Antara Pelanggaran Etika dan Pelanggaran Hukum
Selasa, 17 September 2024 - 07:17 WIB
Bagian terakhir dari pemulihan hubungan ini telah sejak tahun 1960-an dikembangkan dalam sistem pemasyarakatan di bawah naungan Kementerian Hukum dan HAM (dahulu Kementerian Kehakiman), akan tetapi tetap saja tidak menunjukkan hasil positif dan signifikan dan sumber masalahnya terletak pada filosofi dan tujuan awal hukum pidana yang terbukti keliru dilihat dari aspek efisiensi dan efektivitas produk dari sistem peradilan yang telah berjalan selama 79 tahun sampai saat ini.
Masalah hubungan mantan terpidana/terpidana dengan lingkungan masyarakat dalam kenyataan tidak berhasil memulihkan atau mengembalikan mantan terpidana ke dalam lingkungannya antara lain karena kultur masyarakat kita selama ini yang apriori seorang terlibat tindak pidana dan termasuk mantan terpidana adalah penjahat sejak lahir (C.Lombroso) alias tidak ada kata maaf dan tobat.
Tampaknya sikap masyarakat tersebut telah berlaku universal sehingga pelanggaran etika juga telah dianggap bersalah secara hukum sekalipun harusnya berbeda sehingga cara berpikir dan cara pandang yang membedakan pelanggaran etika dan pelanggaran hukum adalah dibenarkan secara hukum akan tetapi tidak benar dari sudut pandang masyarakat pada umumnya.
Namun, masih ada yang perlu diluruskan keadaan kini yang menempatkan masalah pelanggaran etika khususnya dalam jabatan publik dikedepankan daripada pelanggaran hukum sedangkan telah terbukti secara terang dan jelas perbuatan pejabat publik terkait telah memenuhi dua alat bukti permulaan yang cukup. Hal ini terjadi disebabkan terdapat kekeliruan cara berpikir dan cara pandang mengenai perbedaan keduanya, bahwa pelanggaran etika tidak serta-merta merupakan pelanggaran hukum akan tetapi pelanggaran hukum (pidana) implisit adalah juga pelanggaran etika, tidak terkecuali.
Berdasarkan pernyataan ini maka eksistensi sidang etik terhadap perbuatan seorang pejabat yang jelas telah terbukti memenuhi unsur tindak pidana, adalah prematur dan seharusnya tidak diperlukan lagi. Hal ini disebabkan jika kekeliruan cara berpikir dan cara pandang mengenai kedua jenis pelanggaran masih melekat pada pimpinan lembaga negara dikhawatirkan terjadi penyelesaian yang bersifat semu dan meragukan dalam pandangan ahli hukum dan ahli sosiologi sekalipun “menguntungkan” pelaku pelanggaran dimaksud karena ia tidak harus dan wajib dilanjutkan melalui sistem peradilan yang berlaku.
Dalam keadaan kekosongan hukum yang diciptakan oleh pimpinan lembaga berdasarkan UU yang berlaku bagi instansinya maka diperlukan evaluasi peraturan perundang-undangan mengenai jabatan publik yang seharusnya dimulai oleh Pemerintahan Prabowo Subianto di masa yang akan datang.
Masalah hubungan mantan terpidana/terpidana dengan lingkungan masyarakat dalam kenyataan tidak berhasil memulihkan atau mengembalikan mantan terpidana ke dalam lingkungannya antara lain karena kultur masyarakat kita selama ini yang apriori seorang terlibat tindak pidana dan termasuk mantan terpidana adalah penjahat sejak lahir (C.Lombroso) alias tidak ada kata maaf dan tobat.
Baca Juga
Tampaknya sikap masyarakat tersebut telah berlaku universal sehingga pelanggaran etika juga telah dianggap bersalah secara hukum sekalipun harusnya berbeda sehingga cara berpikir dan cara pandang yang membedakan pelanggaran etika dan pelanggaran hukum adalah dibenarkan secara hukum akan tetapi tidak benar dari sudut pandang masyarakat pada umumnya.
Namun, masih ada yang perlu diluruskan keadaan kini yang menempatkan masalah pelanggaran etika khususnya dalam jabatan publik dikedepankan daripada pelanggaran hukum sedangkan telah terbukti secara terang dan jelas perbuatan pejabat publik terkait telah memenuhi dua alat bukti permulaan yang cukup. Hal ini terjadi disebabkan terdapat kekeliruan cara berpikir dan cara pandang mengenai perbedaan keduanya, bahwa pelanggaran etika tidak serta-merta merupakan pelanggaran hukum akan tetapi pelanggaran hukum (pidana) implisit adalah juga pelanggaran etika, tidak terkecuali.
Berdasarkan pernyataan ini maka eksistensi sidang etik terhadap perbuatan seorang pejabat yang jelas telah terbukti memenuhi unsur tindak pidana, adalah prematur dan seharusnya tidak diperlukan lagi. Hal ini disebabkan jika kekeliruan cara berpikir dan cara pandang mengenai kedua jenis pelanggaran masih melekat pada pimpinan lembaga negara dikhawatirkan terjadi penyelesaian yang bersifat semu dan meragukan dalam pandangan ahli hukum dan ahli sosiologi sekalipun “menguntungkan” pelaku pelanggaran dimaksud karena ia tidak harus dan wajib dilanjutkan melalui sistem peradilan yang berlaku.
Dalam keadaan kekosongan hukum yang diciptakan oleh pimpinan lembaga berdasarkan UU yang berlaku bagi instansinya maka diperlukan evaluasi peraturan perundang-undangan mengenai jabatan publik yang seharusnya dimulai oleh Pemerintahan Prabowo Subianto di masa yang akan datang.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda