Saatnya Bekerja
loading...

Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/SINDOnews
A
A
A
Candra Fajri Ananda
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
PEREKONOMIAN Indonesia dilanda tekanan besar akibat berbagai indikator makroekonomi yang menunjukkan tren negatif secara bersamaan. Penurunan daya beli masyarakat, deflasi, pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), penurunan penerimaan pajak, dan melemahnya nilai tukar Rupiah menjadi tantangan serius bagi stabilitas ekonomi nasional.
Faktor-faktor ini saling berkaitan dan memperburuk kondisi ekonomi, yang berisiko menekan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah hingga panjang. Deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,48% secara bulanan dan 0,09% secara tahunan – pertama kalinya dalam 25 tahun terakhir – yang disebabkan oleh penurunan harga pangan dan transportasi.
Deflasi ini mengindikasikan penurunan daya beli masyarakat, yang diperkuat oleh penurunan penjualan sepeda motor dan mobil baru masing-masing sebesar 5,98% dan 11,3% pada Januari 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal tersebut menandakan rendahnya konsumsi domestik, yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, IHSG juga mengalami koreksi tajam, turun hingga 7% ke level 6.084 pada pertengahan Maret 2025, mencatat kejatuhan terdalam sejak pandemi pada 2020. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap kondisi ekonomi domestik, terutama terkait defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang melebar dan penurunan penerimaan pajak yang signifikan.
Penerimaan pajak mengalami penurunan signifikan akibat melemahnya aktivitas ekonomi. Kementerian Keuangan melaporkan bahwa penerimaan pajak hingga Februari 2025 turun 30% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kondisi ini semakin diperparah oleh pelemahan Rupiah yang mencapai Rp16.420 per dolar AS, yang meningkatkan biaya impor dan berpotensi memperlambat investasi. Melemahnya mata uang domestik juga memperbesar tekanan terhadap inflasi impor dan mengurangi daya beli masyarakat.
Ironisnya, kekhawatiran terhadap kondisi yang terjadi kini kian diperkuat dengan fakta yang menunjukkan bahwa seluruh indikator tersebut mengalami tekanan dalam periode yang hampir bersamaan, memberikan efek domino yang membuat perekonomian semakin rentan. Saat daya beli melemah, konsumsi rumah tangga menurun, yang kemudian berdampak pada penurunan produksi industri.
Hal ini berkontribusi terhadap penurunan penerimaan pajak, yang pada akhirnya mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk memberikan stimulus ekonomi. Di saat yang sama, pelemahan IHSG dan Rupiah mencerminkan menurunnya kepercayaan pasar terhadap ketahanan ekonomi nasional.
Tatkala menghadapi kondisi saat ini, pemerintah perlu segera mengambil langkah strategis untuk memitigasi dampak negatif yang lebih luas. Pasalnya, jika tidak ada langkah yang tepat dalam waktu dekat, Indonesia berisiko menghadapi perlambatan ekonomi yang lebih dalam, yang dapat berdampak pada meningkatnya pengangguran dan ketidakpastian di berbagai sektor ekonomi.
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
PEREKONOMIAN Indonesia dilanda tekanan besar akibat berbagai indikator makroekonomi yang menunjukkan tren negatif secara bersamaan. Penurunan daya beli masyarakat, deflasi, pelemahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), penurunan penerimaan pajak, dan melemahnya nilai tukar Rupiah menjadi tantangan serius bagi stabilitas ekonomi nasional.
Faktor-faktor ini saling berkaitan dan memperburuk kondisi ekonomi, yang berisiko menekan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah hingga panjang. Deflasi yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,48% secara bulanan dan 0,09% secara tahunan – pertama kalinya dalam 25 tahun terakhir – yang disebabkan oleh penurunan harga pangan dan transportasi.
Deflasi ini mengindikasikan penurunan daya beli masyarakat, yang diperkuat oleh penurunan penjualan sepeda motor dan mobil baru masing-masing sebesar 5,98% dan 11,3% pada Januari 2025 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Hal tersebut menandakan rendahnya konsumsi domestik, yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu, IHSG juga mengalami koreksi tajam, turun hingga 7% ke level 6.084 pada pertengahan Maret 2025, mencatat kejatuhan terdalam sejak pandemi pada 2020. Penurunan ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap kondisi ekonomi domestik, terutama terkait defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang melebar dan penurunan penerimaan pajak yang signifikan.
Penerimaan pajak mengalami penurunan signifikan akibat melemahnya aktivitas ekonomi. Kementerian Keuangan melaporkan bahwa penerimaan pajak hingga Februari 2025 turun 30% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Kondisi ini semakin diperparah oleh pelemahan Rupiah yang mencapai Rp16.420 per dolar AS, yang meningkatkan biaya impor dan berpotensi memperlambat investasi. Melemahnya mata uang domestik juga memperbesar tekanan terhadap inflasi impor dan mengurangi daya beli masyarakat.
Ironisnya, kekhawatiran terhadap kondisi yang terjadi kini kian diperkuat dengan fakta yang menunjukkan bahwa seluruh indikator tersebut mengalami tekanan dalam periode yang hampir bersamaan, memberikan efek domino yang membuat perekonomian semakin rentan. Saat daya beli melemah, konsumsi rumah tangga menurun, yang kemudian berdampak pada penurunan produksi industri.
Hal ini berkontribusi terhadap penurunan penerimaan pajak, yang pada akhirnya mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk memberikan stimulus ekonomi. Di saat yang sama, pelemahan IHSG dan Rupiah mencerminkan menurunnya kepercayaan pasar terhadap ketahanan ekonomi nasional.
Tatkala menghadapi kondisi saat ini, pemerintah perlu segera mengambil langkah strategis untuk memitigasi dampak negatif yang lebih luas. Pasalnya, jika tidak ada langkah yang tepat dalam waktu dekat, Indonesia berisiko menghadapi perlambatan ekonomi yang lebih dalam, yang dapat berdampak pada meningkatnya pengangguran dan ketidakpastian di berbagai sektor ekonomi.
Tantangan dalam Optimisme Pemerintah
Di tengah berbagai tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini, Dewan Ekonomi Nasional (DEN) memiliki optimisme terhadap prospek ekonomi nasional melalui program-program strategis pemerintah. Salah satu program yang mendapat perhatian khusus adalah Makan Bergizi Gratis (MBG), yang dinilai memiliki potensi besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.Lihat Juga :