Meletakkan Putusan DKPP Secara Proporsional
Jum'at, 04 September 2020 - 07:17 WIB
Tafsir MK itu secara mutatis mutandis berlaku dan mengikat pula bagi pemaknaan konstitusionalitas Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang juga mengatur sifat final dan mengikat putusan DKPP. Artinya, sifat final dan mengikat putusan DKPP itu tak boleh dilepaskan dari kerangka penafsiran MK tersebut sebagai wujud konsistensi norma undang-undang atas norma konstitusionalnya.
Pada sisi lain, Putusan PTUN Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT tersebut juga menguak kekeliruan putusan DKPP yang mengandung cacat yuridis, karena tidak patuh pada hukum acara. Cacat yuridis itu meliputi: (1) Evi tidak pernah didengar keterangan dan pembelaannya dalam persidangan; (2) putusan diambil dalam rapat pleno yang hanya dihadiri 4 orang anggota DKPP yang seharusnya 7 orang dan dalam keadaan tertentu paling sedikit 5 orang; dan (3) pengadu sudah mencabut pengaduan dalam kesempatan sidang pertama dan tak bersedia lagi hadir dalam sidang berikutnya.
Kredibilitas DKPP
Tindakan DKPP yang cenderung tidak mau menerima kenyataan itu sesungguhnya dapat merusak kredibiltas lembaga yang selama ini dianggap sebagai pelopor peradilan etika (court of ethics). Memang, DKPP didesain sebagai lembaga kuasi peradilan dengan segenap hukum acara yang mirip dengan peradilan sesungguhnya (court of justice). Persidangan-persidangan DKPP pun diselenggarakan dengan prinsip cepat, terbuka, dan sederhana. Namun, DKPP tetaplah bukan lembaga peradilan. Ia adalah lembaga yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan pemilu selain KPU dan Bawaslu.
Maka, DKPP selayaknya tidak perlu mengedepankan egosentrisme kelembagaan dengan mengglorifikasi dirinya sebagai lembaga super penegak kode etik penyelenggara pemilu yang menyubordinasikan KPU dan Bawaslu. Tindakan tidak patuh pada hukum acara seperti tecermin dalam putusannya itu sepantasnya membuat DKPP mengevaluasi diri agar tidak terjadi lagi di masa datang. Hal ini karena tugas menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu merupakaan keniscayaan dalam demokrasi elektoral. DKPP perlu membangun tradisi yang lebih kuat dalam menjalankan kewajibannya sepertimenerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi dalam menegakkan kode etik.
Hal yang patut disesalkan adalah kontroversi putusan DKPP ini muncul pada saat kepercayaan masyarakat belum begitu besar terhadap lembaga yang baru berusia kurang lebih sewindu itu. Survei Founding Fathers House dan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi pada 2019 menyebutkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DKPP mencapai 52,85%. Modal kepercayaan yang belum begitu besar ini dapat semakin terkikis jika DKPP terus menerus menyoal Putusan PTUN Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT yang mengoreksi Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019.
DKPP tidak perlu dan tidak bisa mencabut putusannya sendiri. Yang diharapkan adalah kesediaan DKPP untuk meletakkan putusannya secara proporsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan putusan MK sebagai wujud sikap sportif dalam bernegara.Selain itu, membangun tradisi menghormati produk lembaga lain (dalam hal ini putusan PTUN) yang berwenang secara konstitusional sesuai putusan MK dengan memberikan pengakuan atas eksistensinya adalah bagian dari sikap kenegarawanan. Sebaliknya, menafikan putusan PTUN hanya akan mendelegitimasi keberadaan DKPP.
Di tengah kontroversi sikapnya, keberadaan DKPP tetap penting dalam menjaga profesionalitas penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, memulihkan kredibilitas DKPP setelah putusan kontroversial yang dibuatnya menjadi pekerjaan rumah. Bagaimanapun juga, pemilu yang berkualitas dan berintegritas tidak muncul dari ruang hampa. Ia muncul salah satunya dari penyelenggara pemilu yang berkualitas dan berintegritas lantaran kode etiknya telah ditegakkan oleh DKPP yang tepercaya.
Pada sisi lain, Putusan PTUN Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT tersebut juga menguak kekeliruan putusan DKPP yang mengandung cacat yuridis, karena tidak patuh pada hukum acara. Cacat yuridis itu meliputi: (1) Evi tidak pernah didengar keterangan dan pembelaannya dalam persidangan; (2) putusan diambil dalam rapat pleno yang hanya dihadiri 4 orang anggota DKPP yang seharusnya 7 orang dan dalam keadaan tertentu paling sedikit 5 orang; dan (3) pengadu sudah mencabut pengaduan dalam kesempatan sidang pertama dan tak bersedia lagi hadir dalam sidang berikutnya.
Kredibilitas DKPP
Tindakan DKPP yang cenderung tidak mau menerima kenyataan itu sesungguhnya dapat merusak kredibiltas lembaga yang selama ini dianggap sebagai pelopor peradilan etika (court of ethics). Memang, DKPP didesain sebagai lembaga kuasi peradilan dengan segenap hukum acara yang mirip dengan peradilan sesungguhnya (court of justice). Persidangan-persidangan DKPP pun diselenggarakan dengan prinsip cepat, terbuka, dan sederhana. Namun, DKPP tetaplah bukan lembaga peradilan. Ia adalah lembaga yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan pemilu selain KPU dan Bawaslu.
Maka, DKPP selayaknya tidak perlu mengedepankan egosentrisme kelembagaan dengan mengglorifikasi dirinya sebagai lembaga super penegak kode etik penyelenggara pemilu yang menyubordinasikan KPU dan Bawaslu. Tindakan tidak patuh pada hukum acara seperti tecermin dalam putusannya itu sepantasnya membuat DKPP mengevaluasi diri agar tidak terjadi lagi di masa datang. Hal ini karena tugas menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu merupakaan keniscayaan dalam demokrasi elektoral. DKPP perlu membangun tradisi yang lebih kuat dalam menjalankan kewajibannya sepertimenerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi dalam menegakkan kode etik.
Hal yang patut disesalkan adalah kontroversi putusan DKPP ini muncul pada saat kepercayaan masyarakat belum begitu besar terhadap lembaga yang baru berusia kurang lebih sewindu itu. Survei Founding Fathers House dan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi pada 2019 menyebutkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DKPP mencapai 52,85%. Modal kepercayaan yang belum begitu besar ini dapat semakin terkikis jika DKPP terus menerus menyoal Putusan PTUN Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT yang mengoreksi Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019.
DKPP tidak perlu dan tidak bisa mencabut putusannya sendiri. Yang diharapkan adalah kesediaan DKPP untuk meletakkan putusannya secara proporsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan putusan MK sebagai wujud sikap sportif dalam bernegara.Selain itu, membangun tradisi menghormati produk lembaga lain (dalam hal ini putusan PTUN) yang berwenang secara konstitusional sesuai putusan MK dengan memberikan pengakuan atas eksistensinya adalah bagian dari sikap kenegarawanan. Sebaliknya, menafikan putusan PTUN hanya akan mendelegitimasi keberadaan DKPP.
Di tengah kontroversi sikapnya, keberadaan DKPP tetap penting dalam menjaga profesionalitas penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, memulihkan kredibilitas DKPP setelah putusan kontroversial yang dibuatnya menjadi pekerjaan rumah. Bagaimanapun juga, pemilu yang berkualitas dan berintegritas tidak muncul dari ruang hampa. Ia muncul salah satunya dari penyelenggara pemilu yang berkualitas dan berintegritas lantaran kode etiknya telah ditegakkan oleh DKPP yang tepercaya.
(ras)
tulis komentar anda