Menyiapkan Energi Terbarukan

Senin, 07 September 2020 - 06:45 WIB
loading...
Menyiapkan Energi Terbarukan
Dalam pengembangan energi hijau ke di masa mendatang, memang banyak tantangannya. Biaya investasi yang mahal adalah salah satunya.
A A A
DALAM satu dekade terakhir pembahasan mengenai energi baru dan terbarukan (EBT) kerap muncul di berbagai diskusi. Tak hanya di kampus, pemerintahan, dan media, konsep energi bersih menjadi topik menarik karena dianggap sebagai solusi dalam mendukung ekonomi berkelanjutan.

Di masa pandemi Covid-19, banyak korporasi global menjadikan green energy sebagai salah satu goal di masa mendatang. Mereka menyadari bahwa keberlangsungan bisnis akan sangat dipengaruhi rantai pasok yang ramah lingkungan dan berkelanjutan termasuk di sektor energi.

Bagi mereka yang memiliki ketergantungan terhadap energi fosil, sudah sewajarnya menyadari bahwa lingkungan yang bersih di masa mendatang menjadi keharusan jika ingin mendukung bumi tetap lestari.

Di dalam negeri, pemerintah menargetkan pada 2030 mendatang bisa menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton CO2. Dari angka sebesar itu, sektor pembangkitan listrik EBT ditargetkan ditargetkan dapat berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 156,6 juta ton CO2.

Hal ini sesuai dengan Ratifikasi Paris Agreement pada saat Conference on Parties (COP) 22 di Morocco pada November 2016 lalu, di mana Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 2030 sebesar 29%.

Target tersebut terbilang berat mengingat pasokan energi primer Indonesia saat ini masih didominasi sumber-sumber yang berasal dari fosil. Maklum, sumber energi primer untuk pembangkit listrik saat ini masih didominasi oleh batu bara, gas, dan minyak.

Namun demikian, bukan berarti penggunaan EBT dalam bauran energi primer tidak bisa dilakukan. Buktinya, jika pada 2019 lalu porsi penggunaan EBT masih berkutat di angka 9,15%, tahun ini hingga Mei lalu, kontribusnya mencapai 14,9%. Energi yang berasal dari batu bara masih mendominasi yakni 63,9%, gas 18% dan lainnya.

Secara terperinci, dari angkat 14,95% porsi EBT dalam produksi listrik nasional, sebanyak 8,17% berasal dari pembangkit bertenaga hydro (air), 5,84% panas bumi, 0,74% bahan bakar nabati, dan 0,20% dari jenis EBT lainnya.

Melihat komposisi seperti di atas, tantangan berat jelas menanti para pemangku kepentingan untuk merealisasikan rasio EBT. Namun, di satu sisi kita perlu mengembangkan energi yang lebih bersih, di sisi lain harus diperhatikan tingkat keandalan sebuah pembangkit jika ingin digunakan sebagai beban dasar (base load) dalam sebuah sistem kelistrikan.

Bicara EBT, ada banyak faktor yang mesti diperhatikan. Salah satunya tadi, keandalan. Sebuah pembangkit listrik bisa dikatakan andal apabila mampu menyuplai daya secara terus menerus sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Nah, pembangkit EBT yang sumber energinya bergantung pada kondisi alam seperti air, angin, atau surya, jelas menjadi tantangan tersendiri dalam hal suplainya.

Tidak semua sumber-sumber energi tersebut tersedia sepanjang tahun. Angin misalnya, dalam setahun hanya pada bulan-bulan tertentu saja yang bisa optimal. Air juga demikian, jika musim kemarau suplainya sudah pasti berkurang. Sementara matahari, paling lama hanya bisa bisa diserap energinya maksimal delapan jam sehari, itu pun hanya di daerah tertentu. Pembangkit listrik tenaga surya ini bisa lebih optimal apabila memiliki perangkat baterai berkapasitas besar untuk menyimpan listriknya. Konsekuensinya, biaya investasi akan lebih mahal.

Dengan kondisi ini, maka mau tidak mau perlu sistem pembangkit listrik lain yang bisa memproduksi listrik sesuai kebutuhan. Pembangkit bertenaga diesel dan gas misalnya. Meskipun harga energi primernya lebih mahal, namun hal itu tetap diperlukan jika ingin listrik terus menerus nyala, tanpa byar-pet.

Dalam pengembangan energi hijau ke di masa mendatang, memang banyak tantangannya. Biaya investasi yang mahal adalah salah satunya. Ini berimbas pada harga pokok produksi dari produsen kepada pembelinya yakni PLN. Sementara sebagai perusahaan negara, PLN tidak serta merta menaikkan tarif karena terikat regulasi.

Tantangan lain adalah kondisi geografis Indonesia yang beragam. Masih banyak daerah terutama di kawasan 3T (terdepan, terluar dan tertinggal) yang belum berlistrik. Ini menjadi pekerjaan rumah tersendiri karena PLN diserahi tanggung jawab melistriki seluruh negeri.

Dengan sumber-sumber energi yang terbatas itu, tentu saja ada konsekuensi yang harus dihadadapi. Memilih investasi besar tapi listrik andal, atau mengandalkan pasokan sumber energi alami tetapi pasokan tak stabil. Maka, jalan tengahnya adalah, tetap mengembangkan EBT dengan menyiapkan cadangan sumber listrik yang andal.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1389 seconds (0.1#10.140)