Hari Perdamaian Dunia, Indonesia Diminta Adopsi Resolusi Damai untuk Papua
Senin, 21 September 2020 - 19:01 WIB
JAKARTA - Konflik di Tanah Papua hingga kini belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir. Sebagai negara yang banyak berkontribusi dalam misi perdamaian, pemerintah Indonesia diminta untuk terus melakukan upaya perdamaian secara masif.
Hal itu diungkapkan Ketua Tim Kajian Papua LIPI sekaligus penulis buku Papua Road Map Adriana Elisabeth menanggapi diskusi webinar yang diselenggarakan Universitas Cendrawasih (Uncen), Jayapura, Papua dan Universitas Pertahanan (Unhan) Sentul, Bogor dalam rangka memperingati Hari Perdamaian Dunia. (Baca juga: Dana Otsus Bisa Efektif Redam Konflik Papua, Ini Syaratnya)
Dalam webinar tersebut Uncen memilih topik diskusi mengenai “Bersama Mendamaikan Papua” yang diselenggarakan oleh 13 organisasi di Papua dan luar Papua, sementara Unhan fokus pada tema “Identifikasi Potensi Konflik Horizontal dan Resolusi Konflik terkait Pilkada 2020 di Masa Pandemi”. (Baca juga: Pendekatan Damai Dinilai Efektif Hilangkan Nasionalisme Ganda Warga Papua)
”Bagaimana mendamaikan Papua? Belajar dari pengalaman Indonesia dalam merajut kembali perdamaian di Ambon (setelah 1999) dan Sampit (setelah 2001), ikatan sosial masyarakat menjadi kekuatan untuk memulai proses perdamaian,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (21/9/2020). (Baca juga: Selesaikan Konflik di Papua, Pemerintah Harus Lakukan Pendekatan Holistik)
Meskipun segregasi antara komunitas Kristen dan Islam di Ambon masih berlangsung. Bahkan, sebagian masyarakat belum sepenuhnya bisa melupakan kejadian sekitar 21 tahun lalu. Menurut dia, imbas kerusuhan berdarah di Ambon hampir menjangkau Tanah Papua ketika itu, namun berhasil dicegah.
Begitu juga peristiwa Sampit dimana kondisi sosial ekonomi lokal sangat mirip dengan Papua. Perebutan Sumber Daya Alam (SDA) yang bertransformasi menjadi konflik kepentingan, sementara masyarakat lokal atau adat semakin frustasi karena terus terdesak sehingga tidak bisa lagi menjadi nyonya di rumahnya sendiri. ”Namun satu pelajaran dari kasus Sampit, untuk keluar dari gesekan sosial dan pusaran konflik horizontal, masyarakat juga harus mau berubah dan tidak terus menerus meratapi keadaan,” katanya.
Adriana menilai, masyarakat Papua tampaknya masih dalam proses panjang untuk keluar dari situasi konflik, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal yang mulai tampak pascakerusuhan di Wamena dan Jayapura 2019. ”Apa yang bisa dilakukan? Upaya membangun perdamaian harus terus dilakukan, bahkan harus dalam bentuk yang lebih massif,” ucapnya.
Jika selama ini Indonesia telah berkontribusi secara signifikan dalam program perdamaian dunia, baik sebagai fasilitator, mediator dan juga pasukan perdamaian (peace mission) di wilayah-wilayah konflik di dunia maka pengalaman berharga ini perlu diadopsi dalam konteks resolusi damai Papua. ”Kalau Menhan akan merekrut 1.000 Bintara Otsus, mengapa tidak merekrut 1.000 pasukan perdamaian tanpa senjata untuk Papua dan Papua Barat,” katanya.
Misi perdamaian Papua bukan sekedar kegiatan sosial kemanusiaan atau bagi-bagi sembako, namun merupakan langkah strategis yang komprehensif, di mana landasan transformasi konflik dan membangun perdamaian diletakkan, baik melalui pembangunan kapasitas, pelatihan, proses pendidikan berbasis kearifan lokal, maupun konsultasi publik dan pembicaraan-pembicaraan damai (peace talks). ”Pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum untuk merancang masa depan Papua yang aman dan damai. New normal bagi Papua bukan hanya mengenai penanggulangan penyebaran dan penularan virus Corona, namun juga bagaimana merajut kembali relasi sosial untuk perdamaian Papua dalam jangka panjang,” tuturnya.
Dalam konteks Pilkada 2020, kata dia, proses seleksi dan penentuan pemimpin daerah bukan hal biasa namun merupakan proses penting dan memiliki nilai strategis untuk memilih pemimpin yang berintegritas serta berkapasitas dalam mengatasi pandemi Covid-19. Namun yang lebih penting adalah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, membangun keadilan dan menghentikan siklus kekerasan di Tanah Papua. ”Para pemimpin Papua adalah bagian penting dari hirarki kekuasaan nasional di daerah yang memiliki tanggung jawab moral untuk bersama-sama mendamaikan Papua sebagaimana dambaan masyarakat yang menjadi korban dari hiruk pikuk pragmatisme politik dan ekonomi,” katanya.
Hal itu diungkapkan Ketua Tim Kajian Papua LIPI sekaligus penulis buku Papua Road Map Adriana Elisabeth menanggapi diskusi webinar yang diselenggarakan Universitas Cendrawasih (Uncen), Jayapura, Papua dan Universitas Pertahanan (Unhan) Sentul, Bogor dalam rangka memperingati Hari Perdamaian Dunia. (Baca juga: Dana Otsus Bisa Efektif Redam Konflik Papua, Ini Syaratnya)
Dalam webinar tersebut Uncen memilih topik diskusi mengenai “Bersama Mendamaikan Papua” yang diselenggarakan oleh 13 organisasi di Papua dan luar Papua, sementara Unhan fokus pada tema “Identifikasi Potensi Konflik Horizontal dan Resolusi Konflik terkait Pilkada 2020 di Masa Pandemi”. (Baca juga: Pendekatan Damai Dinilai Efektif Hilangkan Nasionalisme Ganda Warga Papua)
”Bagaimana mendamaikan Papua? Belajar dari pengalaman Indonesia dalam merajut kembali perdamaian di Ambon (setelah 1999) dan Sampit (setelah 2001), ikatan sosial masyarakat menjadi kekuatan untuk memulai proses perdamaian,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Senin (21/9/2020). (Baca juga: Selesaikan Konflik di Papua, Pemerintah Harus Lakukan Pendekatan Holistik)
Meskipun segregasi antara komunitas Kristen dan Islam di Ambon masih berlangsung. Bahkan, sebagian masyarakat belum sepenuhnya bisa melupakan kejadian sekitar 21 tahun lalu. Menurut dia, imbas kerusuhan berdarah di Ambon hampir menjangkau Tanah Papua ketika itu, namun berhasil dicegah.
Begitu juga peristiwa Sampit dimana kondisi sosial ekonomi lokal sangat mirip dengan Papua. Perebutan Sumber Daya Alam (SDA) yang bertransformasi menjadi konflik kepentingan, sementara masyarakat lokal atau adat semakin frustasi karena terus terdesak sehingga tidak bisa lagi menjadi nyonya di rumahnya sendiri. ”Namun satu pelajaran dari kasus Sampit, untuk keluar dari gesekan sosial dan pusaran konflik horizontal, masyarakat juga harus mau berubah dan tidak terus menerus meratapi keadaan,” katanya.
Adriana menilai, masyarakat Papua tampaknya masih dalam proses panjang untuk keluar dari situasi konflik, baik yang bersifat vertikal maupun horizontal yang mulai tampak pascakerusuhan di Wamena dan Jayapura 2019. ”Apa yang bisa dilakukan? Upaya membangun perdamaian harus terus dilakukan, bahkan harus dalam bentuk yang lebih massif,” ucapnya.
Jika selama ini Indonesia telah berkontribusi secara signifikan dalam program perdamaian dunia, baik sebagai fasilitator, mediator dan juga pasukan perdamaian (peace mission) di wilayah-wilayah konflik di dunia maka pengalaman berharga ini perlu diadopsi dalam konteks resolusi damai Papua. ”Kalau Menhan akan merekrut 1.000 Bintara Otsus, mengapa tidak merekrut 1.000 pasukan perdamaian tanpa senjata untuk Papua dan Papua Barat,” katanya.
Misi perdamaian Papua bukan sekedar kegiatan sosial kemanusiaan atau bagi-bagi sembako, namun merupakan langkah strategis yang komprehensif, di mana landasan transformasi konflik dan membangun perdamaian diletakkan, baik melalui pembangunan kapasitas, pelatihan, proses pendidikan berbasis kearifan lokal, maupun konsultasi publik dan pembicaraan-pembicaraan damai (peace talks). ”Pandemi Covid-19 bisa menjadi momentum untuk merancang masa depan Papua yang aman dan damai. New normal bagi Papua bukan hanya mengenai penanggulangan penyebaran dan penularan virus Corona, namun juga bagaimana merajut kembali relasi sosial untuk perdamaian Papua dalam jangka panjang,” tuturnya.
Dalam konteks Pilkada 2020, kata dia, proses seleksi dan penentuan pemimpin daerah bukan hal biasa namun merupakan proses penting dan memiliki nilai strategis untuk memilih pemimpin yang berintegritas serta berkapasitas dalam mengatasi pandemi Covid-19. Namun yang lebih penting adalah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua, membangun keadilan dan menghentikan siklus kekerasan di Tanah Papua. ”Para pemimpin Papua adalah bagian penting dari hirarki kekuasaan nasional di daerah yang memiliki tanggung jawab moral untuk bersama-sama mendamaikan Papua sebagaimana dambaan masyarakat yang menjadi korban dari hiruk pikuk pragmatisme politik dan ekonomi,” katanya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda