Menyelamatkan Lembaga Negara OJK
Rabu, 02 September 2020 - 07:02 WIB
Sejak kasus Jiwasraya mencuat ke publik, gagasan untuk membubarkan OJK mencuat. Ide tersebut merupakan reaksi atas persoalan yang menimpa sektor jasa keuangan di Indonesia. Kondisinya semakin komplit saat mengaitkan pernyataan Presiden Jokowi yang bakal membubarkan lembaga (lembaga non struktural) dalam bentuk mengembalikan kewenangan OJK ke Bank Indonesia (BI).
Mekanisme pembubaran lembaga non struktural (LNS) secara praksis-prosedural terdapat tiga klaster model pendirian sekaligus pembubarannya. Pertama, lembaga non struktural pendiriannya melalui payung Peraturan Presiden (Perpres). Klaster ini dari sisi pendirian dan pembubarannya hanya melalui satu pintu yakni melalui Presiden. Karena proses pendiriannya melalui jenis peraturan perundang-undangan yang pembentukannya sepenuhnya melekat pada Presiden (presidential policy) (Jimly Ashiddiqie, 2006).
Mekanisme pembubaran lembaga non struktural yang pendiriannya melalui model instrumen hukum ini relatif mudah. Presiden cukup membubarkan lembaga yang hendak dibubarkan. Hal itu pula yang dilakukan Presiden Jokowi di periode pertama yang telah membubarkan sebanyak 23 Lembaga Non Struktural (LNS) dan di periode kedua Presiden Jokowi ini belum lama ini juga telah membubarkan 18 Lembaga Non Struktural (LNS).
Kedua, lembaga non struktural yang pendiriannya berbasis undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang mendapatkan pendelegasian dari UU. Sebagaimana mekanisme penyusunan undang-undang, keberadaan lembaga ini harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Prosedur yang sama juga berlaku saat hendak membubarkan lembaga yang payung hukumnya berupa UU atau PP sebagai aturan turunan dari UU.
Ketiga, lembaga negara yang disebut dalam Undang-Undang Dasar (UUD) dengan klasifikasi sebagai berikut; eksplisit organnya disebut dalam UUD, fungsinya disebut eksplisit, serta nama dan fungsinya disebut eksplisit namun pengaturannya lebih lanjut melalui UU. Mekanisme pembubaran lembaga negara yang mekanisme pendirinnya seperti tersebut lebih rumit dibanding dua klaster sebelumnya.
Opsi yang dapat dilakukan untuk pembubaran lembaga negara yang keberadaannya (baik organ dan fungsi) melalui UUD tak lain melalui amandemen konstitusi. Dalam konteks konstitusi di Indonesia yang karakteristik perubahannya bercirikan rigid, tidak mudah untuk membubarkan lembaga negara yang masuk klaster ini.
Dalam konteks ini, keberadaan OJK masuk klaster kedua yang pendiriannya melalui payung hukum berupa UU yang jika dirunut merupakan hasil pendelegasian dari Pasal 34 Ayat (1) UU Nomor 3/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI). Terkait mekanisme pembubaran lembaga OJK, prosedurnya tidak berbeda saat mendirikannya yakni melalui prosedur perubahan UU. Dalam hal ini, harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
Namun demikian, ada satu mekanisme yang dapat ditempuh tanpa melalui prosedur normal seperti dalam pembentukan UU yakni melalui mekanisme penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden. Dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan Presiden berhak menetapkan Perppu jika terdapat keadaan genting dan memaksa.
Dalam konteks tersebut, putusan MK Nomor 138/2009 telah memberi panduan mengenai batasan “kegentingan yang memaksa” sebagai dasar dalam penerbitan Perppu oleh Presiden. Terdapat tiga kondisi yang menjadi kriteria keadaan genting dan memaksa yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah melalui keberadaan UU, terdapat UU namun belum memadai, serta terjadinya kekosongan hukum (tidak adanya UU). Paramater ini menjadi guidance bagi Presiden dalam menerbitkan sebuah Perppu.
Pertanyaannya, apakah situasi saat ini khususnya yang terjadi di OJK cukup menjadi alasan bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu? Apakah persoalan yang muncul di sektor jasa keuangan Indonesia menjadikan alasan yang kuat bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu dengan mengembalikan fungsi yang dimiliki OJK saat ini ke BI?
Mekanisme pembubaran lembaga non struktural (LNS) secara praksis-prosedural terdapat tiga klaster model pendirian sekaligus pembubarannya. Pertama, lembaga non struktural pendiriannya melalui payung Peraturan Presiden (Perpres). Klaster ini dari sisi pendirian dan pembubarannya hanya melalui satu pintu yakni melalui Presiden. Karena proses pendiriannya melalui jenis peraturan perundang-undangan yang pembentukannya sepenuhnya melekat pada Presiden (presidential policy) (Jimly Ashiddiqie, 2006).
Mekanisme pembubaran lembaga non struktural yang pendiriannya melalui model instrumen hukum ini relatif mudah. Presiden cukup membubarkan lembaga yang hendak dibubarkan. Hal itu pula yang dilakukan Presiden Jokowi di periode pertama yang telah membubarkan sebanyak 23 Lembaga Non Struktural (LNS) dan di periode kedua Presiden Jokowi ini belum lama ini juga telah membubarkan 18 Lembaga Non Struktural (LNS).
Kedua, lembaga non struktural yang pendiriannya berbasis undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang mendapatkan pendelegasian dari UU. Sebagaimana mekanisme penyusunan undang-undang, keberadaan lembaga ini harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Prosedur yang sama juga berlaku saat hendak membubarkan lembaga yang payung hukumnya berupa UU atau PP sebagai aturan turunan dari UU.
Ketiga, lembaga negara yang disebut dalam Undang-Undang Dasar (UUD) dengan klasifikasi sebagai berikut; eksplisit organnya disebut dalam UUD, fungsinya disebut eksplisit, serta nama dan fungsinya disebut eksplisit namun pengaturannya lebih lanjut melalui UU. Mekanisme pembubaran lembaga negara yang mekanisme pendirinnya seperti tersebut lebih rumit dibanding dua klaster sebelumnya.
Opsi yang dapat dilakukan untuk pembubaran lembaga negara yang keberadaannya (baik organ dan fungsi) melalui UUD tak lain melalui amandemen konstitusi. Dalam konteks konstitusi di Indonesia yang karakteristik perubahannya bercirikan rigid, tidak mudah untuk membubarkan lembaga negara yang masuk klaster ini.
Dalam konteks ini, keberadaan OJK masuk klaster kedua yang pendiriannya melalui payung hukum berupa UU yang jika dirunut merupakan hasil pendelegasian dari Pasal 34 Ayat (1) UU Nomor 3/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI). Terkait mekanisme pembubaran lembaga OJK, prosedurnya tidak berbeda saat mendirikannya yakni melalui prosedur perubahan UU. Dalam hal ini, harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
Namun demikian, ada satu mekanisme yang dapat ditempuh tanpa melalui prosedur normal seperti dalam pembentukan UU yakni melalui mekanisme penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden. Dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan Presiden berhak menetapkan Perppu jika terdapat keadaan genting dan memaksa.
Dalam konteks tersebut, putusan MK Nomor 138/2009 telah memberi panduan mengenai batasan “kegentingan yang memaksa” sebagai dasar dalam penerbitan Perppu oleh Presiden. Terdapat tiga kondisi yang menjadi kriteria keadaan genting dan memaksa yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah melalui keberadaan UU, terdapat UU namun belum memadai, serta terjadinya kekosongan hukum (tidak adanya UU). Paramater ini menjadi guidance bagi Presiden dalam menerbitkan sebuah Perppu.
Pertanyaannya, apakah situasi saat ini khususnya yang terjadi di OJK cukup menjadi alasan bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu? Apakah persoalan yang muncul di sektor jasa keuangan Indonesia menjadikan alasan yang kuat bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu dengan mengembalikan fungsi yang dimiliki OJK saat ini ke BI?
tulis komentar anda