Menyelamatkan Lembaga Negara OJK
Rabu, 02 September 2020 - 07:02 WIB
Kebijakan Rendah Risiko
Merespons persoalan yang saat ini terjadi di sektor jasa keuangan, telunjuk publik langsung mengarah pada OJK sebagai lembaga yang memiliki otoritas sebagai pengawas terhadap lembaga perbankan dan lembaga keungan non perbankan. Kritik tersebut harus ditempatkan sebagai bagian dari upaya kontrol publik terhadap OJK. Sebagai lembaga negara, menjadi keharusan bagi OJK untuk senantiasa mendapat kontrol baik secara formal melalui lembaga parlemen maupun oleh masyarakat sipil lainnya. Kritik dan masukan dari publik tersebut semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya OJK untuk melakukan perbaikan kinerja.
Perbaikan kinerja OJK yang diwujudkan pembentukan sistem yang ajeg di internal lembaga mutlak dilakukan dengan secara simultan membarengi dengan perbaikan berupa: pertama, pembuatan aturan yang berorientasi di internal lembaga yang sifatnya penguatan code of conduct (pedoman perilaku) dalam tata kerja di internal yang berlaku bagi seluruh pegawai OJK serta aturan yang berorientasi eksternal yang mengatur eksositem lembaga perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan.
Kedua, aparatur yang berintegritas. Munculnya aparatur yang berintegritas tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan aturan main di internal yang meliputi aspek hukum sekaligus aspek etik. Di poin ini memiliki relevansi dan signifikansi yang kuat, menyusul penetapan tersangka salah satu pejabat dengan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus Jiwasraya.
Ketiga, jika dua hal sebelumnya berjalan dengan baik, maka akan melahirkan budaya hukum dan etik yang baik yang melembaga baik di internal lembaga maupun di lingkungan ekosistem perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan. Ketiga hal tersebut merupakan mekanisme perbaikan OJK yang rendah risiko daripada pilihan yang tersedia seperti mengembalikan kewenangan OJK ke BI melalui mekanisme penerbitan Perppu oleh Presiden atau perubahan UU oleh DPR dan Presiden.
Kontraksi dan turbulensi tidak menutup kemungkinan akan muncul atas perubahan politik hukum di sektor pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non perbankan ini. Terlebih di situasi saat ini, di tengah pandemi Covid-19 yang secara konkret telah memberi dampak serius terhadap perekonomian di Indonesia.
Sewindu kiprah OJK dalam pengawasan terhadap lembaga perbankan dan lembaga keuangan non perbankan, secara faktual telah membentuk sistem pengawasan yang relatif tercapai. Meski, secara faktual masih ada masalah di sejumlah hal, sebagaimana yang muncul belakangan ini, namun bukan berarti untuk mengatasi masalah tersebut menempuh jalan pintas dengan membubarkan atau memereteli kewenangannya. Seperti adagium klasik, “tangkap tikusnya jangan bakar gudangnya”.
Lihat Juga: 6 Menteri Perdagangan Sedekade Terakhir, Nomor 2 Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Importasi Gula
Merespons persoalan yang saat ini terjadi di sektor jasa keuangan, telunjuk publik langsung mengarah pada OJK sebagai lembaga yang memiliki otoritas sebagai pengawas terhadap lembaga perbankan dan lembaga keungan non perbankan. Kritik tersebut harus ditempatkan sebagai bagian dari upaya kontrol publik terhadap OJK. Sebagai lembaga negara, menjadi keharusan bagi OJK untuk senantiasa mendapat kontrol baik secara formal melalui lembaga parlemen maupun oleh masyarakat sipil lainnya. Kritik dan masukan dari publik tersebut semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya OJK untuk melakukan perbaikan kinerja.
Perbaikan kinerja OJK yang diwujudkan pembentukan sistem yang ajeg di internal lembaga mutlak dilakukan dengan secara simultan membarengi dengan perbaikan berupa: pertama, pembuatan aturan yang berorientasi di internal lembaga yang sifatnya penguatan code of conduct (pedoman perilaku) dalam tata kerja di internal yang berlaku bagi seluruh pegawai OJK serta aturan yang berorientasi eksternal yang mengatur eksositem lembaga perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan.
Kedua, aparatur yang berintegritas. Munculnya aparatur yang berintegritas tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan aturan main di internal yang meliputi aspek hukum sekaligus aspek etik. Di poin ini memiliki relevansi dan signifikansi yang kuat, menyusul penetapan tersangka salah satu pejabat dengan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus Jiwasraya.
Ketiga, jika dua hal sebelumnya berjalan dengan baik, maka akan melahirkan budaya hukum dan etik yang baik yang melembaga baik di internal lembaga maupun di lingkungan ekosistem perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan. Ketiga hal tersebut merupakan mekanisme perbaikan OJK yang rendah risiko daripada pilihan yang tersedia seperti mengembalikan kewenangan OJK ke BI melalui mekanisme penerbitan Perppu oleh Presiden atau perubahan UU oleh DPR dan Presiden.
Kontraksi dan turbulensi tidak menutup kemungkinan akan muncul atas perubahan politik hukum di sektor pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non perbankan ini. Terlebih di situasi saat ini, di tengah pandemi Covid-19 yang secara konkret telah memberi dampak serius terhadap perekonomian di Indonesia.
Sewindu kiprah OJK dalam pengawasan terhadap lembaga perbankan dan lembaga keuangan non perbankan, secara faktual telah membentuk sistem pengawasan yang relatif tercapai. Meski, secara faktual masih ada masalah di sejumlah hal, sebagaimana yang muncul belakangan ini, namun bukan berarti untuk mengatasi masalah tersebut menempuh jalan pintas dengan membubarkan atau memereteli kewenangannya. Seperti adagium klasik, “tangkap tikusnya jangan bakar gudangnya”.
Lihat Juga: 6 Menteri Perdagangan Sedekade Terakhir, Nomor 2 Jadi Tersangka Dugaan Korupsi Importasi Gula
(ras)
tulis komentar anda