UU Mahkamah Konstitusi Hanya Akan Lahirkan Demokrasi Semu

Rabu, 02 September 2020 - 17:06 WIB
loading...
UU Mahkamah Konstitusi...
Mahkamah Konstitusi. FOTO:SINDOnews
A A A
JAKARTA - Undang-undang yang baik adalah yang sesuai dengan pekembangan zaman dan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di masyarakat. Untuk menciptakan hukum seperti itu tentu dibutuhkan pembahasan yang mendalam, diskusi panjang lebar, dan waktu yang panjang.

Namun agaknya itu tak berlaku lagi saat ini. Coba lihat beberapa perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah dan DPR belakangan ini. Proses pembuatannya serba singkat laksana kilat. RUU KPK untuk disahkan menjadi undang-undang (UU) hanya butuh waktu tempo 12 hari. Dan yang terbaru, RUU Mahkamah Konstitusi (MK) lebih cepat lagi, hanya satu minggu.

Perubahan ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang MK disetujui menjadi UU, Selasa (1/9) kemarin, melalui sidang paripurna DPR.

Substansi yang menjadi pembahasan dalam RUU MK, antara lain, kedudukan susunan dan wewenang MK, pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi dan perubahan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, perubahan mengenai usia minimal syarat dan tata cara seleksi hakim konsititusi.

Kemudian, penambahan ketentuan baru mengenai unsur majelis kehormatan MK, serta pengaturan mengenai ketentuan peralihan agar jaminan kepastian hukum yang adil bagi hakim konstitusi yang saat ini masih mengemban amanah sebagai negarawan, menjaga konstitusi tetap terjamin secara konstitusional.

Panitia kerja (Panja) juga telah merumuskan perubahan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Antara lain jumlah keseluruhan sebanyak 121 DIM, jumlah yang dinyatakan tetap menjadi 94 DIM, jumlah DIM yang bersifat redaksional menjadi sebanyak 13. Kemudian, 12 DIM bersifat substansi serta 2 DIM bersifat substansi baru.

Pertama, batas usia minimum dan usia maksimum hakim konstitusi. Kedua, persyaratan hakim konstitusi yang berasal dari lingkungan peradilan Mahkamah Agung. Ketiga, batas waktu pemberhentian hakim konstitusi karena berakhir masa jabatannya. Keempat, anggota Majelis Kehormatan MK yang berasal dari akademisi yang berlatarbelakang di bidang hukum. Kelima, legitimasi hakim konstitusi yang sedang menjabat terkait dengan perubahan undang-undang ini.

Yang jadi masalah, selain secepat kilat, pembahasan RUU ini berlangsung tertutup untuk umum.

Senin (24/8) pekan lalu DPR dan pemerintah pertama kali rapat dengan membacakan sikap dan keterangan masing-masing. Esoknya, rapat dilanjutkan dengan penyerahan DIM dari pemerintah. Panja pun dibentuk. Rabu, panja menggelar rapat pertama yang berlangsung tertutup. Rapat dua hari beriktunya juga tertutup. Lantas, Senin (31/8) lalu DPR dan pemerintah melakukan rapat pengambilan keputusan tingkat pertama. Singkat kata, pembahasan substanti tuntas, dan selanjutnya diusulkan untuk mendapat pengesahan.

Kemudian, Selasa (1/9) kemarin rapat paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengetuk palu, tanda disahkannya RUU MK tersebut menjadi UU.

Sidang yang berlangsung tertutup dan supercepat tentu menimbulkan banyak pertanyaan dari publik. “UU adalah cara rakyat mengatur dirinya, mengatur negara atau pemerintah,” ujar Guru Besar FH Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti kepada SINDOnews, Selasa (1/9) malam kemarin. Dan,”Pembahasan yang tertutup berarti menegasikan sendi demokrasi.” Ujung-ujungnya,”Demokrasi mati di tangan pembentuk UU, dan yang selanjutnya terjadi adalah demokrasi semu.”

Lebih jauh, ia menyoroti persoalan prosedur dan materi muatan RUU. Ia tak setuju dengan RUU yang diajukan oleh pengusul tunggal dirancang dan dibahas secara cepat. Sebagaimana diketahui bahwa pengusul RUU ini adalah Badan Legilslasi (Baleg) DPR yang diketuai Suprataman Andi Agtas, pertengahan April silam.

Sejumlah pakar hukum ketatanegaraan lantas mengendus adanya dugaan barter politik dari pembentukan RUU ini. Ambil contoh, soal usia pensiun hakim MK yang ditetapkan jadi 70 tahun. Perpanjangan usia pensiun dinilai sebagai upaya memanjakan hakim lantaran langsung berlaku untuk hakim yang berdinas saat ini. Bukan untuk hakim di periode berikutnya.

Sekadar mengingatkan, saat ini MK tengah menyidangkan dua perkara yang sangat menyedot perhatian masyarakat: UU KPK, UU Stabiltas Keuangan Negara. Belum lagi RUU Cipta Kerja yang sangat potensial digugat ke MK setelah disahkan.

Tak urung, perpanjangan usia pensiun hakim MK dikhawatirkan melemahkan independensi hakim lantaran merasa berutang budi, juga rentan dikontrol demi kepentingan DPR dan pemerintah. Bukan apa-apa, memperpanjang masa jabatan tanpa evaluasi sama saja dengan mendorong terjadinya penyalahgunaan kewenangan MK. Mereka akan menjabat selama 15 tahun tanpa koreksi.

Tentu saja intervensi terhadap Lembaga melalui regulasi merupakan bagian dari upaya melemahkan demokrasi. Lembaga-lembaga itu memang tetap ada, tapi seolah tanpa ruh berkat kewenangannya telah dipereteli,struktur birokrasinya diperumit, dan orang-orangnya mudah dikontrol.
(rza)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1667 seconds (0.1#10.140)