Bersaing atau Berkolusi?
Sabtu, 17 Agustus 2024 - 08:51 WIB
Biaya produksi yang lebih rendah, manajemen rantai pasokan yang lebih baik, serta strategi pemasaran yang tepat, semuanya menjadi elemen penting dalam menghadapi persaingan. Setiap perusahaan harus siap bersaing di berbagai pasar dengan efisiensi operasional sebagai modal utama. Persaingan yang semakin ketat mutlak mengharuskan para pelaku usaha untuk terus berinovasi dan meningkatkan efisiensi agar tetap relevan di pasar.
Perusahaan yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan ini akan menghadapi risiko serius untuk tersingkir dari arena bisnis. Sebab itu, memperluas market size adalah langkah penting, namun lebih dari itu, keberhasilan dalam persaingan sangat bergantung pada kemampuan setiap perusahaan untuk terus meningkatkan efisiensi dan daya saing di pasar yang semakin global.
Joseph Schumpeter mengemukakan bahwa inovasi adalah kekuatan pendorong utama dalam pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural. Akan tetapi, inovasi yang sama juga dapat menghancurkan pelaku usaha yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan yang dihasilkan. Dalam era globalisasi dan teknologi yang berkembang pesat, inovasi bukan lagi pilihan tetapi kebutuhan. Perusahaan yang tidak mampu berinovasi dan meningkatkan efisiensi operasionalnya akan tergilas oleh kompetisi.
Sebuah studi oleh Bank Dunia pada 2018 mengungkapkan bahwa Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di negara-negara berkembang sangat rentan terhadap dampak globalisasi dan digitalisasi. Teknologi digital, yang seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, sering kali sulit diakses oleh UMKM karena keterbatasan modal dan pengetahuan. Hasilnya, UMKM yang tidak mampu mengadopsi teknologi baru terpaksa beroperasi dengan cara-cara lama yang tidak lagi efisien, sehingga mereka semakin sulit bersaing di pasar yang kini didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang sudah terintegrasi secara global dan didukung oleh teknologi canggih.
Selain itu, penelitian oleh McKinsey Global Institute (2019) juga menunjukkan bahwa perusahaan yang beroperasi di lingkungan global dan didukung oleh teknologi digital cenderung lebih efisien dan mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan yang tidak. Perusahaan-perusahaan tesebut mampu mengoptimalkan rantai pasokan, mengurangi biaya operasional, dan menjangkau pasar yang lebih luas. Sebaliknya, UMKM yang gagal mengadopsi teknologi digital sering kali tertinggal, dan pada akhirnya tidak mampu bertahan dalam persaingan yang semakin ketat.
Di Indonesia, dampak dari situasi ini terasa lebih dalam. Industri tekstil nasional yang bergantung pada ekspor menghadapi tekanan dari dua arah yakni persaingan yang semakin intensif dari produsen asing dan penurunan permintaan global. Industri tekstil, yang merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia, mengalami tekanan dari persaingan global yang semakin ketat dan melemahnya permintaan dari pasar internasional.
Pada tahun 2023, ekspor tekstil Indonesia turun menjadi hanya 1,49 juta ton, dengan nilai ekspor mencapai USD 3,63 miliar. Angka tersebut merupakan salah satu capaian terendah dalam beberapa tahun terakhir, yang disebabkan oleh berkurangnya permintaan dari pasar utama seperti Amerika Serikat dan Eropa. Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan banyak perusahaan tekstil lokal, terutama yang berskala menengah dan besar, kesulitan untuk mempertahankan efisiensi dan daya saing akibat biaya produksi yang semakin tinggi dan persaingan harga yang ketat.
Usaha yang mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan pasar dan teknologi cenderung lebih sukses dalam jangka panjang. Mereka yang memilih jalan ini sering kali berfokus pada diferensiasi produk, peningkatan layanan, dan adopsi teknologi terkini untuk tetap relevan di pasar yang semakin kompetitif.
Perusahaan yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan ini akan menghadapi risiko serius untuk tersingkir dari arena bisnis. Sebab itu, memperluas market size adalah langkah penting, namun lebih dari itu, keberhasilan dalam persaingan sangat bergantung pada kemampuan setiap perusahaan untuk terus meningkatkan efisiensi dan daya saing di pasar yang semakin global.
UMKM Indonesia di Era Globalisasi
Globalisasi telah berkembang pesat dalam beberapa dekade terakhir, seiring dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat. Alhasil, fenomena ini telah menciptakan dinamika baru dalam dunia usaha, di mana efisiensi menjadi kunci utama untuk bertahan hidup. Penelitian terdahulu telah menunjukkan bahwa globalisasi membawa dampak signifikan terhadap pola persaingan usaha di seluruh dunia. Salah satu teori ekonomi yang relevan dalam konteks ini adalah Teori Schumpeterian tentang "Destructive Innovation".Joseph Schumpeter mengemukakan bahwa inovasi adalah kekuatan pendorong utama dalam pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural. Akan tetapi, inovasi yang sama juga dapat menghancurkan pelaku usaha yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan yang dihasilkan. Dalam era globalisasi dan teknologi yang berkembang pesat, inovasi bukan lagi pilihan tetapi kebutuhan. Perusahaan yang tidak mampu berinovasi dan meningkatkan efisiensi operasionalnya akan tergilas oleh kompetisi.
Sebuah studi oleh Bank Dunia pada 2018 mengungkapkan bahwa Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di negara-negara berkembang sangat rentan terhadap dampak globalisasi dan digitalisasi. Teknologi digital, yang seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi, sering kali sulit diakses oleh UMKM karena keterbatasan modal dan pengetahuan. Hasilnya, UMKM yang tidak mampu mengadopsi teknologi baru terpaksa beroperasi dengan cara-cara lama yang tidak lagi efisien, sehingga mereka semakin sulit bersaing di pasar yang kini didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar yang sudah terintegrasi secara global dan didukung oleh teknologi canggih.
Selain itu, penelitian oleh McKinsey Global Institute (2019) juga menunjukkan bahwa perusahaan yang beroperasi di lingkungan global dan didukung oleh teknologi digital cenderung lebih efisien dan mampu tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan perusahaan yang tidak. Perusahaan-perusahaan tesebut mampu mengoptimalkan rantai pasokan, mengurangi biaya operasional, dan menjangkau pasar yang lebih luas. Sebaliknya, UMKM yang gagal mengadopsi teknologi digital sering kali tertinggal, dan pada akhirnya tidak mampu bertahan dalam persaingan yang semakin ketat.
Di Indonesia, dampak dari situasi ini terasa lebih dalam. Industri tekstil nasional yang bergantung pada ekspor menghadapi tekanan dari dua arah yakni persaingan yang semakin intensif dari produsen asing dan penurunan permintaan global. Industri tekstil, yang merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Indonesia, mengalami tekanan dari persaingan global yang semakin ketat dan melemahnya permintaan dari pasar internasional.
Pada tahun 2023, ekspor tekstil Indonesia turun menjadi hanya 1,49 juta ton, dengan nilai ekspor mencapai USD 3,63 miliar. Angka tersebut merupakan salah satu capaian terendah dalam beberapa tahun terakhir, yang disebabkan oleh berkurangnya permintaan dari pasar utama seperti Amerika Serikat dan Eropa. Hal tersebut pada akhirnya menyebabkan banyak perusahaan tekstil lokal, terutama yang berskala menengah dan besar, kesulitan untuk mempertahankan efisiensi dan daya saing akibat biaya produksi yang semakin tinggi dan persaingan harga yang ketat.
Antara Kompetisi dan Kolaborasi
Menghadapi globalisasi dan teknologi secara langsung mengharuskan pelaku usaha untuk terus berinovasi dan meningkatkan efisiensi operasional. Dalam konteks ini, kompetisi dianggap sebagai pendorong utama bagi peningkatan kualitas dan daya saing.Usaha yang mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan pasar dan teknologi cenderung lebih sukses dalam jangka panjang. Mereka yang memilih jalan ini sering kali berfokus pada diferensiasi produk, peningkatan layanan, dan adopsi teknologi terkini untuk tetap relevan di pasar yang semakin kompetitif.
tulis komentar anda