Pola Pikir Baru dalam Pengelolaan Kebudayaan

Senin, 07 September 2020 - 07:00 WIB
Argo Twikromo
Argo Twikromo

Staf Pengajar Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Dewan Kebudayaan DIY 2020-2022

KETIKA kebudayaan dikaitkan dengan kesejahteraan hidup, maka pemahaman umum cenderung hanya mengacu pada usaha untuk mengangkat dan mengelola karya-karya budaya yang tampaknya dapat menyejahterakan secara langsung dan cepat dari segi ekonomi masyarakat. Upaya ini menjadi terbingkai oleh atau lekat kaitannya dengan kegiatan ekonomi semata, seperti produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian produksi dan reproduksi karya budaya relatif terbingkai dalam pertimbangan-pertimbangan distribusi (misal: pasar) dan konsumsi (misal: cita rasa kepuasan, keindahan, tampilan).

Kebudayaan menjadi berkelindan tanpa syarat dengan kegiatan ekonomi yang lebih masuk akal dalam pola pikir dominan saat ini. Para pelaku budaya terkadang juga ikut menjadi produsen dan mulai mengemas produk karya budaya mereka (layaknya suatu komoditas) agar siap didistribusikan dan dikonsumsi oleh khalayak umum. Keterkaitan erat suatu karya budaya dengan berbagai karya budaya yang lain kurang terintegrasi secara holistik sebagai pengelolaan kehidupan bersama karena sudah menemukan rajutan dengan komponen ekonomi yang lebih cepat dan nyata hasilnya.

Pola pikir semacam itu tidak bisa dihindarkan ataupun disalahkan ketika kebudayaan dan kesejahteraan silang sengkarut dengan perkembangan dominan saat ini. Perkembangan kehidupan terdominasi oleh pola pikir yang serba instan sehingga relatif banyak keterkaitan erat antar aspek-aspek kehidupan telah tercabik-cabik dan kurang terintegrasi lagi. Berbagai aspek kehidupan saat ini barangkali kurang mampu menghasilkan pemikiran holistik dan terintegrasi dalam rajutan-rajutan keselarasan serta padu serasi dalam pengelolaan kehidupan bersama dan berorientasi pada keberlangsungan kehidupan jangka panjang.



Terminologi Kesejahteraan

Saat ini, kesejahteraan hidup sebagai salah satu aspek kehidupan tidak bisa lepas dari pola pikir instan. Padahal di balik istilah "kesejahteraan" lekat sekali dengan asas-asas kehidupan lain yang saling berkaitan erat (mempunyai ekosistem) untuk saling menopang antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam perkembangan waktu justru asas-asas kesejahteraan bersama menjadi terpinggirkan oleh pola pikir instan masing-masing individu ataupun kelompok yang mengejar langkah instan dan cepat dalam mencapai kesejahteraan dari sisi ekonomi.

Kesejahteraan tidak hanya melulu ditopang oleh urusan ekonomi semata, tapi ditopang juga oleh asas-asas lain, seperti rasa aman dan tenteram, kebersamaan, suasana harmonis, penghargaan terhadap sesama, keseimbangan alam, prakarsa-inisiatif bersama, dan swadaya-kegotongroyongan yang secara tidak disadari terpelihara dalam pengelolaan kehidupan sosial-budaya. Dalam konteks kehidupan bersama, asas-asas tersebut saling terkait dan terajut dalam ekosistemnya masing-masing. Dengan demikian asas-asas kesejahteraan ini tidak tunggal, bahkan keberadaannya saling bersinggungan dengan aspek-aspek yang lain.

Karya-karya budaya sebagai jaring pengaman yang rajutannya dapat memelihara asas-asas yang terkait erat dengan kesejahteraan bersama justru kurang terkelola atau terlestarikan. Posisinya juga sedang bergumul hebat dengan perkembangan global agar asas-asas kebersamaan dan kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya tidak ikut terampok oleh perkembangan zaman. Dengan demikian masih tersisa “ruang”–walau relatif kecil–untuk membangun identitas bangsa ini melalui pengelolaan kebudayaan.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More