Pelanggaran Protokol Marak, Pilkada Bisa Jadi Klaster Baru Covid-19
Jum'at, 18 September 2020 - 10:04 WIB
JAKARTA - Pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020 yang baru memasuki proses pendaftaran langsung menuai kritik. Banyak bakal pasangan calon dan pendukungnya melanggar protokol kesehatan Covid-19.
Selepas itu, muncul desakan untuk menunda pilkada karena masih dibayangi ancaman pandemi Covid-19 . Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Fisip Universitas Indonesia (UI) Hurriyah mengatakan, pilihan melanjutkan dan menunda pilkada bukan hal mudah karena semua ada konsekuensinya.
Menurut dia, pilkada merupakan perwujudan demokrasi politik. Rakyat diberikan hak untuk memilih dan dipilih. Namun, penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi Covid-19 juga harus memprioritas kesehatan.
“Demokrasi (dalam arti-red) luas bukan hanya hak berdaulat secara kuasa yang terjamin. Akan tetapi, hak untuk merasa aman dan nyaman juga terjamin,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema Perlindungan Hak atas Kesehatan dalam Tahapan Pilkada di Masa Pandemi Covid-19, Kamis (17/9/2020).( )
Faktanya, menurut dia, pada tahapan pendaftaran sudah banyak pelanggaran, seperti arak-arakan bakal pasangan calon dan pendukungnya, serta konser. Beberapa pihak memperingatkan jika banyak pelanggaran protokol kesehatan, pilkada bisa menjadi klaster baru Covid-19.
Pemilu memang identik dengan pengumpulan massa dalam jumlah banyak. Hurriyah meminta penyelenggara dan aparat keamanan lebih ketat lagi melakukan pengawasan dan tegas dalam penindakan.
Dia mengungkapkan, pilkada bisa ditunda. Misalnya ditinjau dari aspek hak asasi manusia (HAM), dia menerangkan hak pilih itu bisa dicabut sewaktu-waktu dalam kondisi darurat. Pandemi Covid-10 masuk kategori darurat.
“Hak kesehatan itu kewajiban negara untuk melindungi. Hak pilih bisa digunakan. Tidak digunakan pun tidak apa-apa. Di negara lain memilih bukan suatu kewajiban,” katanya.( )
Hurriyah menjelaskan ada 46 negara yang menunda pemilu karena pandemi. Di Tanah Air, penundaan pemilu terjadi pada awal kemerdekaan dan baru dilakukan pada 1955. Lalu, orde baru juga pernah menunda pemilu.
“Kita tidak bisa memaksakan karena mereka punya kekhawatiran terpapar. Bagaimana peserta pemilu? Ada yang covid, dia sulit mengikuti tahapan berikutnya, akhirnya tidak setara,” katanya.
Selepas itu, muncul desakan untuk menunda pilkada karena masih dibayangi ancaman pandemi Covid-19 . Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Fisip Universitas Indonesia (UI) Hurriyah mengatakan, pilihan melanjutkan dan menunda pilkada bukan hal mudah karena semua ada konsekuensinya.
Menurut dia, pilkada merupakan perwujudan demokrasi politik. Rakyat diberikan hak untuk memilih dan dipilih. Namun, penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi Covid-19 juga harus memprioritas kesehatan.
“Demokrasi (dalam arti-red) luas bukan hanya hak berdaulat secara kuasa yang terjamin. Akan tetapi, hak untuk merasa aman dan nyaman juga terjamin,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema Perlindungan Hak atas Kesehatan dalam Tahapan Pilkada di Masa Pandemi Covid-19, Kamis (17/9/2020).( )
Faktanya, menurut dia, pada tahapan pendaftaran sudah banyak pelanggaran, seperti arak-arakan bakal pasangan calon dan pendukungnya, serta konser. Beberapa pihak memperingatkan jika banyak pelanggaran protokol kesehatan, pilkada bisa menjadi klaster baru Covid-19.
Pemilu memang identik dengan pengumpulan massa dalam jumlah banyak. Hurriyah meminta penyelenggara dan aparat keamanan lebih ketat lagi melakukan pengawasan dan tegas dalam penindakan.
Dia mengungkapkan, pilkada bisa ditunda. Misalnya ditinjau dari aspek hak asasi manusia (HAM), dia menerangkan hak pilih itu bisa dicabut sewaktu-waktu dalam kondisi darurat. Pandemi Covid-10 masuk kategori darurat.
“Hak kesehatan itu kewajiban negara untuk melindungi. Hak pilih bisa digunakan. Tidak digunakan pun tidak apa-apa. Di negara lain memilih bukan suatu kewajiban,” katanya.( )
Hurriyah menjelaskan ada 46 negara yang menunda pemilu karena pandemi. Di Tanah Air, penundaan pemilu terjadi pada awal kemerdekaan dan baru dilakukan pada 1955. Lalu, orde baru juga pernah menunda pemilu.
“Kita tidak bisa memaksakan karena mereka punya kekhawatiran terpapar. Bagaimana peserta pemilu? Ada yang covid, dia sulit mengikuti tahapan berikutnya, akhirnya tidak setara,” katanya.
(dam)
Lihat Juga :
tulis komentar anda