Menyelamatkan Lembaga Negara OJK

Rabu, 02 September 2020 - 07:02 WIB
loading...
Menyelamatkan Lembaga Negara OJK
Ferdian Andi
A A A
Ferdian Andi
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum),
Pengajar HTN FH Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

PENETAPAN tersangka salah satu pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) oleh Kejaksaan Agung atas kasus Jiwasraya beberapa waktu memasuki babak baru bagi OJK. Penetapan tersangka ini, suka tidak suka akan memberi dampak baik langsung atau tidak langsung terhadap kelembagaan OJK.

Langkah-langkah proaktif OJK dalam rangka merespons penegakan hukum dalam kasus Jiwasraya ini dibutuhkan secara konkret. Tidak hanya menyerahkan masalah tersebut melalui mekanisme hukum (pro justitia) semata, dalam tarikan nafas yang sama, langkah-langkah etik di internal kelembagaan sepatutnya juga harus dilakukan.

Upaya tersebut penting dilakukan sebagai bentuk penyelamatan lembaga yang secara konstitusional telah diatur melalui UU Nomor 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini setidaknya untuk memastikan kewenangan yang melekat di OJK yakni mengenai pengaturan dan pengawasan terhadap jasa keuangan tetap berjalan sesuai amanat undang-undang. Utama dari itu, kepercayaan publik terhadap lembaga ini tidak pupus.

Penyelamatan terhadap OJK saat ini semestinya menjadi prioritas utama oleh Dewan Komisioner OJK dan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) untuk memastikan keberadaan OJK tetap dalam jalur yang benar sebagaimana perintah konstitusi dan peraturan perundang-undangan.

Perbaikan sistem kerja di internal OJK merupakan agenda mendesak yang harus segera dilakukan oleh lembaga ini. Persoalan yang terjadi di Jiwasraya yang belakangan menyeret petinggi OJK sebagai tersangka dalam kasus tersebut harus menjadi bahan refleksi bagi OJK untuk perbaikan internal ke depan.

Pembubaran Lembaga
Sejak kasus Jiwasraya mencuat ke publik, gagasan untuk membubarkan OJK mencuat. Ide tersebut merupakan reaksi atas persoalan yang menimpa sektor jasa keuangan di Indonesia. Kondisinya semakin komplit saat mengaitkan pernyataan Presiden Jokowi yang bakal membubarkan lembaga (lembaga non struktural) dalam bentuk mengembalikan kewenangan OJK ke Bank Indonesia (BI).

Mekanisme pembubaran lembaga non struktural (LNS) secara praksis-prosedural terdapat tiga klaster model pendirian sekaligus pembubarannya. Pertama, lembaga non struktural pendiriannya melalui payung Peraturan Presiden (Perpres). Klaster ini dari sisi pendirian dan pembubarannya hanya melalui satu pintu yakni melalui Presiden. Karena proses pendiriannya melalui jenis peraturan perundang-undangan yang pembentukannya sepenuhnya melekat pada Presiden (presidential policy) (Jimly Ashiddiqie, 2006).

Mekanisme pembubaran lembaga non struktural yang pendiriannya melalui model instrumen hukum ini relatif mudah. Presiden cukup membubarkan lembaga yang hendak dibubarkan. Hal itu pula yang dilakukan Presiden Jokowi di periode pertama yang telah membubarkan sebanyak 23 Lembaga Non Struktural (LNS) dan di periode kedua Presiden Jokowi ini belum lama ini juga telah membubarkan 18 Lembaga Non Struktural (LNS).

Kedua, lembaga non struktural yang pendiriannya berbasis undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang mendapatkan pendelegasian dari UU. Sebagaimana mekanisme penyusunan undang-undang, keberadaan lembaga ini harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Prosedur yang sama juga berlaku saat hendak membubarkan lembaga yang payung hukumnya berupa UU atau PP sebagai aturan turunan dari UU.

Ketiga, lembaga negara yang disebut dalam Undang-Undang Dasar (UUD) dengan klasifikasi sebagai berikut; eksplisit organnya disebut dalam UUD, fungsinya disebut eksplisit, serta nama dan fungsinya disebut eksplisit namun pengaturannya lebih lanjut melalui UU. Mekanisme pembubaran lembaga negara yang mekanisme pendirinnya seperti tersebut lebih rumit dibanding dua klaster sebelumnya.

Opsi yang dapat dilakukan untuk pembubaran lembaga negara yang keberadaannya (baik organ dan fungsi) melalui UUD tak lain melalui amandemen konstitusi. Dalam konteks konstitusi di Indonesia yang karakteristik perubahannya bercirikan rigid, tidak mudah untuk membubarkan lembaga negara yang masuk klaster ini.

Dalam konteks ini, keberadaan OJK masuk klaster kedua yang pendiriannya melalui payung hukum berupa UU yang jika dirunut merupakan hasil pendelegasian dari Pasal 34 Ayat (1) UU Nomor 3/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 23/1999 tentang Bank Indonesia (BI). Terkait mekanisme pembubaran lembaga OJK, prosedurnya tidak berbeda saat mendirikannya yakni melalui prosedur perubahan UU. Dalam hal ini, harus mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.

Namun demikian, ada satu mekanisme yang dapat ditempuh tanpa melalui prosedur normal seperti dalam pembentukan UU yakni melalui mekanisme penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden. Dalam Pasal 22 Ayat (1) UUD 1945 disebutkan Presiden berhak menetapkan Perppu jika terdapat keadaan genting dan memaksa.

Dalam konteks tersebut, putusan MK Nomor 138/2009 telah memberi panduan mengenai batasan “kegentingan yang memaksa” sebagai dasar dalam penerbitan Perppu oleh Presiden. Terdapat tiga kondisi yang menjadi kriteria keadaan genting dan memaksa yakni adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah melalui keberadaan UU, terdapat UU namun belum memadai, serta terjadinya kekosongan hukum (tidak adanya UU). Paramater ini menjadi guidance bagi Presiden dalam menerbitkan sebuah Perppu.

Pertanyaannya, apakah situasi saat ini khususnya yang terjadi di OJK cukup menjadi alasan bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu? Apakah persoalan yang muncul di sektor jasa keuangan Indonesia menjadikan alasan yang kuat bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu dengan mengembalikan fungsi yang dimiliki OJK saat ini ke BI?

Kebijakan Rendah Risiko
Merespons persoalan yang saat ini terjadi di sektor jasa keuangan, telunjuk publik langsung mengarah pada OJK sebagai lembaga yang memiliki otoritas sebagai pengawas terhadap lembaga perbankan dan lembaga keungan non perbankan. Kritik tersebut harus ditempatkan sebagai bagian dari upaya kontrol publik terhadap OJK. Sebagai lembaga negara, menjadi keharusan bagi OJK untuk senantiasa mendapat kontrol baik secara formal melalui lembaga parlemen maupun oleh masyarakat sipil lainnya. Kritik dan masukan dari publik tersebut semestinya menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya OJK untuk melakukan perbaikan kinerja.

Perbaikan kinerja OJK yang diwujudkan pembentukan sistem yang ajeg di internal lembaga mutlak dilakukan dengan secara simultan membarengi dengan perbaikan berupa: pertama, pembuatan aturan yang berorientasi di internal lembaga yang sifatnya penguatan code of conduct (pedoman perilaku) dalam tata kerja di internal yang berlaku bagi seluruh pegawai OJK serta aturan yang berorientasi eksternal yang mengatur eksositem lembaga perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan.

Kedua, aparatur yang berintegritas. Munculnya aparatur yang berintegritas tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan aturan main di internal yang meliputi aspek hukum sekaligus aspek etik. Di poin ini memiliki relevansi dan signifikansi yang kuat, menyusul penetapan tersangka salah satu pejabat dengan oleh Kejaksaan Agung dalam kasus Jiwasraya.

Ketiga, jika dua hal sebelumnya berjalan dengan baik, maka akan melahirkan budaya hukum dan etik yang baik yang melembaga baik di internal lembaga maupun di lingkungan ekosistem perbankan maupun lembaga keuangan non perbankan. Ketiga hal tersebut merupakan mekanisme perbaikan OJK yang rendah risiko daripada pilihan yang tersedia seperti mengembalikan kewenangan OJK ke BI melalui mekanisme penerbitan Perppu oleh Presiden atau perubahan UU oleh DPR dan Presiden.

Kontraksi dan turbulensi tidak menutup kemungkinan akan muncul atas perubahan politik hukum di sektor pengawasan perbankan dan lembaga keuangan non perbankan ini. Terlebih di situasi saat ini, di tengah pandemi Covid-19 yang secara konkret telah memberi dampak serius terhadap perekonomian di Indonesia.

Sewindu kiprah OJK dalam pengawasan terhadap lembaga perbankan dan lembaga keuangan non perbankan, secara faktual telah membentuk sistem pengawasan yang relatif tercapai. Meski, secara faktual masih ada masalah di sejumlah hal, sebagaimana yang muncul belakangan ini, namun bukan berarti untuk mengatasi masalah tersebut menempuh jalan pintas dengan membubarkan atau memereteli kewenangannya. Seperti adagium klasik, “tangkap tikusnya jangan bakar gudangnya”.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1238 seconds (0.1#10.140)