Rapor Merah 1 Dekade Kepemimpinan Jokowi
Sabtu, 17 Agustus 2024 - 08:14 WIB
Walhi pun menilai pembangunan IKN akan merusak lingkungan di sekitar Penajam Paser Utara. Contohnya saja mengenai pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Maka tak berlebihan apabila banyak pula anggapan yang menyatakan bahwa megaproyek ini justru akan mengancam penduduk asli sekitar seperti yang terjadi langsung pada warga sekitar Sungai Sepaku yang dijadikan pembangunan untuk memasok air baku ke IKN.
Persoalan lain yang menjadi perdebatan adalah tentang investor IKN yang masih sepi. Untuk mewujudkan pemindahan ambisius Jokowi itu, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp96 triliun dari APBN dari jumlah total dana Rp480 triliun. Ini artinya ada Rp384 triliun sisanya yang harus didanai oleh investor. Namun lagi-lagi, dana investor nyatanya masih mandek. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, sumber pendanaan mana lagi yang harus pemerintah cari untuk membangun IKN?
Dengan demikian mimpi Jokowi ingin menyelesaikan masa jabatannya di IKN pun masih abu-abu.
Sikap netral itu kembali disampaikannya untuk menjawab suara publik yang ingin Jokowi netral, seperti saat Jokowi makan siang bersama ketiga bakal capres, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto di Istana Negara.
Namun yang terjadi Jokowi justru meruntuhkan sikap netralnya itu dan jelas-jelas membangun dinasti politik yang melanggar etika. Tragisnya, trah dinasti politik Jokowi ini dibentuk dengan cara-cara yang tidak etis dengan memanfaatkan instrumen keluarga.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memberikan karpet merah pada Gibran yang umurnya belum genap 40 tahun (36 tahun), yang pada akhirnya membuat Gibran dapat melenggang menjadi Wapres pendamping Prabowo Subianto dengan mudah. Ia diloloskan pamannya yang mengubah ambang batas usia bahwa Gibran tetap bisa mencalonkan menjadi cawapres dengan pertimbangan bahwa Gibran berpengalaman pernah menjadi pemimpin Kota Solo.
Tak sampai situ, untuk mewujudkan dinasti keluarga ini, Jokowi bahkan tak malu mengizinkan anak dan menantunya agar dapat bersama-sama membangun dinasti politiknya. Selain Gibran, ada Kaesang Pangarep yang juga dapat dengan mudah menjadi Ketum PSI tanpa melalui proses pengkaderan. Saat ini Kaesang bahkan tercatat ingin maju ke Pilkada DKI. Belum lagi menantu Jokowi, Bobby Nasution yang mencalonkan diri di Pilkada Sumatera utara.
Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa sebetulnya ada ketidaksesuaian antara apa yang diucapkan Jokowi dengan yang telah dilakukannya. Jokowi telah menelan ludahnya sendiri dan justru membangun dinasi politik keluarganya di negeri ini.
Maka tak berlebihan apabila banyak pula anggapan yang menyatakan bahwa megaproyek ini justru akan mengancam penduduk asli sekitar seperti yang terjadi langsung pada warga sekitar Sungai Sepaku yang dijadikan pembangunan untuk memasok air baku ke IKN.
Persoalan lain yang menjadi perdebatan adalah tentang investor IKN yang masih sepi. Untuk mewujudkan pemindahan ambisius Jokowi itu, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp96 triliun dari APBN dari jumlah total dana Rp480 triliun. Ini artinya ada Rp384 triliun sisanya yang harus didanai oleh investor. Namun lagi-lagi, dana investor nyatanya masih mandek. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, sumber pendanaan mana lagi yang harus pemerintah cari untuk membangun IKN?
Dengan demikian mimpi Jokowi ingin menyelesaikan masa jabatannya di IKN pun masih abu-abu.
Dinasti Politik Jokowi
Pada 30 Oktober 2023 lalu Jokowi pernah berjanji untuk netral di Pilpres 2024. Presiden ke-7 RI ini bahkan berulang kali menegaskan bahwa ia akan bersikap netral. Tak sebatas itu, instruksi netral selama pemilu disampaikannya untuk para pemimpin daerah, aparatur sipil negara, hingga personel TNI-Polri.Sikap netral itu kembali disampaikannya untuk menjawab suara publik yang ingin Jokowi netral, seperti saat Jokowi makan siang bersama ketiga bakal capres, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto di Istana Negara.
Namun yang terjadi Jokowi justru meruntuhkan sikap netralnya itu dan jelas-jelas membangun dinasti politik yang melanggar etika. Tragisnya, trah dinasti politik Jokowi ini dibentuk dengan cara-cara yang tidak etis dengan memanfaatkan instrumen keluarga.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memberikan karpet merah pada Gibran yang umurnya belum genap 40 tahun (36 tahun), yang pada akhirnya membuat Gibran dapat melenggang menjadi Wapres pendamping Prabowo Subianto dengan mudah. Ia diloloskan pamannya yang mengubah ambang batas usia bahwa Gibran tetap bisa mencalonkan menjadi cawapres dengan pertimbangan bahwa Gibran berpengalaman pernah menjadi pemimpin Kota Solo.
Tak sampai situ, untuk mewujudkan dinasti keluarga ini, Jokowi bahkan tak malu mengizinkan anak dan menantunya agar dapat bersama-sama membangun dinasti politiknya. Selain Gibran, ada Kaesang Pangarep yang juga dapat dengan mudah menjadi Ketum PSI tanpa melalui proses pengkaderan. Saat ini Kaesang bahkan tercatat ingin maju ke Pilkada DKI. Belum lagi menantu Jokowi, Bobby Nasution yang mencalonkan diri di Pilkada Sumatera utara.
Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa sebetulnya ada ketidaksesuaian antara apa yang diucapkan Jokowi dengan yang telah dilakukannya. Jokowi telah menelan ludahnya sendiri dan justru membangun dinasi politik keluarganya di negeri ini.
tulis komentar anda