Meletakkan Putusan DKPP Secara Proporsional
loading...
A
A
A
A Ahsin Thohari
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
PRESIDEN Joko Widodo telah mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P/2020 tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Masa Jabatan 2017-2022 atas nama Evi Novida Ginting Manik. Pencabutan tersebut tertuang dalam Keppres Nomor 83/P/2020. Evi pun kini aktif kembali menjadi anggota KPU.
Seperti diketahui, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT telah membatalkan Keppres Nomor 34/P/2020. Putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), karena Presiden Joko Widodo tidak mengajukan banding. Sikap presiden itu sesuai dengan Pasal 7 Ayat (2) huruf l Undang-Undang Nomor 30/2004 tentang Administrasi Pemerintahan yang mewajibkan pejabat pemerintahan mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Keberadaan Keppres Nomor 83/P/2020 ini penting untuk mengakhiri polemik seputar ketidakpastian keabsahan pemberhentian Evi.
Sebelumnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Putusan Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 telah menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Evi lantaran terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu. Presiden lalu menindaklanjuti putusan ini dengan menerbitkan Keppres Nomor 34/P/2020 tersebut.
Tak bisa dimungkiri bahwa pemberhentian Evi itu semakin menggerus integritas dan legitimasi KPU yang sedang berjibaku menyiapkan penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah kecamuk pandemi Covid-19 yang belum ada tanda-tanda berkesudahan. Padahal, sebelum kasus Evi ini pun, durja integritas dan legitimasi KPU sudah coreng-moreng oleh keterlibatan anggota KPU lain, Wahyu Setiawan, dalam kasus suap yang kini telah dijatuhi hukuman enam tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Sayangnya, DKPP cenderung kurang menerima putusan PTUN Jakarta dan sikap presiden itu. Seolah-olah ingin menunjukkan kepada publik bahwa putusan DKPP adalah produk hukum yang superior, DKPP bersikeras dengan pendiriannya. Pertama, putusan PTUN Jakarta yang mengoreksi putusan DKPP itu tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Kedua, putusan DKPP bersifat final dan mengikat, sehingga pemberhentian Evi tetap, tidak berubah, dan tidak bisa dianulir. Ketiga, dengan demikian, DKPP tidak mengakui kembalinya Evi sebagai anggota KPU.
Tindakan DKPP ini tentu saja tidak sebangun dengan pendirian Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 31/PUU-XI/2013 yang pernah menafsirkan makna putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat yang diatur dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. MK menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat lembaga peradilan pada umumnya.
Sifat final dan mengikat putusan DKPP harus dimaknai final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP. Adapun keputusan presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu merupakan keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di PTUN. PTUN berwenang memeriksa dan menilai kembali putusan DKPP.
Tafsir MK itu secara mutatis mutandis berlaku dan mengikat pula bagi pemaknaan konstitusionalitas Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang juga mengatur sifat final dan mengikat putusan DKPP. Artinya, sifat final dan mengikat putusan DKPP itu tak boleh dilepaskan dari kerangka penafsiran MK tersebut sebagai wujud konsistensi norma undang-undang atas norma konstitusionalnya.
Pada sisi lain, Putusan PTUN Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT tersebut juga menguak kekeliruan putusan DKPP yang mengandung cacat yuridis, karena tidak patuh pada hukum acara. Cacat yuridis itu meliputi: (1) Evi tidak pernah didengar keterangan dan pembelaannya dalam persidangan; (2) putusan diambil dalam rapat pleno yang hanya dihadiri 4 orang anggota DKPP yang seharusnya 7 orang dan dalam keadaan tertentu paling sedikit 5 orang; dan (3) pengadu sudah mencabut pengaduan dalam kesempatan sidang pertama dan tak bersedia lagi hadir dalam sidang berikutnya.
Kredibilitas DKPP
Tindakan DKPP yang cenderung tidak mau menerima kenyataan itu sesungguhnya dapat merusak kredibiltas lembaga yang selama ini dianggap sebagai pelopor peradilan etika (court of ethics). Memang, DKPP didesain sebagai lembaga kuasi peradilan dengan segenap hukum acara yang mirip dengan peradilan sesungguhnya (court of justice). Persidangan-persidangan DKPP pun diselenggarakan dengan prinsip cepat, terbuka, dan sederhana. Namun, DKPP tetaplah bukan lembaga peradilan. Ia adalah lembaga yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan pemilu selain KPU dan Bawaslu.
Maka, DKPP selayaknya tidak perlu mengedepankan egosentrisme kelembagaan dengan mengglorifikasi dirinya sebagai lembaga super penegak kode etik penyelenggara pemilu yang menyubordinasikan KPU dan Bawaslu. Tindakan tidak patuh pada hukum acara seperti tecermin dalam putusannya itu sepantasnya membuat DKPP mengevaluasi diri agar tidak terjadi lagi di masa datang. Hal ini karena tugas menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu merupakaan keniscayaan dalam demokrasi elektoral. DKPP perlu membangun tradisi yang lebih kuat dalam menjalankan kewajibannya sepertimenerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi dalam menegakkan kode etik.
Hal yang patut disesalkan adalah kontroversi putusan DKPP ini muncul pada saat kepercayaan masyarakat belum begitu besar terhadap lembaga yang baru berusia kurang lebih sewindu itu. Survei Founding Fathers House dan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi pada 2019 menyebutkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DKPP mencapai 52,85%. Modal kepercayaan yang belum begitu besar ini dapat semakin terkikis jika DKPP terus menerus menyoal Putusan PTUN Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT yang mengoreksi Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019.
DKPP tidak perlu dan tidak bisa mencabut putusannya sendiri. Yang diharapkan adalah kesediaan DKPP untuk meletakkan putusannya secara proporsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan putusan MK sebagai wujud sikap sportif dalam bernegara.Selain itu, membangun tradisi menghormati produk lembaga lain (dalam hal ini putusan PTUN) yang berwenang secara konstitusional sesuai putusan MK dengan memberikan pengakuan atas eksistensinya adalah bagian dari sikap kenegarawanan. Sebaliknya, menafikan putusan PTUN hanya akan mendelegitimasi keberadaan DKPP.
Di tengah kontroversi sikapnya, keberadaan DKPP tetap penting dalam menjaga profesionalitas penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, memulihkan kredibilitas DKPP setelah putusan kontroversial yang dibuatnya menjadi pekerjaan rumah. Bagaimanapun juga, pemilu yang berkualitas dan berintegritas tidak muncul dari ruang hampa. Ia muncul salah satunya dari penyelenggara pemilu yang berkualitas dan berintegritas lantaran kode etiknya telah ditegakkan oleh DKPP yang tepercaya.
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
PRESIDEN Joko Widodo telah mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P/2020 tentang Pemberhentian dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Masa Jabatan 2017-2022 atas nama Evi Novida Ginting Manik. Pencabutan tersebut tertuang dalam Keppres Nomor 83/P/2020. Evi pun kini aktif kembali menjadi anggota KPU.
Seperti diketahui, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT telah membatalkan Keppres Nomor 34/P/2020. Putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), karena Presiden Joko Widodo tidak mengajukan banding. Sikap presiden itu sesuai dengan Pasal 7 Ayat (2) huruf l Undang-Undang Nomor 30/2004 tentang Administrasi Pemerintahan yang mewajibkan pejabat pemerintahan mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Keberadaan Keppres Nomor 83/P/2020 ini penting untuk mengakhiri polemik seputar ketidakpastian keabsahan pemberhentian Evi.
Sebelumnya, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) melalui Putusan Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 telah menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada Evi lantaran terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu. Presiden lalu menindaklanjuti putusan ini dengan menerbitkan Keppres Nomor 34/P/2020 tersebut.
Tak bisa dimungkiri bahwa pemberhentian Evi itu semakin menggerus integritas dan legitimasi KPU yang sedang berjibaku menyiapkan penyelenggaraan Pilkada 2020 di tengah kecamuk pandemi Covid-19 yang belum ada tanda-tanda berkesudahan. Padahal, sebelum kasus Evi ini pun, durja integritas dan legitimasi KPU sudah coreng-moreng oleh keterlibatan anggota KPU lain, Wahyu Setiawan, dalam kasus suap yang kini telah dijatuhi hukuman enam tahun penjara oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Sayangnya, DKPP cenderung kurang menerima putusan PTUN Jakarta dan sikap presiden itu. Seolah-olah ingin menunjukkan kepada publik bahwa putusan DKPP adalah produk hukum yang superior, DKPP bersikeras dengan pendiriannya. Pertama, putusan PTUN Jakarta yang mengoreksi putusan DKPP itu tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu. Kedua, putusan DKPP bersifat final dan mengikat, sehingga pemberhentian Evi tetap, tidak berubah, dan tidak bisa dianulir. Ketiga, dengan demikian, DKPP tidak mengakui kembalinya Evi sebagai anggota KPU.
Tindakan DKPP ini tentu saja tidak sebangun dengan pendirian Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 31/PUU-XI/2013 yang pernah menafsirkan makna putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat yang diatur dalam Pasal 112 ayat (12) Undang-Undang Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu. MK menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat lembaga peradilan pada umumnya.
Sifat final dan mengikat putusan DKPP harus dimaknai final dan mengikat bagi presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP. Adapun keputusan presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu merupakan keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat konkret, individual, dan final yang dapat menjadi objek gugatan di PTUN. PTUN berwenang memeriksa dan menilai kembali putusan DKPP.
Tafsir MK itu secara mutatis mutandis berlaku dan mengikat pula bagi pemaknaan konstitusionalitas Pasal 458 ayat (13) Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu yang juga mengatur sifat final dan mengikat putusan DKPP. Artinya, sifat final dan mengikat putusan DKPP itu tak boleh dilepaskan dari kerangka penafsiran MK tersebut sebagai wujud konsistensi norma undang-undang atas norma konstitusionalnya.
Pada sisi lain, Putusan PTUN Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT tersebut juga menguak kekeliruan putusan DKPP yang mengandung cacat yuridis, karena tidak patuh pada hukum acara. Cacat yuridis itu meliputi: (1) Evi tidak pernah didengar keterangan dan pembelaannya dalam persidangan; (2) putusan diambil dalam rapat pleno yang hanya dihadiri 4 orang anggota DKPP yang seharusnya 7 orang dan dalam keadaan tertentu paling sedikit 5 orang; dan (3) pengadu sudah mencabut pengaduan dalam kesempatan sidang pertama dan tak bersedia lagi hadir dalam sidang berikutnya.
Kredibilitas DKPP
Tindakan DKPP yang cenderung tidak mau menerima kenyataan itu sesungguhnya dapat merusak kredibiltas lembaga yang selama ini dianggap sebagai pelopor peradilan etika (court of ethics). Memang, DKPP didesain sebagai lembaga kuasi peradilan dengan segenap hukum acara yang mirip dengan peradilan sesungguhnya (court of justice). Persidangan-persidangan DKPP pun diselenggarakan dengan prinsip cepat, terbuka, dan sederhana. Namun, DKPP tetaplah bukan lembaga peradilan. Ia adalah lembaga yang melaksanakan fungsi penyelenggaraan pemilu selain KPU dan Bawaslu.
Maka, DKPP selayaknya tidak perlu mengedepankan egosentrisme kelembagaan dengan mengglorifikasi dirinya sebagai lembaga super penegak kode etik penyelenggara pemilu yang menyubordinasikan KPU dan Bawaslu. Tindakan tidak patuh pada hukum acara seperti tecermin dalam putusannya itu sepantasnya membuat DKPP mengevaluasi diri agar tidak terjadi lagi di masa datang. Hal ini karena tugas menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu merupakaan keniscayaan dalam demokrasi elektoral. DKPP perlu membangun tradisi yang lebih kuat dalam menjalankan kewajibannya sepertimenerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi dalam menegakkan kode etik.
Hal yang patut disesalkan adalah kontroversi putusan DKPP ini muncul pada saat kepercayaan masyarakat belum begitu besar terhadap lembaga yang baru berusia kurang lebih sewindu itu. Survei Founding Fathers House dan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi pada 2019 menyebutkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DKPP mencapai 52,85%. Modal kepercayaan yang belum begitu besar ini dapat semakin terkikis jika DKPP terus menerus menyoal Putusan PTUN Jakarta Nomor 82/G/2020/PTUN-JKT yang mengoreksi Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019.
DKPP tidak perlu dan tidak bisa mencabut putusannya sendiri. Yang diharapkan adalah kesediaan DKPP untuk meletakkan putusannya secara proporsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan putusan MK sebagai wujud sikap sportif dalam bernegara.Selain itu, membangun tradisi menghormati produk lembaga lain (dalam hal ini putusan PTUN) yang berwenang secara konstitusional sesuai putusan MK dengan memberikan pengakuan atas eksistensinya adalah bagian dari sikap kenegarawanan. Sebaliknya, menafikan putusan PTUN hanya akan mendelegitimasi keberadaan DKPP.
Di tengah kontroversi sikapnya, keberadaan DKPP tetap penting dalam menjaga profesionalitas penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, memulihkan kredibilitas DKPP setelah putusan kontroversial yang dibuatnya menjadi pekerjaan rumah. Bagaimanapun juga, pemilu yang berkualitas dan berintegritas tidak muncul dari ruang hampa. Ia muncul salah satunya dari penyelenggara pemilu yang berkualitas dan berintegritas lantaran kode etiknya telah ditegakkan oleh DKPP yang tepercaya.
(ras)