BPIP Rekomendasikan Pembentukan UU Etika Kepresidenan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mengusulkan dibentuknya UU Lembaga Kepresidenan yang mengatur pokok-pokok beretika. Hal itu untuk mengatasi masalah etika penyelenggara negara dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Rekomendasi tersebut terungkap dalam Focus Groud Discussion (FGD) dengan tema "Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara" yang diselenggarakan BPIP di Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2024.
FGD ini mengeksplorasi bagaimana kerapuhan etika memengaruhi sistem hukum, demokrasi, dan tata kelola publik, serta membahas upaya mengembalikan Pancasila sebagai pandangan hidup dan cita negara
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” merupakan sebuah adagium yang dikemukakan oleh Lord Acton yang patut untuk direnungkan dalam memotret realitas berbangsa dan bernegara saat ini terutama dengan semakin penuhnya coretan tinta penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara.
“Tampak jelas betapa nilai Pancasila dan etika di dalam berpolitik dan menaati hukum itu terjadi degradasi yang amat sangat,” kata Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ikrar Nusa Bhakti, Rabu (28/8/2024).
Berdasarkan adagium Lord Acton, kekuasaan yang absolut pasti akan menyebabkan korupsi ini bukanlah sebuah adagium slogan, namun telah dilegitimasi oleh berbagai kajian akademis. "Kekuasaan memiliki tingkat adiksi yang tinggi bahkan lebih dari adiksi terhadap narkoba," katanya.
Kekuasaan mampu mengaktifkan sistem penghargaan neuronal di otak sehingga membuat orang yang berada pada posisi kekuasaaan memiliki adiktivitas untuk terus mempertahankan kekuasannya. Hal ini berdampak pada terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
“Ternyata begitu mendapat kekuasaan, mampu mengubah cara pandang seseorang, tentang dunia, dan dirinya sendiri. Orang yang tadinya rendah hati, melayani, itu bisa berubah menjadi menuntut orang lain melayani dia,” ujar Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Ramlan Surbakti.
Implikasi dari penyalahgunaan kekuasaan tersebut dapat mengakibatkan perilaku nepotisme yang melahirkan kolusi dan berujung pada praktik-praktik korupsi yang masif sehingga menyebabkan dominasi terhadap kekayaan negara dan penghalalan segala cara demi mempertahankan kekuasaan.
Bentuk penyalahgunaan yang lebih serius adalah manipulasi terhadap sistem hukum baik pada tatanan legislasi hingga proses law enforcement atau penegakan hukum.
Pada titik ini, substansi hukum yang seharusnya menjunjung etika moralitas, justru dijauhkan dari nilai-nilai etika.
“Ada persoalan besar bahwa hukum dituhankan dan dianggap lebih tinggi dari etik, ini jelas terbalik,” ujar Pakar Hukum STH Jentera Bivitri Susanti.
Begitu pula dengan proses legislasi yang seharusnya melibatkan partisipasi publik justru dilakukan secara tertutup dan tanpa transparansi.
“Etika harusnya jadi kompas moral dari penyelengara negara untuk menjaga integritas dan kepercayaan rakyat. Mereka juga harus teguh dalam perilaku etis, sekarang dipamerkan cara pengambilan keputusan yang tidak etis,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo.
Selain itu, proses legislasi juga dilakukan tanpa adanya naskah akademis yang kritis dan mendalam hingga terdapat istilah DPR lebih berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rezim bukan Dewan Perwakilan Rakyat. Belum lagi dengan independensi lembaga peradilan yang juga ikut terdegradasi.
"Pada akhirnya hukum tidak lagi mampu melindungi hak-hak asasi manusia dan kepentingan publik secara adil, tetapi justru dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan politik," ucapnya.
Hal ini berujung juga pada kualitas demokrasi yang semakin tergerus. Berkaca dari data The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2024 misalnya, Indonesia termasuk dalam kategori demokrasi cacat atau flawed democracy dengan skor 6,53 dan berada di peringkat ke-56 dunia, turun 2 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.
“flawed democracy menjadi situasi kita. Mekanisme elektoral yang jadi syarat prosedural demokrasi dan kebebasan sipil tetaplah belum cukup kokoh karena menghadapi oligarki di level atas, tapi di bawah rakyat menghadapi intoleransi akibat proses politik itu,” jelas tokoh agama dan ahli Etika yang juga pengajar di STF Driyarkara Martin L Sinaga.
Beberapa catatan krusial dengan penilaian rendah dalam indeks tersebut berkaitan dengan budaya politik 4,38 dan kebebasan sipil 5,29. Sementara itu, berdasar data Freedom House 2024, Indonesia termasuk dalam kategori partly free dengan nilai 57/100, turun 1 poin dibandingkan tahun sebelumnya.
“Demokrasi berkorelasi positif dengan indeks ekonomi dan sosial. Kalau mau ketimpangan menurun maka harus demokrasinya diutamakan. Hari ini Indonesia demokrasinya lemah dan ekonominya stagnasi,” ujar Pakar politik yang memimpin Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) 2022-2023 Andi Widjajanto.
Berdasarkan FGD tersebut, BPIP memberikan rekomendasi mengatasi problematika etika penyelenggara negara yakni, perlu dibentuk UU Lembaga Kepresidenan yang mengatur mengenai pokok-pokok beretika.
Alasannya adalah lembaga eksekutif di bawah presiden, legislatif dan yudikatif telah memiliki regulasi etikanya masing-masing misalnya di legislatif ada UU MD3, di Yudikatif ada UU MK, MA, KY dan di Eksekutif ada UU Kementerian Negara, Watimpres, TNI, Polri dan lain-lain, sedangkan di lembaga kepresidenan belum ada.
"Proses legislasi harus berkualitas dengan naskah akademik yang mendalam, mengutamakan proses yang transparan dan inklusif, serta melibatkan partisipasi publik yang lebih luas," katanya.
Kemudian, memperkuat struktur dengan mengembalikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi lembaga independen dan imparsial.
"Memperkuat independensi dan imparsialitas lembaga peradilan serta memperbaiki institusi kepolisian menjadi lembaga penegak hukum dan keadilan, bukan sekadar penjaga ketertiban," katanya.
Di politik, perlu perombakan sistem pada partai politik (parpol) sehingga kaderisasi partai politik memiliki ruh yang menjunjung tinggi etika dan moralitas.
"Partai politik juga harus dibiayai oleh negara dengan syarat bahwa partai-partai politik harus memenuhi syarat yang ketat dan pentingnya kaderisasi partai-partai politik sehingga memiliki ideologi yang jelas," katanya.
Di bidang pendidikan, materi Pendidikan Pancasila agar berbasis hak dan nilai masyarakat bukan sekedar mengutamakan pengajaran normatif, simbolis seperti hormat bendera sikap seremonial.
"BPIP juga harus menyuarakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan praksis dan menyuarakan kebenaran, bukan lembaga dogmatis, yang hanya bertugas sosialisasi, tetapi lembaga yang menyuarakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," paparnya.
Penyelenggara negara harus mengacu pada TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tujuan untuk menciptakan tatanan etika yang kuat di berbagai aspek kehidupan dan mencegah terulangnya kembali penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hukum yang terjadi pada masa lalu.
Rekomendasi tersebut terungkap dalam Focus Groud Discussion (FGD) dengan tema "Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara" yang diselenggarakan BPIP di Jakarta, Selasa, 27 Agustus 2024.
FGD ini mengeksplorasi bagaimana kerapuhan etika memengaruhi sistem hukum, demokrasi, dan tata kelola publik, serta membahas upaya mengembalikan Pancasila sebagai pandangan hidup dan cita negara
“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” merupakan sebuah adagium yang dikemukakan oleh Lord Acton yang patut untuk direnungkan dalam memotret realitas berbangsa dan bernegara saat ini terutama dengan semakin penuhnya coretan tinta penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara negara.
“Tampak jelas betapa nilai Pancasila dan etika di dalam berpolitik dan menaati hukum itu terjadi degradasi yang amat sangat,” kata Peneliti Senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ikrar Nusa Bhakti, Rabu (28/8/2024).
Berdasarkan adagium Lord Acton, kekuasaan yang absolut pasti akan menyebabkan korupsi ini bukanlah sebuah adagium slogan, namun telah dilegitimasi oleh berbagai kajian akademis. "Kekuasaan memiliki tingkat adiksi yang tinggi bahkan lebih dari adiksi terhadap narkoba," katanya.
Kekuasaan mampu mengaktifkan sistem penghargaan neuronal di otak sehingga membuat orang yang berada pada posisi kekuasaaan memiliki adiktivitas untuk terus mempertahankan kekuasannya. Hal ini berdampak pada terjadinya penyalahgunaan kekuasaan.
“Ternyata begitu mendapat kekuasaan, mampu mengubah cara pandang seseorang, tentang dunia, dan dirinya sendiri. Orang yang tadinya rendah hati, melayani, itu bisa berubah menjadi menuntut orang lain melayani dia,” ujar Guru Besar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Ramlan Surbakti.
Implikasi dari penyalahgunaan kekuasaan tersebut dapat mengakibatkan perilaku nepotisme yang melahirkan kolusi dan berujung pada praktik-praktik korupsi yang masif sehingga menyebabkan dominasi terhadap kekayaan negara dan penghalalan segala cara demi mempertahankan kekuasaan.
Bentuk penyalahgunaan yang lebih serius adalah manipulasi terhadap sistem hukum baik pada tatanan legislasi hingga proses law enforcement atau penegakan hukum.
Pada titik ini, substansi hukum yang seharusnya menjunjung etika moralitas, justru dijauhkan dari nilai-nilai etika.
“Ada persoalan besar bahwa hukum dituhankan dan dianggap lebih tinggi dari etik, ini jelas terbalik,” ujar Pakar Hukum STH Jentera Bivitri Susanti.
Begitu pula dengan proses legislasi yang seharusnya melibatkan partisipasi publik justru dilakukan secara tertutup dan tanpa transparansi.
“Etika harusnya jadi kompas moral dari penyelengara negara untuk menjaga integritas dan kepercayaan rakyat. Mereka juga harus teguh dalam perilaku etis, sekarang dipamerkan cara pengambilan keputusan yang tidak etis,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Harkristuti Harkrisnowo.
Selain itu, proses legislasi juga dilakukan tanpa adanya naskah akademis yang kritis dan mendalam hingga terdapat istilah DPR lebih berfungsi sebagai Dewan Perwakilan Rezim bukan Dewan Perwakilan Rakyat. Belum lagi dengan independensi lembaga peradilan yang juga ikut terdegradasi.
"Pada akhirnya hukum tidak lagi mampu melindungi hak-hak asasi manusia dan kepentingan publik secara adil, tetapi justru dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan politik," ucapnya.
Hal ini berujung juga pada kualitas demokrasi yang semakin tergerus. Berkaca dari data The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2024 misalnya, Indonesia termasuk dalam kategori demokrasi cacat atau flawed democracy dengan skor 6,53 dan berada di peringkat ke-56 dunia, turun 2 peringkat dibandingkan tahun sebelumnya.
“flawed democracy menjadi situasi kita. Mekanisme elektoral yang jadi syarat prosedural demokrasi dan kebebasan sipil tetaplah belum cukup kokoh karena menghadapi oligarki di level atas, tapi di bawah rakyat menghadapi intoleransi akibat proses politik itu,” jelas tokoh agama dan ahli Etika yang juga pengajar di STF Driyarkara Martin L Sinaga.
Beberapa catatan krusial dengan penilaian rendah dalam indeks tersebut berkaitan dengan budaya politik 4,38 dan kebebasan sipil 5,29. Sementara itu, berdasar data Freedom House 2024, Indonesia termasuk dalam kategori partly free dengan nilai 57/100, turun 1 poin dibandingkan tahun sebelumnya.
“Demokrasi berkorelasi positif dengan indeks ekonomi dan sosial. Kalau mau ketimpangan menurun maka harus demokrasinya diutamakan. Hari ini Indonesia demokrasinya lemah dan ekonominya stagnasi,” ujar Pakar politik yang memimpin Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) 2022-2023 Andi Widjajanto.
Berdasarkan FGD tersebut, BPIP memberikan rekomendasi mengatasi problematika etika penyelenggara negara yakni, perlu dibentuk UU Lembaga Kepresidenan yang mengatur mengenai pokok-pokok beretika.
Alasannya adalah lembaga eksekutif di bawah presiden, legislatif dan yudikatif telah memiliki regulasi etikanya masing-masing misalnya di legislatif ada UU MD3, di Yudikatif ada UU MK, MA, KY dan di Eksekutif ada UU Kementerian Negara, Watimpres, TNI, Polri dan lain-lain, sedangkan di lembaga kepresidenan belum ada.
"Proses legislasi harus berkualitas dengan naskah akademik yang mendalam, mengutamakan proses yang transparan dan inklusif, serta melibatkan partisipasi publik yang lebih luas," katanya.
Kemudian, memperkuat struktur dengan mengembalikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi lembaga independen dan imparsial.
"Memperkuat independensi dan imparsialitas lembaga peradilan serta memperbaiki institusi kepolisian menjadi lembaga penegak hukum dan keadilan, bukan sekadar penjaga ketertiban," katanya.
Di politik, perlu perombakan sistem pada partai politik (parpol) sehingga kaderisasi partai politik memiliki ruh yang menjunjung tinggi etika dan moralitas.
"Partai politik juga harus dibiayai oleh negara dengan syarat bahwa partai-partai politik harus memenuhi syarat yang ketat dan pentingnya kaderisasi partai-partai politik sehingga memiliki ideologi yang jelas," katanya.
Di bidang pendidikan, materi Pendidikan Pancasila agar berbasis hak dan nilai masyarakat bukan sekedar mengutamakan pengajaran normatif, simbolis seperti hormat bendera sikap seremonial.
"BPIP juga harus menyuarakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan praksis dan menyuarakan kebenaran, bukan lembaga dogmatis, yang hanya bertugas sosialisasi, tetapi lembaga yang menyuarakan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," paparnya.
Penyelenggara negara harus mengacu pada TAP MPR No. VI Tahun 2001 tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tujuan untuk menciptakan tatanan etika yang kuat di berbagai aspek kehidupan dan mencegah terulangnya kembali penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hukum yang terjadi pada masa lalu.
(cip)