut. Implikasinya ancaman golput akan meningkat. "Jadi dua hal yang tidak bisa dikawinkan, tapi oleh pemerintah dan DPR dipaksakan berjalan," katanya. (Fahreza Rizky/Bakti)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1410 seconds (0.1#10.140)