Insiden Penusukan Syaikh Ali Jaber: Darurat Perlindungan Tokoh Agama
Selasa, 22 September 2020 - 06:50 WIB
Bukhori Yusuf
Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS
ACARA wisuda perdana tahfiz Taman Pendidikan Alquran sekaligus perayaan tahun baru Islam 1442 H di Kecamatan Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung seketika berubah gaduh dan mencekam. Sebilah pisau terlihat telah menancap di lengan kanan Syaikh Ali Jaber, sosok ulama yang dikenal moderat oleh kalangan masyarakat sampai elit pemerintah. Tak ayal, mendapati kabar tersebut, Menkopolhukan Mahfud MD segera menginstruksikan seluruh aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus penusukan tersebut.
Sesungguhnya insiden kekerasan yang menyasar ulama atau tokoh agama ini tidak terjadi untuk pertama kalinya. Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tercatat telah terjadi peristiwa kekerasan berdimensi agama dan keyakinan sebanyak 75 kasus sepanjang tahun 2017. Sementara, berdasarkan data Bareskrim Polri pada Februari 2018, terdapat 21 peristiwa kekerasan yang menimpa korban tokoh agama. Kasus tersebut diantaranya terjadi di Aceh, Banten, DKI Jakarta, Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Sementara di Jawa Barat menjadi wilayah dengan kasus terbanyak, yakni 13 kasus.
Ironisnya, tindakan kekerasan tersebut tidak hanya menimbulkan luka cedera yang parah terhadap korban, akan tetapi ada yang sampai berakibat pada kematian sebagaimana menimpa Ustaz Prawoto (Pengurus Ormas Islam Persis) di Bandung yang dianiaya hingga tewas. Selain itu, insiden kekerasan yang berdimensi agama ini tidak hanya menyasar tokoh agama dari umat Islam semata. Misalnya, pada 11 Februari 2020, acara Misa di Gereja St Lidwina Bedog Yogyakarta berubah mencekam ketika seorang pemuda dengan menggunakan senjata tajam menyerang pastur Romo Prier ketika tengah memimpin acara Misa sehingga mengakibatkan empat orang terluka, termasuk pastur itu sendiri.
Ihsan Ali Fauzi, et al dalam Laporan Penelitian Pola-pola Konflik Keagamaan di Indonesia 1990-2008 (2009) menjelaskan bahwa format kekerasan sosial memiliki tiga pola berbeda. Pertama, kekerasan fisik yakni tindakan yang mengarah pada melukai sampai membunuh korban. Kedua, kekerasan psikologis, yakni bentuk kekerasan yang berupa ancaman psikis terhadap suatu objek/ subjek tertentu seperti ancaman pembunuhan melalui media pesan singkar, surat kaleng, dan beragam media lain yang ditujukan untuk menimbulkan kepanikan. Ketiga, kekerasan ideologis, yakni kekerasan yang bersumber dari dorongan ideologis yang mencakup kekerasan fisik dan psikologis.
Sementara, Altwaridji sebagaimana dikutip oleh Buyung Syukron dalam Agama dalam Pusaran Konflik (2017) menyebutkan terdapat tiga faktor yang mendasari terjadinya kekerasan berdimensi agama. Pertama, motif kelompok tertentu untuk memenuhi kepentingan keamanan eksistensinya. Dalam hal ini, mereka menganggap bahwa menyerang adalah strategi pertahanan terbaik. Kedua, adalah faktor perampasan kebutuhan sumberdaya seperti akses politik, identitas (ekspresi budaya dan agama), kebutuhan pangan dan sejumlah kebutuhan primer lain. Ketiga, adalah faktor pemerintah yang tidak mampu memuaskan keinginan dasar individu/ kelompok identitas tertentu.
Mengacu pada kontruksi berpikir di atas, dapat dipahami bahwa insiden penusukan terhadap Syaikh Ali Jaber sebenarnya memiliki dua tujuan sekaligus, yakni menimbulkan kerugian fisik/nyawa sekaligus mengirimkan pesan ancaman yang kuat terhadap publik, khususnya umat Islam. Ironisnya, sejumlah kejanggalan pun kerap terjadi terhadap insiden serupa, yakni di akhir episode pelaku acapkali dinyatakan memiliki gangguang kerjiwaan alias orang gila.
Selain itu, dalam perspektif radikalisme-terorisme wujud teror yang terjadi di Lampung juga bisa diartikan sebagai akumulasi dari gejolak sosial terselubung yang dirasakan oleh golongan/kelompok yang termarjinalkan oleh kebijakan pemerintah yang berdampak terhadap eksistensi mereka. Kegagalan pemerintah dalam memenuhi rasa keadilan sosial, politik, dan ekonomi akhirnya memaksa kelompok ini menjadi pihak yang rentan dan potensial untuk melakukan tindakan kekerasan.
Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS
ACARA wisuda perdana tahfiz Taman Pendidikan Alquran sekaligus perayaan tahun baru Islam 1442 H di Kecamatan Tanjung Karang Barat, Bandar Lampung seketika berubah gaduh dan mencekam. Sebilah pisau terlihat telah menancap di lengan kanan Syaikh Ali Jaber, sosok ulama yang dikenal moderat oleh kalangan masyarakat sampai elit pemerintah. Tak ayal, mendapati kabar tersebut, Menkopolhukan Mahfud MD segera menginstruksikan seluruh aparat penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus penusukan tersebut.
Sesungguhnya insiden kekerasan yang menyasar ulama atau tokoh agama ini tidak terjadi untuk pertama kalinya. Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) tercatat telah terjadi peristiwa kekerasan berdimensi agama dan keyakinan sebanyak 75 kasus sepanjang tahun 2017. Sementara, berdasarkan data Bareskrim Polri pada Februari 2018, terdapat 21 peristiwa kekerasan yang menimpa korban tokoh agama. Kasus tersebut diantaranya terjadi di Aceh, Banten, DKI Jakarta, Yogyakarta, Sumatera Selatan dan Jawa Timur. Sementara di Jawa Barat menjadi wilayah dengan kasus terbanyak, yakni 13 kasus.
Ironisnya, tindakan kekerasan tersebut tidak hanya menimbulkan luka cedera yang parah terhadap korban, akan tetapi ada yang sampai berakibat pada kematian sebagaimana menimpa Ustaz Prawoto (Pengurus Ormas Islam Persis) di Bandung yang dianiaya hingga tewas. Selain itu, insiden kekerasan yang berdimensi agama ini tidak hanya menyasar tokoh agama dari umat Islam semata. Misalnya, pada 11 Februari 2020, acara Misa di Gereja St Lidwina Bedog Yogyakarta berubah mencekam ketika seorang pemuda dengan menggunakan senjata tajam menyerang pastur Romo Prier ketika tengah memimpin acara Misa sehingga mengakibatkan empat orang terluka, termasuk pastur itu sendiri.
Ihsan Ali Fauzi, et al dalam Laporan Penelitian Pola-pola Konflik Keagamaan di Indonesia 1990-2008 (2009) menjelaskan bahwa format kekerasan sosial memiliki tiga pola berbeda. Pertama, kekerasan fisik yakni tindakan yang mengarah pada melukai sampai membunuh korban. Kedua, kekerasan psikologis, yakni bentuk kekerasan yang berupa ancaman psikis terhadap suatu objek/ subjek tertentu seperti ancaman pembunuhan melalui media pesan singkar, surat kaleng, dan beragam media lain yang ditujukan untuk menimbulkan kepanikan. Ketiga, kekerasan ideologis, yakni kekerasan yang bersumber dari dorongan ideologis yang mencakup kekerasan fisik dan psikologis.
Sementara, Altwaridji sebagaimana dikutip oleh Buyung Syukron dalam Agama dalam Pusaran Konflik (2017) menyebutkan terdapat tiga faktor yang mendasari terjadinya kekerasan berdimensi agama. Pertama, motif kelompok tertentu untuk memenuhi kepentingan keamanan eksistensinya. Dalam hal ini, mereka menganggap bahwa menyerang adalah strategi pertahanan terbaik. Kedua, adalah faktor perampasan kebutuhan sumberdaya seperti akses politik, identitas (ekspresi budaya dan agama), kebutuhan pangan dan sejumlah kebutuhan primer lain. Ketiga, adalah faktor pemerintah yang tidak mampu memuaskan keinginan dasar individu/ kelompok identitas tertentu.
Mengacu pada kontruksi berpikir di atas, dapat dipahami bahwa insiden penusukan terhadap Syaikh Ali Jaber sebenarnya memiliki dua tujuan sekaligus, yakni menimbulkan kerugian fisik/nyawa sekaligus mengirimkan pesan ancaman yang kuat terhadap publik, khususnya umat Islam. Ironisnya, sejumlah kejanggalan pun kerap terjadi terhadap insiden serupa, yakni di akhir episode pelaku acapkali dinyatakan memiliki gangguang kerjiwaan alias orang gila.
Selain itu, dalam perspektif radikalisme-terorisme wujud teror yang terjadi di Lampung juga bisa diartikan sebagai akumulasi dari gejolak sosial terselubung yang dirasakan oleh golongan/kelompok yang termarjinalkan oleh kebijakan pemerintah yang berdampak terhadap eksistensi mereka. Kegagalan pemerintah dalam memenuhi rasa keadilan sosial, politik, dan ekonomi akhirnya memaksa kelompok ini menjadi pihak yang rentan dan potensial untuk melakukan tindakan kekerasan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda