Insiden Penusukan Syaikh Ali Jaber: Darurat Perlindungan Tokoh Agama

Selasa, 22 September 2020 - 06:50 WIB
Pasalnya, terdapat dua spekulasi yang menguat kala insiden penusukan tersebut terjadi. Pertama, ada yang menilai bahwa kelompok ini bergerak atas dasar kesadaran sendiri dan melakukan kekerasan tersebut dalam rangka untuk memenuhi tujuan kelompok. Kedua, ada yang menganggap bahwa kelompok yang rentan ini sengaja dimanfaatkan oleh pihak ketiga, yakni “user” untuk tujuan lain yang (di luar kepentingan kelompok tersebut). Kedua preposisi tersebut juga diperkuat dengan argumentasi bahwa serangan terhadap Syaikh Ali Jaber tersebut ternyata memiliki kesamaan pola sebagaimana pernah terjadi terhadap sejumlah tokoh agama beberapa waktu silam.

Pertama, sasaran merupakan tokoh vital yang memiliki pengaruh secara sosial dan keagamaan. Jika benar dilakukan oleh orang gila, semestinya serangan dilakukan dengan target yang acak/ membabibuta. Kedua, terencana, hal ini bisa dilihat dari pelaku yang sudah menyiapkan senjata tajam/ alat kekerasan lain untuk meningkatkan daya rusak terhadap korban. Selain itu, pelaku seolah bisa mencermati timing yang tepat ketika sasaran sedang lengah dan tanpa penjagaan. Ketiga, klaim gila/ kurang waras yang disematkan kepada pelaku. Dan yang terakhir adalah insiden penyerangan seolah terjadi ketika arus kritik terhadap kekuasaan tengah menguat di tengah-tengah publik.

Lantas, apakah peristiwa tersebut terjadi secara alamiah atau by design? Publik sah saja untuk menerka, bukan?

Meskipun demikian, kejujuran dan kesungguhan pemerintah dalam mengusut tuntas kasus ini akan jauh lebih berdampak dan bermanfaat ketimbang membiarkan asumsi liar ini terus berkembang sehingga menjadi boomerang yang mempertajam hubungan antar sesama anak bangsa, apalagi antara rakyat dengan kekuasaan di tengah situasi yang saling membutuhkan. Maka, sudah saatnya meminimalisir potensi munculnya narasi kontraproduktif dan mulai berfokus upaya konstruktif.

Urgensi Perlindungan Tokoh Agama

Secara sosiologis, tokoh agama memiliki peran yang sangat krusial dalam membina dan memelihara hubungan sosial keagamaan masyarakat. Mereka memiliki fungsi penting untuk masuk ke dalam ruang-ruang kelompok/masyarakat dalam rangka mengajarkan pemahaman yang lurus terhadap ajaran di masing-masing agama serta penguatan wacana kerukunan umat beragama. Alhasil, kecakapan ilmu dan kuatnya pengaruh membuat para tokoh agama ini memiliki kedudukan yang khusus di lingkungan masyarakat. Sehingga tak ayal, menjelang tahun pilkada, para tokoh agama ini menjadi sosok yang diperebutkan pengaruh dan simpatinya oleh para politisi untuk memperkuat elektabilitasnya.

Mirisnya, kedudukan strategis para tokoh agama ini turut membawa sejumlah tantangan. Sederet insiden kekerasan yang menimpa tokoh agama kian mengindikasikan bahwa kedudukan tokoh agama juga sangat rentan dan senantiasa terancam dalam setiap melakukan fungsinya yang sensitif di masyarakat Indonesia yang heterogen. Sebenarnya, konstitusi kita telah mengatur bagaimana kedudukan antara HAM, warga negara, dan agama/kepercayaan saling bertalian satu sama lain. Misalnya, Pasal 28 E ayat (1) dan 29 ayat (2) UUD 1945 adalah dasar hukum yang menjamin setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat sesuai agamanya. Sementara, kedudukan Negara dalam konstitusi tersebut adalah untuk menjamin kemerdekaan setiap warganya atas pemenuhan haknya tersebut.

Selanjutnya, dalam Pasal 28G UUD 1945 turut mengatur jaminan hak bagi setiap orang untuk memperoleh perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak asasi manusia terhadap warga negara yang dijamin dalam konstitusi tersebut mencakup siapapun tanpa terkecuali, termasuk tokoh agama.

Sebab itu, dibutuhkan solusi yang sistematis dalam melindungi mereka. Kondisi teranyar semakin mengindikasikan betapa daruratnya perlindungan terhadap tokoh agama. Apalagi, para tokoh agama ini berhak memperoleh perlindungan dari tindakan persekusi, kekerasan fisik maupun nonfisik, bahkan ancaman hukum saat melakukan perannya dalam menyampaikan ajaran agama terhadap umatnya. Walaupun demikian, kondisi peraturan dan perundang-undangan yang ada saat ini ternyata belum memadai untuk memberikan perlindungan kepada para tokoh agama sehingga tindakan persekusi maupun kekerasan terhadap mereka acapkali berulang.

Secara yuridis, memang belum ada undang-undang yang mengatur secara spesifik terkait perlindungan terhadap tokoh agama. Ihwal perlindungan tokoh agama masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, tetapi tidak dilakukan secara komprehensif. Peraturan perundang-undangan tersebut antara lain Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Selain itu, pengaturan terkait tokoh agama juga masih diatur dalam peraturan bersama Menteri dan Surat Keputusan Bersama Menteri yang daya berlakunya lemah.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More