Deflasi: Kebijakan Harus Bagaimana?
loading...
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
INDONESIA saat ini tengah menghadapi tren deflasi selama lima bulan terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12% pada September 2024. Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024 dan menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir.
Sebagai catatan, terakhir kali Indonesia mengalami deflasi (mtm) selama beberapa bulan adalah di 1999. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatat deflasi dalam delapan bulan beruntun dari Maret hingga Oktober.
Kondisi deflasi ditandai dengan penurunan harga-harga secara umum yang berlangsung secara terus-menerus dan dapat berdampak buruk pada aktivitas ekonomi jika tidak ditangani dengan tepat. Harga pangan yang cenderung menurun memang menjadi pendorong terjadinya deflasi secara bulanan dan pelandaian angka inflasi secara tahunan.
Akan tetapi, adanya potensi pelemahan daya beli masyarakat pun layak menjadi alasan terjadinya deflasi lima bulan beruntun. Artinya, tak sedikit yang menilai deflasi lima bulan beruntun ini juga dipicu oleh melemahnya daya beli. Terlebih, secara historis, Indonesia lebih sering mencatat inflasi dibandingkan deflasi.
Deflasi – sekilas meski tampak menguntungkan bagi konsumen dalam jangka pendek – jika berkepanjangan dapat memberikan dampak negatif terhadap perekonomian secara keseluruhan. Produsen dan pelaku usaha dapat mengalami kerugian karena pendapatan yang menurun akibat harga jual yang lebih rendah.
Hal ini juga bisa memicu pengurangan produksi dan PHK karyawan, yang pada akhirnya akan mengurangi pendapatan rumah tangga dan memperburuk daya beli masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, siklus deflasi dapat terus berlanjut dan semakin sulit dihentikan. Di samping itu, dampak negatif lain dari deflasi berkepanjangan adalah meningkatnya beban utang.
Tatkala harga-harga menurun, nilai riil utang menjadi lebih besar karena pendapatan masyarakat dan perusahaan menurun. Ini dapat menyebabkan meningkatnya kasus gagal bayar, baik di sektor rumah tangga maupun korporasi. Selain itu, bank dan lembaga keuangan juga akan berhati-hati dalam memberikan pinjaman baru, karena risiko gagal bayar yang lebih tinggi.
Hal ini bisa mengakibatkan stagnasi ekonomi yang semakin parah. Fenomena ini pun menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan pelaku ekonomi, mengingat deflasi berkepanjangan dapat menandakan adanya masalah fundamental dalam perekonomian suatu negara.
Deflasi yang terjadi di Indonesia selama beberapa bulan terakhir telah menjadi perhatian utama pemerintah dan ekonom. Dalam situasi seperti ini, negara perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah dampak buruk yang dapat terjadi pada perekonomian. Salah satu tokoh ekonomi yang relevan dalam menangani situasi yang lebih parah, depresi berat (great depression di tahun 30’an) adalah John Maynard Keynes.
Menurut Keynes, pada saat terjadinya deflasi, pemerintah perlu mengambil langkah proaktif untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong konsumsi. Salah satu cara efektif yang bisa dilakukan adalah melalui pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah yang paling rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi.
Selain itu, subsidi untuk kebutuhan pokok seperti bahan bakar, pangan, dan energi juga menjadi instrumen penting untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong konsumsi. Dengan meningkatnya konsumsi, permintaan terhadap barang dan jasa di pasar akan pulih, yang pada gilirannya dapat mengurangi tekanan deflasi.
Selain fokus pada permintaan agregat, pemerintah juga perlu memperhatikan sisi penawaran (supply side) sebagai upaya menghadapi tantangan deflasi. Pemikiran Joseph Schumpeter menjadi sangat relevan dalam konteks ini, yang menekankan pentingnya inovasi, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dan lingkungan usaha yang kondusif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan Schumpeterian menyarankan bahwa untuk membangkitkan perekonomian, pemerintah perlu memberikan insentif fiskal kepada sektor-sektor strategis, memperkuat kualitas tenaga kerja, serta menciptakan iklim bisnis yang memungkinkan inovasi dan produktivitas.
Pada praktiknya, pemerintah dapat memberikan insentif fiskal berupa pemotongan pajak atau subsidi bagi sektor-sektor tertentu, seperti industri manufaktur, teknologi, dan pertanian, yang memiliki potensi untuk tumbuh dan memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian. Insentif ini akan mendorong para pelaku usaha untuk meningkatkan produksi, mengadopsi teknologi baru, dan melakukan ekspansi bisnis.
Dengan demikian, kapasitas produksi nasional dapat meningkat, sehingga sisi penawaran agregat menjadi lebih kuat dan mampu memenuhi permintaan pasar. Pada saat penawaran meningkat, risiko kenaikan harga akibat peningkatan permintaan dapat diminimalisir, menjaga stabilitas ekonomi.
Selain memberikan insentif fiskal, peningkatan kualitas sumber daya manusia juga menjadi kunci dalam mendorong penawaran agregat. Pemerintah dapat berinvestasi dalam pendidikan, pelatihan vokasional, dan pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Dengan memiliki tenaga kerja yang terampil dan berkualitas, produktivitas di berbagai sektor akan meningkat. Produktivitas yang tinggi akan memungkinkan perusahaan untuk memproduksi barang dan jasa dengan lebih efisien, meningkatkan daya saing, dan pada akhirnya, memperkuat sisi penawaran dalam perekonomian.
Intinya, dalam konteks deflasi di Indonesia saat ini, pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada kebijakan yang mendorong permintaan, tetapi juga memperkuat sisi penawaran. Pengeluaran pemerintah (government spending) dapat berdampak negatif pada perekonomian jika tidak diimbangi dengan peningkatan penawaran agregat (aggregate supply).
Tatkala pemerintah meningkatkan belanja – seperti melalui program bantuan sosial, subsidi, atau proyek infrastruktur – maka akan mendorong permintaan barang dan jasa di pasar. Pasalnya, jika kapasitas produksi dan distribusi barang tidak memadai, maka lonjakan permintaan akan sulit dipenuhi sehingga menyebabkan tekanan inflasi.
Oleh sebab itu, pengeluaran pemerintah harus disertai dengan kebijakan yang mendukung penawaran agregat, seperti investasi dalam peningkatan kapasitas produksi, insentif fiskal, dan pengembangan kualitas sumber daya manusia, agar dapat memberikan manfaat optimal bagi pertumbuhan ekonomi.
Pada saat menghadapi tantangan ekonomi – seperti deflasi atau perlambatan pertumbuhan – kebijakan untuk mendorong sisi permintaan (demand side) menjadi penting. Salah satu cara efektif untuk menggerakkan permintaan adalah melalui subsidi yang tepat sasaran. Meski demikian, efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada desain dan penyaluran subsidi tersebut agar tepat sasaran.
Subsidi yang tepat akan membantu meningkatkan daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah, dan mendorong konsumsi. Di sisi lain, subsidi yang tidak tepat sasaran dapat menciptakan distorsi pasar dan pemborosan anggaran. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan analisis yang cermat untuk memastikan bahwa subsidi benar-benar menyasar sektor atau kelompok masyarakat yang paling membutuhkan.
Pemerintah perlu mengarahkan kebijakan pada sektor-sektor yang memiliki potensi pertumbuhan besar, misalnya dengan memberikan subsidi pada sektor pertanian, energi, dan pangan yang dapat membantu menstabilkan harga kebutuhan pokok dan memastikan akses yang terjangkau bagi masyarakat. Kebijakan tersebut dapat menurunkan biaya produksi di sektor-sektor ini, harga barang akan lebih stabil, sehingga daya beli masyarakat pun dapat terjaga.
Selain itu, kebijakan subsidi untuk sektor UMKM juga dapat meningkatkan produktivitas dan konsumsi domestik, mengingat UMKM memiliki peran penting dalam menciptakan lapangan kerja dan merangsang pertumbuhan ekonomi lokal. Selain itu, melalui insentif fiskal – seperti pemotongan pajak atau subsidi untuk sektor manufaktur yang memiliki efek berganda (multiplier effect) besar terhadap sektor-sektor lain – juga dapat membantu meningkatkan produksi dan mengurangi biaya operasional, sehingga mampu memenuhi permintaan pasar dengan lebih baik.
Pada intinya, demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang seimbang, pemerintah perlu mengombinasikan kebijakan sisi permintaan yang efektif dengan penguatan sisi penawaran. Subsidi yang tepat sasaran akan meningkatkan daya beli dan mendorong konsumsi, sementara penentuan sektor prioritas untuk insentif fiskal akan memperkuat kapasitas produksi nasional.
Kombinasi kebijakan ini akan membantu menciptakan ekonomi yang lebih stabil dan tangguh, di mana peningkatan permintaan diikuti oleh kapasitas penawaran yang memadai, sehingga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan pun dapat tercapai. Semoga.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
INDONESIA saat ini tengah menghadapi tren deflasi selama lima bulan terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi 0,12% pada September 2024. Ini adalah deflasi kelima berturut-turut selama 2024 dan menjadi yang terendah dalam lima tahun terakhir.
Sebagai catatan, terakhir kali Indonesia mengalami deflasi (mtm) selama beberapa bulan adalah di 1999. Pada tahun tersebut, Indonesia mencatat deflasi dalam delapan bulan beruntun dari Maret hingga Oktober.
Kondisi deflasi ditandai dengan penurunan harga-harga secara umum yang berlangsung secara terus-menerus dan dapat berdampak buruk pada aktivitas ekonomi jika tidak ditangani dengan tepat. Harga pangan yang cenderung menurun memang menjadi pendorong terjadinya deflasi secara bulanan dan pelandaian angka inflasi secara tahunan.
Akan tetapi, adanya potensi pelemahan daya beli masyarakat pun layak menjadi alasan terjadinya deflasi lima bulan beruntun. Artinya, tak sedikit yang menilai deflasi lima bulan beruntun ini juga dipicu oleh melemahnya daya beli. Terlebih, secara historis, Indonesia lebih sering mencatat inflasi dibandingkan deflasi.
Deflasi – sekilas meski tampak menguntungkan bagi konsumen dalam jangka pendek – jika berkepanjangan dapat memberikan dampak negatif terhadap perekonomian secara keseluruhan. Produsen dan pelaku usaha dapat mengalami kerugian karena pendapatan yang menurun akibat harga jual yang lebih rendah.
Hal ini juga bisa memicu pengurangan produksi dan PHK karyawan, yang pada akhirnya akan mengurangi pendapatan rumah tangga dan memperburuk daya beli masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, siklus deflasi dapat terus berlanjut dan semakin sulit dihentikan. Di samping itu, dampak negatif lain dari deflasi berkepanjangan adalah meningkatnya beban utang.
Tatkala harga-harga menurun, nilai riil utang menjadi lebih besar karena pendapatan masyarakat dan perusahaan menurun. Ini dapat menyebabkan meningkatnya kasus gagal bayar, baik di sektor rumah tangga maupun korporasi. Selain itu, bank dan lembaga keuangan juga akan berhati-hati dalam memberikan pinjaman baru, karena risiko gagal bayar yang lebih tinggi.
Hal ini bisa mengakibatkan stagnasi ekonomi yang semakin parah. Fenomena ini pun menjadi perhatian serius bagi pemerintah dan pelaku ekonomi, mengingat deflasi berkepanjangan dapat menandakan adanya masalah fundamental dalam perekonomian suatu negara.
Peran Pemerintah dan Keseimbangan Ekonomi
Deflasi yang terjadi di Indonesia selama beberapa bulan terakhir telah menjadi perhatian utama pemerintah dan ekonom. Dalam situasi seperti ini, negara perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah dampak buruk yang dapat terjadi pada perekonomian. Salah satu tokoh ekonomi yang relevan dalam menangani situasi yang lebih parah, depresi berat (great depression di tahun 30’an) adalah John Maynard Keynes.
Menurut Keynes, pada saat terjadinya deflasi, pemerintah perlu mengambil langkah proaktif untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan mendorong konsumsi. Salah satu cara efektif yang bisa dilakukan adalah melalui pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah yang paling rentan terhadap perubahan kondisi ekonomi.
Selain itu, subsidi untuk kebutuhan pokok seperti bahan bakar, pangan, dan energi juga menjadi instrumen penting untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong konsumsi. Dengan meningkatnya konsumsi, permintaan terhadap barang dan jasa di pasar akan pulih, yang pada gilirannya dapat mengurangi tekanan deflasi.
Selain fokus pada permintaan agregat, pemerintah juga perlu memperhatikan sisi penawaran (supply side) sebagai upaya menghadapi tantangan deflasi. Pemikiran Joseph Schumpeter menjadi sangat relevan dalam konteks ini, yang menekankan pentingnya inovasi, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), dan lingkungan usaha yang kondusif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan Schumpeterian menyarankan bahwa untuk membangkitkan perekonomian, pemerintah perlu memberikan insentif fiskal kepada sektor-sektor strategis, memperkuat kualitas tenaga kerja, serta menciptakan iklim bisnis yang memungkinkan inovasi dan produktivitas.
Pada praktiknya, pemerintah dapat memberikan insentif fiskal berupa pemotongan pajak atau subsidi bagi sektor-sektor tertentu, seperti industri manufaktur, teknologi, dan pertanian, yang memiliki potensi untuk tumbuh dan memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian. Insentif ini akan mendorong para pelaku usaha untuk meningkatkan produksi, mengadopsi teknologi baru, dan melakukan ekspansi bisnis.
Dengan demikian, kapasitas produksi nasional dapat meningkat, sehingga sisi penawaran agregat menjadi lebih kuat dan mampu memenuhi permintaan pasar. Pada saat penawaran meningkat, risiko kenaikan harga akibat peningkatan permintaan dapat diminimalisir, menjaga stabilitas ekonomi.
Selain memberikan insentif fiskal, peningkatan kualitas sumber daya manusia juga menjadi kunci dalam mendorong penawaran agregat. Pemerintah dapat berinvestasi dalam pendidikan, pelatihan vokasional, dan pengembangan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Dengan memiliki tenaga kerja yang terampil dan berkualitas, produktivitas di berbagai sektor akan meningkat. Produktivitas yang tinggi akan memungkinkan perusahaan untuk memproduksi barang dan jasa dengan lebih efisien, meningkatkan daya saing, dan pada akhirnya, memperkuat sisi penawaran dalam perekonomian.
Intinya, dalam konteks deflasi di Indonesia saat ini, pemerintah seharusnya tidak hanya fokus pada kebijakan yang mendorong permintaan, tetapi juga memperkuat sisi penawaran. Pengeluaran pemerintah (government spending) dapat berdampak negatif pada perekonomian jika tidak diimbangi dengan peningkatan penawaran agregat (aggregate supply).
Tatkala pemerintah meningkatkan belanja – seperti melalui program bantuan sosial, subsidi, atau proyek infrastruktur – maka akan mendorong permintaan barang dan jasa di pasar. Pasalnya, jika kapasitas produksi dan distribusi barang tidak memadai, maka lonjakan permintaan akan sulit dipenuhi sehingga menyebabkan tekanan inflasi.
Oleh sebab itu, pengeluaran pemerintah harus disertai dengan kebijakan yang mendukung penawaran agregat, seperti investasi dalam peningkatan kapasitas produksi, insentif fiskal, dan pengembangan kualitas sumber daya manusia, agar dapat memberikan manfaat optimal bagi pertumbuhan ekonomi.
Urgensi Efektivitas Kebijakan Pemerintah
Pada saat menghadapi tantangan ekonomi – seperti deflasi atau perlambatan pertumbuhan – kebijakan untuk mendorong sisi permintaan (demand side) menjadi penting. Salah satu cara efektif untuk menggerakkan permintaan adalah melalui subsidi yang tepat sasaran. Meski demikian, efektivitas kebijakan ini sangat bergantung pada desain dan penyaluran subsidi tersebut agar tepat sasaran.
Subsidi yang tepat akan membantu meningkatkan daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah, dan mendorong konsumsi. Di sisi lain, subsidi yang tidak tepat sasaran dapat menciptakan distorsi pasar dan pemborosan anggaran. Oleh sebab itu, pemerintah perlu melakukan analisis yang cermat untuk memastikan bahwa subsidi benar-benar menyasar sektor atau kelompok masyarakat yang paling membutuhkan.
Pemerintah perlu mengarahkan kebijakan pada sektor-sektor yang memiliki potensi pertumbuhan besar, misalnya dengan memberikan subsidi pada sektor pertanian, energi, dan pangan yang dapat membantu menstabilkan harga kebutuhan pokok dan memastikan akses yang terjangkau bagi masyarakat. Kebijakan tersebut dapat menurunkan biaya produksi di sektor-sektor ini, harga barang akan lebih stabil, sehingga daya beli masyarakat pun dapat terjaga.
Selain itu, kebijakan subsidi untuk sektor UMKM juga dapat meningkatkan produktivitas dan konsumsi domestik, mengingat UMKM memiliki peran penting dalam menciptakan lapangan kerja dan merangsang pertumbuhan ekonomi lokal. Selain itu, melalui insentif fiskal – seperti pemotongan pajak atau subsidi untuk sektor manufaktur yang memiliki efek berganda (multiplier effect) besar terhadap sektor-sektor lain – juga dapat membantu meningkatkan produksi dan mengurangi biaya operasional, sehingga mampu memenuhi permintaan pasar dengan lebih baik.
Pada intinya, demi mencapai pertumbuhan ekonomi yang seimbang, pemerintah perlu mengombinasikan kebijakan sisi permintaan yang efektif dengan penguatan sisi penawaran. Subsidi yang tepat sasaran akan meningkatkan daya beli dan mendorong konsumsi, sementara penentuan sektor prioritas untuk insentif fiskal akan memperkuat kapasitas produksi nasional.
Kombinasi kebijakan ini akan membantu menciptakan ekonomi yang lebih stabil dan tangguh, di mana peningkatan permintaan diikuti oleh kapasitas penawaran yang memadai, sehingga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan pun dapat tercapai. Semoga.
(rca)