Deflasi: Kebijakan Harus Bagaimana?

Senin, 07 Oktober 2024 - 06:09 WIB
Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/SINDOnews
Candra Fajri Ananda

Staf Khusus Menteri Keuangan RI

INDONESIA saat ini tengah menghadapi tren deflasi selama lima bulan terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12% pada September 2024. Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024 dan menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir.



Sebagai catatan, terakhir kali Indonesia mengalami deflasi (mtm) selama beberapa bulan adalah di 1999. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatat deflasi dalam delapan bulan beruntun dari Maret hingga Oktober.

Kondisi deflasi ditandai dengan penurunan harga-harga secara umum yang berlangsung secara terus-menerus dan dapat berdampak buruk pada aktivitas ekonomi jika tidak ditangani dengan tepat. Harga pangan yang cenderung menurun memang menjadi pendorong terjadinya deflasi secara bulanan dan pelandaian angka inflasi secara tahunan.

Akan tetapi, adanya potensi pelemahan daya beli masyarakat pun layak menjadi alasan terjadinya deflasi lima bulan beruntun. Artinya, tak sedikit yang menilai deflasi lima bulan beruntun ini juga dipicu oleh melemahnya daya beli. Terlebih, secara historis, Indonesia lebih sering mencatat inflasi dibandingkan deflasi.

Deflasi – sekilas meski tampak menguntungkan bagi konsumen dalam jangka pendek – jika berkepanjangan dapat memberikan dampak negatif terhadap perekonomian secara keseluruhan. Produsen dan pelaku usaha dapat mengalami kerugian karena pendapatan yang menurun akibat harga jual yang lebih rendah.

Hal ini juga bisa memicu pengurangan produksi dan PHK karyawan, yang pada akhirnya akan mengurangi pendapatan rumah tangga dan memperburuk daya beli masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, siklus deflasi dapat terus berlanjut dan semakin sulit dihentikan. Di samping itu, dampak negatif lain dari deflasi berkepanjangan adalah meningkatnya beban utang.

Tatkala harga-harga menurun, nilai riil utang menjadi lebih besar karena pendapatan masyarakat dan perusahaan menurun. Ini dapat menyebabkan meningkatnya kasus gagal bayar, baik di sektor rumah tangga maupun korporasi. Selain itu, bank dan lembaga keuangan juga akan berhati-hati dalam memberikan pinjaman baru, karena risiko gagal bayar yang lebih tinggi.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More