UU Mahkamah Konstitusi Hanya Akan Lahirkan Demokrasi Semu
Rabu, 02 September 2020 - 17:06 WIB
Kemudian, Selasa (1/9) kemarin rapat paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengetuk palu, tanda disahkannya RUU MK tersebut menjadi UU.
Sidang yang berlangsung tertutup dan supercepat tentu menimbulkan banyak pertanyaan dari publik. “UU adalah cara rakyat mengatur dirinya, mengatur negara atau pemerintah,” ujar Guru Besar FH Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti kepada SINDOnews, Selasa (1/9) malam kemarin. Dan,”Pembahasan yang tertutup berarti menegasikan sendi demokrasi.” Ujung-ujungnya,”Demokrasi mati di tangan pembentuk UU, dan yang selanjutnya terjadi adalah demokrasi semu.”
Lebih jauh, ia menyoroti persoalan prosedur dan materi muatan RUU. Ia tak setuju dengan RUU yang diajukan oleh pengusul tunggal dirancang dan dibahas secara cepat. Sebagaimana diketahui bahwa pengusul RUU ini adalah Badan Legilslasi (Baleg) DPR yang diketuai Suprataman Andi Agtas, pertengahan April silam.
Sejumlah pakar hukum ketatanegaraan lantas mengendus adanya dugaan barter politik dari pembentukan RUU ini. Ambil contoh, soal usia pensiun hakim MK yang ditetapkan jadi 70 tahun. Perpanjangan usia pensiun dinilai sebagai upaya memanjakan hakim lantaran langsung berlaku untuk hakim yang berdinas saat ini. Bukan untuk hakim di periode berikutnya.
Sekadar mengingatkan, saat ini MK tengah menyidangkan dua perkara yang sangat menyedot perhatian masyarakat: UU KPK, UU Stabiltas Keuangan Negara. Belum lagi RUU Cipta Kerja yang sangat potensial digugat ke MK setelah disahkan.
Tak urung, perpanjangan usia pensiun hakim MK dikhawatirkan melemahkan independensi hakim lantaran merasa berutang budi, juga rentan dikontrol demi kepentingan DPR dan pemerintah. Bukan apa-apa, memperpanjang masa jabatan tanpa evaluasi sama saja dengan mendorong terjadinya penyalahgunaan kewenangan MK. Mereka akan menjabat selama 15 tahun tanpa koreksi.
Tentu saja intervensi terhadap Lembaga melalui regulasi merupakan bagian dari upaya melemahkan demokrasi. Lembaga-lembaga itu memang tetap ada, tapi seolah tanpa ruh berkat kewenangannya telah dipereteli,struktur birokrasinya diperumit, dan orang-orangnya mudah dikontrol.
Sidang yang berlangsung tertutup dan supercepat tentu menimbulkan banyak pertanyaan dari publik. “UU adalah cara rakyat mengatur dirinya, mengatur negara atau pemerintah,” ujar Guru Besar FH Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti kepada SINDOnews, Selasa (1/9) malam kemarin. Dan,”Pembahasan yang tertutup berarti menegasikan sendi demokrasi.” Ujung-ujungnya,”Demokrasi mati di tangan pembentuk UU, dan yang selanjutnya terjadi adalah demokrasi semu.”
Lebih jauh, ia menyoroti persoalan prosedur dan materi muatan RUU. Ia tak setuju dengan RUU yang diajukan oleh pengusul tunggal dirancang dan dibahas secara cepat. Sebagaimana diketahui bahwa pengusul RUU ini adalah Badan Legilslasi (Baleg) DPR yang diketuai Suprataman Andi Agtas, pertengahan April silam.
Sejumlah pakar hukum ketatanegaraan lantas mengendus adanya dugaan barter politik dari pembentukan RUU ini. Ambil contoh, soal usia pensiun hakim MK yang ditetapkan jadi 70 tahun. Perpanjangan usia pensiun dinilai sebagai upaya memanjakan hakim lantaran langsung berlaku untuk hakim yang berdinas saat ini. Bukan untuk hakim di periode berikutnya.
Sekadar mengingatkan, saat ini MK tengah menyidangkan dua perkara yang sangat menyedot perhatian masyarakat: UU KPK, UU Stabiltas Keuangan Negara. Belum lagi RUU Cipta Kerja yang sangat potensial digugat ke MK setelah disahkan.
Tak urung, perpanjangan usia pensiun hakim MK dikhawatirkan melemahkan independensi hakim lantaran merasa berutang budi, juga rentan dikontrol demi kepentingan DPR dan pemerintah. Bukan apa-apa, memperpanjang masa jabatan tanpa evaluasi sama saja dengan mendorong terjadinya penyalahgunaan kewenangan MK. Mereka akan menjabat selama 15 tahun tanpa koreksi.
Tentu saja intervensi terhadap Lembaga melalui regulasi merupakan bagian dari upaya melemahkan demokrasi. Lembaga-lembaga itu memang tetap ada, tapi seolah tanpa ruh berkat kewenangannya telah dipereteli,struktur birokrasinya diperumit, dan orang-orangnya mudah dikontrol.
(rza)
tulis komentar anda