Butuh Konsistensi Putus Rantai Teror
Selasa, 22 September 2020 - 07:01 WIB
Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR ini menyambut baik langkah pencegahan yang telah dilakukan BNPT dengan pembentukan Forum Koordinasi Penanggulangan Terorisme (FKPT), pembentukan Tim Asistensi Khusus atau Kelompok Kerja (Pokja) Deradikalisasi, pencegahan berbasis pengembangan kesejahteraan masyarakat, pencegahan berbasis desa, hingga pencegahan berbasis ulama, tokoh agama, para dai organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, dan lembaga pendidikan keagamaan.
"Tapi juga program-program pencegahan seperti itu harus juga dibarengi dengan evaluasi. Jadi nanti bisa diketahui bagaimana efektivitasnya, kemudian bagaimana perbaikan ke depannya, apa yang bisa dilakukan lagi," ucap Trimedya.
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Raden Ahmad Nurwahid mengatakan, ketika bicara tentang terorisme maka kita tidak bisa lepas dengan perkembangan radikalisme karena radikalisme adalah paham atau fase awal menuju terorisme. Maka dapat dikatakan semua teroris pasti berpaham radikal, tetapi tidak semua paham radikal otomatis akan menjadi teroris. (Baca juga: Krisis Akibat Pandemi, McLaren Jual Kantor Pusat)
Ketika berbicara tentang penanggulangan radikalisme dan terorisme, ujar Nurwahid, maka harus dilihat secara holistis dari hulu sampai hilir. Untuk hilir merupakan upaya penegakan hukum dengan penindakan yang dilakukan Polri dan untuk hulu menjadi tugas pokok BNPT. Upaya hulu inilah disebut sebagai pendekatan nirkekerasan atau soft power approach.
"Tidak bisa ditangani secara parsial. Kalau kita bicara BNPT maka kita bicara upaya hulu. Upaya pencegahan menjadi kuncinya. Upaya pencegahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang di-break down ke dalam PP Nomor 77 Tahun 2019, maka ada tiga yaitu kesiapsiagaan nasional, kemudian kontraradikalisasi, dan deradikalisasi," tegas Nurwahid saat berbincang dengan KORAN SINDO.
Penanganan dari hulu, kata Nurwahid, dimulai dari dua upaya. Pertama, upaya preemptive atau cegah dini yang dimulai dari imunisasi ideologi dengan menyasar mereka yang belum terpapar atau rentan atau potensi terpapar radikalisme. Kedua, moderasi beragama yang ditargetkan pada mereka yang sudah terpapar radikalisme pada level rendah karena faktor ada niat atau motif untuk radikal. (Lihat videonya: Banjir Bandang Terjang Desa Cicurug, Sukabumi)
"Jadi untuk moderasi beragama bisa menggunakan kontranarasi. Kita menggunakan tokoh-tokoh, menggunakan ulama-ulama yang moderat untuk melakukan kontranarasi atas narasi radikal terorisme menjadi narasi-narasi yang moderat. Kontranarasi juga dilakukan baik di media cetak, media elektronik, maupun media sosial," bebernya.
Mantan kabag banops Densus 88 Antiteror Mabes Polri ini mengungkapkan, langkah berikutnya kontraradikalisasi atau kontrapropaganda yang menyasar orang-orang yang sudah masuk dalam jaringan teror atau radikal tingkat tinggi tapi belum memenuhi unsur pidana untuk dilakukan tindakan hukum sesuai dengan UU Terorisme. Terakhir, bagi narapidana terorisme atau orang sudah melakukan aksi teror atau belum melakukan aksi teror tapi sudah bisa dijerat UU Terorisme, maka dilakukan deradikalisasi. (Sabir Laluhu)
"Tapi juga program-program pencegahan seperti itu harus juga dibarengi dengan evaluasi. Jadi nanti bisa diketahui bagaimana efektivitasnya, kemudian bagaimana perbaikan ke depannya, apa yang bisa dilakukan lagi," ucap Trimedya.
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol Raden Ahmad Nurwahid mengatakan, ketika bicara tentang terorisme maka kita tidak bisa lepas dengan perkembangan radikalisme karena radikalisme adalah paham atau fase awal menuju terorisme. Maka dapat dikatakan semua teroris pasti berpaham radikal, tetapi tidak semua paham radikal otomatis akan menjadi teroris. (Baca juga: Krisis Akibat Pandemi, McLaren Jual Kantor Pusat)
Ketika berbicara tentang penanggulangan radikalisme dan terorisme, ujar Nurwahid, maka harus dilihat secara holistis dari hulu sampai hilir. Untuk hilir merupakan upaya penegakan hukum dengan penindakan yang dilakukan Polri dan untuk hulu menjadi tugas pokok BNPT. Upaya hulu inilah disebut sebagai pendekatan nirkekerasan atau soft power approach.
"Tidak bisa ditangani secara parsial. Kalau kita bicara BNPT maka kita bicara upaya hulu. Upaya pencegahan menjadi kuncinya. Upaya pencegahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang di-break down ke dalam PP Nomor 77 Tahun 2019, maka ada tiga yaitu kesiapsiagaan nasional, kemudian kontraradikalisasi, dan deradikalisasi," tegas Nurwahid saat berbincang dengan KORAN SINDO.
Penanganan dari hulu, kata Nurwahid, dimulai dari dua upaya. Pertama, upaya preemptive atau cegah dini yang dimulai dari imunisasi ideologi dengan menyasar mereka yang belum terpapar atau rentan atau potensi terpapar radikalisme. Kedua, moderasi beragama yang ditargetkan pada mereka yang sudah terpapar radikalisme pada level rendah karena faktor ada niat atau motif untuk radikal. (Lihat videonya: Banjir Bandang Terjang Desa Cicurug, Sukabumi)
"Jadi untuk moderasi beragama bisa menggunakan kontranarasi. Kita menggunakan tokoh-tokoh, menggunakan ulama-ulama yang moderat untuk melakukan kontranarasi atas narasi radikal terorisme menjadi narasi-narasi yang moderat. Kontranarasi juga dilakukan baik di media cetak, media elektronik, maupun media sosial," bebernya.
Mantan kabag banops Densus 88 Antiteror Mabes Polri ini mengungkapkan, langkah berikutnya kontraradikalisasi atau kontrapropaganda yang menyasar orang-orang yang sudah masuk dalam jaringan teror atau radikal tingkat tinggi tapi belum memenuhi unsur pidana untuk dilakukan tindakan hukum sesuai dengan UU Terorisme. Terakhir, bagi narapidana terorisme atau orang sudah melakukan aksi teror atau belum melakukan aksi teror tapi sudah bisa dijerat UU Terorisme, maka dilakukan deradikalisasi. (Sabir Laluhu)
(ysw)
tulis komentar anda