Menyiapkan Energi Terbarukan
Senin, 07 September 2020 - 06:45 WIB
Bicara EBT, ada banyak faktor yang mesti diperhatikan. Salah satunya tadi, keandalan. Sebuah pembangkit listrik bisa dikatakan andal apabila mampu menyuplai daya secara terus menerus sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Nah, pembangkit EBT yang sumber energinya bergantung pada kondisi alam seperti air, angin, atau surya, jelas menjadi tantangan tersendiri dalam hal suplainya.
Tidak semua sumber-sumber energi tersebut tersedia sepanjang tahun. Angin misalnya, dalam setahun hanya pada bulan-bulan tertentu saja yang bisa optimal. Air juga demikian, jika musim kemarau suplainya sudah pasti berkurang. Sementara matahari, paling lama hanya bisa bisa diserap energinya maksimal delapan jam sehari, itu pun hanya di daerah tertentu. Pembangkit listrik tenaga surya ini bisa lebih optimal apabila memiliki perangkat baterai berkapasitas besar untuk menyimpan listriknya. Konsekuensinya, biaya investasi akan lebih mahal.
Dengan kondisi ini, maka mau tidak mau perlu sistem pembangkit listrik lain yang bisa memproduksi listrik sesuai kebutuhan. Pembangkit bertenaga diesel dan gas misalnya. Meskipun harga energi primernya lebih mahal, namun hal itu tetap diperlukan jika ingin listrik terus menerus nyala, tanpa byar-pet.
Dalam pengembangan energi hijau ke di masa mendatang, memang banyak tantangannya. Biaya investasi yang mahal adalah salah satunya. Ini berimbas pada harga pokok produksi dari produsen kepada pembelinya yakni PLN. Sementara sebagai perusahaan negara, PLN tidak serta merta menaikkan tarif karena terikat regulasi.
Tantangan lain adalah kondisi geografis Indonesia yang beragam. Masih banyak daerah terutama di kawasan 3T (terdepan, terluar dan tertinggal) yang belum berlistrik. Ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri karena PLN diserahi tanggung jawab melistriki seluruh negeri.
Dengan sumber-sumber energi yang terbatas itu, tentu saja ada konsekuensi yang harus dihadadapi. Memilih investasi besar tapi listrik andal, atau mengandalkan pasokan sumber energi alami tetapi pasokan tak stabil. Maka, jalan tengahnya adalah, tetap mengembangkan EBT dengan menyiapkan cadangan sumber listrik yang andal.
Tidak semua sumber-sumber energi tersebut tersedia sepanjang tahun. Angin misalnya, dalam setahun hanya pada bulan-bulan tertentu saja yang bisa optimal. Air juga demikian, jika musim kemarau suplainya sudah pasti berkurang. Sementara matahari, paling lama hanya bisa bisa diserap energinya maksimal delapan jam sehari, itu pun hanya di daerah tertentu. Pembangkit listrik tenaga surya ini bisa lebih optimal apabila memiliki perangkat baterai berkapasitas besar untuk menyimpan listriknya. Konsekuensinya, biaya investasi akan lebih mahal.
Dengan kondisi ini, maka mau tidak mau perlu sistem pembangkit listrik lain yang bisa memproduksi listrik sesuai kebutuhan. Pembangkit bertenaga diesel dan gas misalnya. Meskipun harga energi primernya lebih mahal, namun hal itu tetap diperlukan jika ingin listrik terus menerus nyala, tanpa byar-pet.
Dalam pengembangan energi hijau ke di masa mendatang, memang banyak tantangannya. Biaya investasi yang mahal adalah salah satunya. Ini berimbas pada harga pokok produksi dari produsen kepada pembelinya yakni PLN. Sementara sebagai perusahaan negara, PLN tidak serta merta menaikkan tarif karena terikat regulasi.
Tantangan lain adalah kondisi geografis Indonesia yang beragam. Masih banyak daerah terutama di kawasan 3T (terdepan, terluar dan tertinggal) yang belum berlistrik. Ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri karena PLN diserahi tanggung jawab melistriki seluruh negeri.
Dengan sumber-sumber energi yang terbatas itu, tentu saja ada konsekuensi yang harus dihadadapi. Memilih investasi besar tapi listrik andal, atau mengandalkan pasokan sumber energi alami tetapi pasokan tak stabil. Maka, jalan tengahnya adalah, tetap mengembangkan EBT dengan menyiapkan cadangan sumber listrik yang andal.
(ras)
tulis komentar anda