Kemendagri Kaji Revisi UU Pemerintah Daerah untuk Sinkronisasi UU
Sabtu, 26 Oktober 2024 - 16:51 WIB
Halilul mengatakan, hal yang belum maksimal adalah pelayanan jasa, jalan masih banyak yang rusak, SD-SMP-SMA angka partisipasi murninya belum memadai. Misal SMA angka partisipasi murninya baru 62%. Lalu pelayanan air bersih/minum baru 76%-79%.
Sebagian besar daerah juga masih bermasalah dalam kebijakan fiskalnya. Jangan jangan kebijakan nasional kepada daerah yang bagus juga perlu ditinjau ulang. UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda perlu direvisi karena bergesekan dengan UU No 3 Tahun 2020, UU No 6 Tahun 2023 dan UU No 1 Tahun 2022.
Terkait 3 UU itu utamanya terkait pembagian urusan kewenangan. Jadi 3 UU itu mengandung norma substansi mereduksi UU kewenangan daerah. Sehingga kewenangan daerah yang ada di UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda sudah tidak selaras lagi dengan tiga UU terbaru tadi. Oleh sebab itu perlu menyesuaikan.
Meski di luar 3 undang-undang itu banyak faktor lain yang juga harus disesuaikan berdasarkan hasil evaluasi. Misalnya soal kinerja pembangunan daerah yang kurang maksimal itu, harus juga mereview soal pengawasannya, bagaimana pembinaannya, lalu bagaimana soal diskresi kepala daerah soal aspe finansial daerahnya, bisa saja diberikan kelonggaran.
“Kalimat yang tepat adalah tidak sejalannya antara UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda dengan 3 UU tadi. Tidak sejalan karena dalam UU Pemda disebut urusan itu diserahkan ke provinsi tapi di UU No 3 soal Minerba disebut kewenangannya ditarik ke pemerintah pusat. Begitu juga dengan Undang-undang Cipta Kerja disebutkan ada 13 perizinan yang dalam UU Pemda diletakkan kewenangannya ke daerah tapi di UU Cipta Kerja itu dijadikan kewenangan pemerintah pusat,” kata Halilul.
Halilul mengatakan, karena norma di undang-undang Pemda tidak selaras lagi dengan undang-undang lainnya maka kemungkinan nanti terjadi konflik kepentingan dalam memahami kewenangan itu.
“Kalau tidak direvisi maka akan terjadi ketidaksinkronan. Nanti dalam persepsi di kementerian Minerba sudah paham bahwa itu adalah kewenangannya pusat. Lalu dalam pelaksanaannya itu tidak bisa pusat langsung menjalankannya ke daerah. Pusat akan minta lagi ke daerah untuk menjalankannya,” katanya.
“Tapi nanti daerah akan mengatakan ini bukan kewenangan kami lagi. Lalu pusat akan bilang lagi, ya tolong dong kami tidak punya lembaga lagi di daerah untuk menjalankannya. Akhirnya keluarlah Perpres untuk menjembatani itu. Tetapi itu kurang begitu sinkron karena kewenangan ditarik dengan undang-undang maka kewenangan ditarik lagi denga undang-undang. Karena Perpres itu tidak bisa mencabut undang-undang,” sambungnya.
Halilul mengatakan, dalam pelaksanaannya tidak sinkron juga antara yang ada di UU Minerba dengan pelaksanaannya di lapangan. Dalam implementasi ini tidak selaras betul antara norma di undang-undang dengan pelaksanaan di lapangan.
Sebagian besar daerah juga masih bermasalah dalam kebijakan fiskalnya. Jangan jangan kebijakan nasional kepada daerah yang bagus juga perlu ditinjau ulang. UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda perlu direvisi karena bergesekan dengan UU No 3 Tahun 2020, UU No 6 Tahun 2023 dan UU No 1 Tahun 2022.
Terkait 3 UU itu utamanya terkait pembagian urusan kewenangan. Jadi 3 UU itu mengandung norma substansi mereduksi UU kewenangan daerah. Sehingga kewenangan daerah yang ada di UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda sudah tidak selaras lagi dengan tiga UU terbaru tadi. Oleh sebab itu perlu menyesuaikan.
Meski di luar 3 undang-undang itu banyak faktor lain yang juga harus disesuaikan berdasarkan hasil evaluasi. Misalnya soal kinerja pembangunan daerah yang kurang maksimal itu, harus juga mereview soal pengawasannya, bagaimana pembinaannya, lalu bagaimana soal diskresi kepala daerah soal aspe finansial daerahnya, bisa saja diberikan kelonggaran.
“Kalimat yang tepat adalah tidak sejalannya antara UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemda dengan 3 UU tadi. Tidak sejalan karena dalam UU Pemda disebut urusan itu diserahkan ke provinsi tapi di UU No 3 soal Minerba disebut kewenangannya ditarik ke pemerintah pusat. Begitu juga dengan Undang-undang Cipta Kerja disebutkan ada 13 perizinan yang dalam UU Pemda diletakkan kewenangannya ke daerah tapi di UU Cipta Kerja itu dijadikan kewenangan pemerintah pusat,” kata Halilul.
Halilul mengatakan, karena norma di undang-undang Pemda tidak selaras lagi dengan undang-undang lainnya maka kemungkinan nanti terjadi konflik kepentingan dalam memahami kewenangan itu.
“Kalau tidak direvisi maka akan terjadi ketidaksinkronan. Nanti dalam persepsi di kementerian Minerba sudah paham bahwa itu adalah kewenangannya pusat. Lalu dalam pelaksanaannya itu tidak bisa pusat langsung menjalankannya ke daerah. Pusat akan minta lagi ke daerah untuk menjalankannya,” katanya.
“Tapi nanti daerah akan mengatakan ini bukan kewenangan kami lagi. Lalu pusat akan bilang lagi, ya tolong dong kami tidak punya lembaga lagi di daerah untuk menjalankannya. Akhirnya keluarlah Perpres untuk menjembatani itu. Tetapi itu kurang begitu sinkron karena kewenangan ditarik dengan undang-undang maka kewenangan ditarik lagi denga undang-undang. Karena Perpres itu tidak bisa mencabut undang-undang,” sambungnya.
Halilul mengatakan, dalam pelaksanaannya tidak sinkron juga antara yang ada di UU Minerba dengan pelaksanaannya di lapangan. Dalam implementasi ini tidak selaras betul antara norma di undang-undang dengan pelaksanaan di lapangan.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda