BPIP Rekomendasikan Pembentukan UU Etika Kepresidenan

Rabu, 28 Agustus 2024 - 15:53 WIB
“Ternyata begitu mendapat kekuasaan, mampu mengubah cara pandang seseorang, tentang dunia, dan dirinya sendiri. Orang yang tadinya rendah hati, melayani, itu bisa berubah menjadi menuntut orang lain melayani dia,” ujar Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Ramlan Surbakti.

Implikasi dari penyalahgunaan kekuasaan tersebut dapat mengakibatkan perilaku nepotisme yang melahirkan kolusi dan berujung pada praktik-praktik korupsi yang masif sehingga menyebabkan dominasi terhadap kekayaan negara dan penghalalan segala cara demi mempertahankan kekuasaan.

Bentuk penyalahgunaan yang lebih serius adalah manipulasi terhadap sistem hukum baik pada tatanan legislasi hingga proses law enforcement atau penegakan hukum.

Pada titik ini, substansi hukum yang seharusnya menjunjung etika moralitas, justru dijauhkan dari nilai-nilai etika.

“Ada persoalan besar bahwa hukum dituhankan dan dianggap lebih tinggi dari etik, ini jelas terbalik,” ujar Pakar Hukum STH Jentera Bivitri Susanti.

Begitu pula dengan proses legislasi yang seharusnya melibatkan partisipasi publik justru dilakukan secara tertutup dan tanpa transparansi.

“Etika harusnya jadi kompas moral dari penyelengara negara untuk menjaga integritas dan kepercayaan rakyat. Mereka juga harus teguh dalam perilaku etis, sekarang dipamerkan cara pengambilan keputusan yang tidak etis,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo.

Selain itu, proses legislasi juga dilakukan tanpa adanya naskah akademis yang kritis dan mendalam hingga terdapat istilah DPR lebih berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rezim bukan Dewan Perwakilan Rakyat. Belum lagi dengan independensi lembaga peradilan yang juga ikut terdegradasi.

"Pada akhirnya hukum tidak lagi mampu melindungi hak-hak asasi manusia dan kepentingan publik secara adil, tetapi justru dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan politik," ucapnya.

Hal ini berujung juga pada kualitas demokrasi yang semakin tergerus. Berkaca dari data The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2024 misalnya, Indonesia termasuk dalam kategori demokrasi cacat atau flawed democracy dengan skor 6,53 dan berada di peringkat ke-56 dunia, turun 2 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More