MK: Penculikan Anak oleh Orang Tua Kandung Bisa Dipidana
Kamis, 26 September 2024 - 17:20 WIB
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan orang tua yang melakukan pengambilan paksa atau penculikan terhadap anak kandung bisa dipidana. Ketentuan tersebut telah tertuang dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Penegasan itu disampaikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan sidang putusan uji materi Pasal 330 ayat (1) KUHP oleh lima ibu yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima Pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak.
“Jika pengambilan anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki hak asuh atas putusan pengadilan, dilakukan dengan tanpa sepengetahuan dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh, terlebih dilakukan dengan disertai paksaan atau ancaman paksaan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP,” kata Arief di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Arief mengatakan dalam kasus penculikan anak kandung oleh orang tua kandung selain anak yang menjadi korban, menurut Mahkamah orang tua yang dipisahkan secara paksa dari anaknya oleh orang tua yang satunya, juga dapat menjadi korban terutama secara psikis.
“Dengan demikian, berkenaan dengan perbuatan yang dilarang berkaitan dengan penguasaan anak secara paksa sekalipun belum terjadi perceraian, telah tersedia mekanisme hukum yang cukup memadai tidak hanya dalam rangka melindungi anak, akan tetapi juga orang tua,” tambahnya.
Artinya, terdapat hubungan baik psikis maupun psikologis antara orang tua dan anak kandung yang seharusnya tidak dapat dipisahkan antara salah satu dengan yang lainnya, sehingga jika hal demikian menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan.
“Maka kepentingan anak yang paling diutamakan dan pilihan untuk memidanakan salah satu orang tua kandung anak yang melanggar ketentuan Pasal 330 ayat (1) KUHP adalah pilihan terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium). Terlebih, dalam paradigma penyelesaian tindak pidana saat ini, hal-hal demikian dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice,” paparnya.
Sementara itu, MK telah menolak permohonan pengujian oleh para pemohon melalui Putusan Nomor 140/PUU-XXI/2023. Para pemohon menguji frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946). “Amar putusan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi.
Penegasan itu disampaikan Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan sidang putusan uji materi Pasal 330 ayat (1) KUHP oleh lima ibu yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima Pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak.
“Jika pengambilan anak oleh orang tua kandung yang tidak memiliki hak asuh atas putusan pengadilan, dilakukan dengan tanpa sepengetahuan dan seizin dari orang tua pemegang hak asuh, terlebih dilakukan dengan disertai paksaan atau ancaman paksaan, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan melanggar Pasal 330 ayat (1) KUHP,” kata Arief di Gedung MK, Jakarta, Kamis (26/9/2024).
Baca Juga
Arief mengatakan dalam kasus penculikan anak kandung oleh orang tua kandung selain anak yang menjadi korban, menurut Mahkamah orang tua yang dipisahkan secara paksa dari anaknya oleh orang tua yang satunya, juga dapat menjadi korban terutama secara psikis.
“Dengan demikian, berkenaan dengan perbuatan yang dilarang berkaitan dengan penguasaan anak secara paksa sekalipun belum terjadi perceraian, telah tersedia mekanisme hukum yang cukup memadai tidak hanya dalam rangka melindungi anak, akan tetapi juga orang tua,” tambahnya.
Artinya, terdapat hubungan baik psikis maupun psikologis antara orang tua dan anak kandung yang seharusnya tidak dapat dipisahkan antara salah satu dengan yang lainnya, sehingga jika hal demikian menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan.
“Maka kepentingan anak yang paling diutamakan dan pilihan untuk memidanakan salah satu orang tua kandung anak yang melanggar ketentuan Pasal 330 ayat (1) KUHP adalah pilihan terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium). Terlebih, dalam paradigma penyelesaian tindak pidana saat ini, hal-hal demikian dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice,” paparnya.
Sementara itu, MK telah menolak permohonan pengujian oleh para pemohon melalui Putusan Nomor 140/PUU-XXI/2023. Para pemohon menguji frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946). “Amar putusan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan dengan didampingi delapan Hakim Konstitusi.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda