Rapor Merah 1 Dekade Kepemimpinan Jokowi
loading...
A
A
A
Yogie Alwaton
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Telkom
Peneliti Media dan Jurnalisme
"JIKA ingin melihat siapa dia sebenarnya, berilah dia sebuah tahta" (Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16).
Dahulu hanya pengusaha mebel, sekarang ia adalah penghuni Istana. Joko Widodo, dengan gaya sederhananya mampu memenangkan pemilihan Wali Kota Surakarta selama dua periode. Tak sampai situ, ia juga sukses menjadi Gubernur DKI Jakarta dari tahun 2012 hingga 2014. Banyak yang menilai Jokowi terkesan sederhana. Namun justru dengan kesederhanaannya itulah, Jokowi mampu menjadi sosok petinggi negeri ini.
Penelitian Ross Tapsell berjudul Indonesia's Media Oligarchy and the Jokowi Phenomenonmenjelaskan bahwa gaya blusukan Jokowi yang dimulai dari Solo hingga Jakarta telah berhasil menjadikannya terlihat sebagai pemimpin yang merakyat. Jokowi bahkan tak sungkan masuk ke gorong-gorong dan gang sempit sekali pun agar dapat dicitrakan sebagai pemimpin yang sederhana.
Dari karakternya itu, Joko Widodo lalu menjelma sebagai pemimpin yang merakyat dan dianggap sebagai antitesa pemimpin yang harus menjaga jarak dengan publiknya.
Latar belakangnya yang kontras dengan lawan politiknya, seperti Prabowo Subianto lantas sukses membawanya untuk menjadi Presiden Republik Indonesia selama dua periode (2014-2019) dan (2019-2024). Sebagai antitesis Prabowo, Jokowi dianggap mampu memberikan jawaban bagi Indonesia yang dibayang-bayangi Orde Baru yang anti-kritik dan otoriter.
Selain itu, Jokowi juga dalam kerjanya mendapat banyak pujian. Dalam hal ekonomi, GDP Indonesia berada pada angka stabil sebesar 5% (2014-2024). Karena itu, soal ini tak berlebihan bila kita sepakat bahwa Presiden Joko Widodo berhasil membangun banyak infrastruktur dan menggaet investor dalam pembangunan. Namun, ambisi dan warisan utama Jokowi dalam bidang itu nyatanya tak selalu berakhir baik.
Ungkapan itu memang relevan ditujukan kepada Jokowi karena pada tahun-tahun kerjanya sebagai pemimpin, Jokowi banyak membuat rapor merah untuk dirinya sendiri.
Setidaknya ada beberapa isu sentral yang menjadikan Jokowi gagal sebagai presiden dalam memimpin Indonesia.
Misalnya saja mengenai isu cipta kerja, pelemahan KPK, pelanggaran HAM, kontroversi pemindahan IKN, hingga dinasti politik pada pemilu 2024.
Namun, penyelesaian undang-undang yang dilakukan secara kilat, banyak merugikan para buruh serta serikat pekerja. Tak hanya itu, dalam keterbukaannya pada publik, omnibus law ini begitu tak transparan dan tidak mendengarkan masukan dari banyak pihak. Upaya protes masif dari publik nyatanya tak didengarkan. Karena tepat satu tahun setelah janji Jokowi itu, UU Ciptaker telah sah diberlakukan oleh DPR.
Upaya kotor ini tak ayal membuat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2023 mengalami kemunduran.
Sumber: Databoks, 2024
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 tercatat 34 dan berada di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini memburuk empat poin dari tahun 2021 yang berada pada skor 38. Sedangkan pada tahun 2023 berada pada angka yang stagnan. Dalam arti lain, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sedang berada pada titik terendah dalam 10 tahun terakhir, sehingga tak ayal bahwa adanya pelemahan unsur lembaga negara KPK akhirnya membuat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mengalami kemunduran.
Data Amnesty selama 2019 hingga 2022 menyebut setidaknya terdapat 328 kasus melibatkan serangan fisik dan/atau digital dengan korban yang mencakup pembela HAM, aktivis, jurnalis, hingga demontran dan mahasiswa.
Kasus besar seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) yang merupakan warisan Jokowi tak ayal juga menimbulkan kontroversi dan memancing amarah publik.
Misal saja yang terjadi pada PSN di Wadas, yang terletak di Kabupaten Purworejo. Proyek ambisius ini memang tercatat masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Jokowi-Amin yang berguna untuk pembangunan Bendungan Bener, Purworejo, Jawa Tengah.
Yang menjadi persoalan ialah PSN Wadas dilancarkan dengan penggunaan aksi kekerasan kepada warga kecil yang terdampak. Ini adalah satu contoh kecil. Jokowi mengerahkan seluruh aparat kepolisiannya agar dapat mewujudkan proyek ambisius tersebut.
Belum lagi mengenai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang turut digunakan untuk memenjarakan orang-orang yang mengekspresikan hak berpendapat.
Salah satu kasus yang mengemuka adalah yang menjerat dua aktivis, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang diadili lantaran dituduh mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berdasarkan pasal karet UU ITE.
Meski Haris dan Fatia pada akhirnya divonis bebas di persidangan, kasus ini telah menyoroti kekhawatiran soal kebebasan berekspresi.
Alhasil, dengan berdasar pada dua contoh kecil di atas, Indeks Demokrasi Indonesia masih belum pulih. Hal itu terlihat dari sejumlah indikator mengenai kondisi demokrasi di Indonesia, misalnya Freedom House yang menyebut bahwa demokrasi Indonesia masih belum bebas. Bahkan The Economist Intelligence Unit masih mengkategorikan Indonesia sebagai negara dengan 'demokrasi cacat'. Data-data tersebut mencatat demokrasi kita cenderung rendah karena adanya ancaman terhadap kebebasan sipil.
Dalam jurnal penelitian berjudul Power Consolidation and its Impact on the Decline of Democracy in Indonesia Under President Jokowi, indeks demokrasi Indonesia menurun disebabkan karena rezim jokowi cenderung mengintimidasi dan menangkap orang-orang yang berani mengkritik pemerintahan Jokowi.
Dengan demikian, Jokowi dahulu dan sekarang adalah seorang yang berbeda. Jika dahulu, ia cenderung simpatik dan menggunakan politik pencitraan dengan figur yang sederhana, merakyat dan mewakili suara wong cilik, yang terjadi sekarang ialah ia justru sangat otoriter dan anti-kritik.
Kalau sudah seperti ini, janji Jokowi dan mimpi Indonesia yang tak ingin disamakan dengan Orde Baru hanyalah sebuah angan dan mimpi semata. Jokowi sendirilah yang menghancurkan mimpi itu.
Persoalan yang muncul ialah landasan hukum undang-undang pemindahan ibu kota dilakukan hanya dalam beberapa waktu dan dikebut dengan tanpa mendengarkan aspirasi dan dialog publik. Menurut Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), UU Ibu Kota Nusantara (IKN) disahkan hanya dalam waktu kurang dari dua pekan sejak tim panitia khusus pembahas RUU dibentuk di DPR.
Ambisi Jokowi dalam pemindahan ibu kota ke Penajam Paser Utara hanya dilandaskan pada alasan klasik seperti banjir dan pemerataan penduduk. Namun Jokowi sebetulnya tak terlalu memperdulikan hak masyarakat adat yang pada akhirnya terberengus.
Menurut Alwaton (2023) dalam jurnal penelitiannya, pemindahan IKN justru akan banyak mendapatkan penolakan dan kritikan baik dari akademisi, NGO hingga masyarakat adat dan lokal setempat yang terdampak langsung.
Penolakan yang disebut-sebut misalnya mengenai Pulau Kalimantan yang sedari dulu merupakan paru-paru dunia. Apabila ruang hijau ini digunakan secara serampangan, bukan tak mungkin akan banyak menimbulkan masalah yang berkaitan dengan flora dan fauna setempat hingga masyarakat lokal itu sendiri.
Walhi pun menilai pembangunan IKN akan merusak lingkungan di sekitar Penajam Paser Utara. Contohnya saja mengenai pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Maka tak berlebihan apabila banyak pula anggapan yang menyatakan bahwa megaproyek ini justru akan mengancam penduduk asli sekitar seperti yang terjadi langsung pada warga sekitar Sungai Sepaku yang dijadikan pembangunan untuk memasok air baku ke IKN.
Persoalan lain yang menjadi perdebatan adalah tentang investor IKN yang masih sepi. Untuk mewujudkan pemindahan ambisius Jokowi itu, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp96 triliun dari APBN dari jumlah total dana Rp480 triliun. Ini artinya ada Rp384 triliun sisanya yang harus didanai oleh investor. Namun lagi-lagi, dana investor nyatanya masih mandek. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, sumber pendanaan mana lagi yang harus pemerintah cari untuk membangun IKN?
Dengan demikian mimpi Jokowi ingin menyelesaikan masa jabatannya di IKN pun masih abu-abu.
Sikap netral itu kembali disampaikannya untuk menjawab suara publik yang ingin Jokowi netral, seperti saat Jokowi makan siang bersama ketiga bakal capres, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto di Istana Negara.
Namun yang terjadi Jokowi justru meruntuhkan sikap netralnya itu dan jelas-jelas membangun dinasti politik yang melanggar etika. Tragisnya, trah dinasti politik Jokowi ini dibentuk dengan cara-cara yang tidak etis dengan memanfaatkan instrumen keluarga.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memberikan karpet merah pada Gibran yang umurnya belum genap 40 tahun (36 tahun), yang pada akhirnya membuat Gibran dapat melenggang menjadi Wapres pendamping Prabowo Subianto dengan mudah. Ia diloloskan pamannya yang mengubah ambang batas usia bahwa Gibran tetap bisa mencalonkan menjadi cawapres dengan pertimbangan bahwa Gibran berpengalaman pernah menjadi pemimpin Kota Solo.
Tak sampai situ, untuk mewujudkan dinasti keluarga ini, Jokowi bahkan tak malu mengizinkan anak dan menantunya agar dapat bersama-sama membangun dinasti politiknya. Selain Gibran, ada Kaesang Pangarep yang juga dapat dengan mudah menjadi Ketum PSI tanpa melalui proses pengkaderan. Saat ini Kaesang bahkan tercatat ingin maju ke Pilkada DKI. Belum lagi menantu Jokowi, Bobby Nasution yang mencalonkan diri di Pilkada Sumatera utara.
Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa sebetulnya ada ketidaksesuaian antara apa yang diucapkan Jokowi dengan yang telah dilakukannya. Jokowi telah menelan ludahnya sendiri dan justru membangun dinasi politik keluarganya di negeri ini.
Dengan begitu, dinasti politik ini tampaknya akan benar-benar terjadi. Jokowi seakan ingin tetap memperluas kekuasaannya meskipun nantinya ia tak lagi menjadi presiden. Jokowi dengan citranya yang pendiam itu seakan memiliki 'pisau' tajam di dalam dirinya.
Ia, dengan demikian juga berhasil mendapatkan rapor merah dalam 1 dekade kepemimpinannya.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Telkom
Peneliti Media dan Jurnalisme
"JIKA ingin melihat siapa dia sebenarnya, berilah dia sebuah tahta" (Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16).
Dahulu hanya pengusaha mebel, sekarang ia adalah penghuni Istana. Joko Widodo, dengan gaya sederhananya mampu memenangkan pemilihan Wali Kota Surakarta selama dua periode. Tak sampai situ, ia juga sukses menjadi Gubernur DKI Jakarta dari tahun 2012 hingga 2014. Banyak yang menilai Jokowi terkesan sederhana. Namun justru dengan kesederhanaannya itulah, Jokowi mampu menjadi sosok petinggi negeri ini.
Penelitian Ross Tapsell berjudul Indonesia's Media Oligarchy and the Jokowi Phenomenonmenjelaskan bahwa gaya blusukan Jokowi yang dimulai dari Solo hingga Jakarta telah berhasil menjadikannya terlihat sebagai pemimpin yang merakyat. Jokowi bahkan tak sungkan masuk ke gorong-gorong dan gang sempit sekali pun agar dapat dicitrakan sebagai pemimpin yang sederhana.
Dari karakternya itu, Joko Widodo lalu menjelma sebagai pemimpin yang merakyat dan dianggap sebagai antitesa pemimpin yang harus menjaga jarak dengan publiknya.
Latar belakangnya yang kontras dengan lawan politiknya, seperti Prabowo Subianto lantas sukses membawanya untuk menjadi Presiden Republik Indonesia selama dua periode (2014-2019) dan (2019-2024). Sebagai antitesis Prabowo, Jokowi dianggap mampu memberikan jawaban bagi Indonesia yang dibayang-bayangi Orde Baru yang anti-kritik dan otoriter.
Bapak Infrastruktur dan Awal Kepemimpinan Jokowi
Kita tak dapat menutup mata bahwa ada prestasi yang berhasil dituai Jokowi pada masa awal kepemimpinannya. Semenjak keterpilihannya sebagai Presiden RI dari 2014 silam hingga saat ini atau 1 (satu) dekade memimpin, Jokowi membawa banyak perubahan, khususnya dalam hal pembangunan dan infrastruktur. Setidaknya, sejak 2014-2023, terdapat pembangunan jalan tol yang panjangnya hingga 1.713,83 km. Hal inilah yang membuat Jokowi banyak disebut-sebut sebagai 'Bapak Infrastruktur'.Selain itu, Jokowi juga dalam kerjanya mendapat banyak pujian. Dalam hal ekonomi, GDP Indonesia berada pada angka stabil sebesar 5% (2014-2024). Karena itu, soal ini tak berlebihan bila kita sepakat bahwa Presiden Joko Widodo berhasil membangun banyak infrastruktur dan menggaet investor dalam pembangunan. Namun, ambisi dan warisan utama Jokowi dalam bidang itu nyatanya tak selalu berakhir baik.
Rapor Merah Kepemimpinan Jokowi
Ungkapan di awal kalimat tulisan ini nampaknya begitu relevan untuk memberikan rapor merah Jokowi dalam memimpin Indonesia 1 dekade ke belakang. Abraham Lincoln (mantan presiden Amerika Serikat) dalam perkataannya pernah menyebut bahwa: "Jika ingin melihat siapa dia sebenarnya, berilah dia sebuah tahta".Ungkapan itu memang relevan ditujukan kepada Jokowi karena pada tahun-tahun kerjanya sebagai pemimpin, Jokowi banyak membuat rapor merah untuk dirinya sendiri.
Setidaknya ada beberapa isu sentral yang menjadikan Jokowi gagal sebagai presiden dalam memimpin Indonesia.
Misalnya saja mengenai isu cipta kerja, pelemahan KPK, pelanggaran HAM, kontroversi pemindahan IKN, hingga dinasti politik pada pemilu 2024.
Cipta Kerja dan Lemahnya Keterbukaan Informasi pada Publik
Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) adalah regulasi yang pertama kali diucapkan Presiden Jokowi dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2019 lalu. Saat itu, ia menyebut regulasi di Tanah Air terlalu tumpang tindih, sehingga diperlukannya undang-undang untuk mengatasi persoalan itu.Namun, penyelesaian undang-undang yang dilakukan secara kilat, banyak merugikan para buruh serta serikat pekerja. Tak hanya itu, dalam keterbukaannya pada publik, omnibus law ini begitu tak transparan dan tidak mendengarkan masukan dari banyak pihak. Upaya protes masif dari publik nyatanya tak didengarkan. Karena tepat satu tahun setelah janji Jokowi itu, UU Ciptaker telah sah diberlakukan oleh DPR.
Upaya Pelemahan KPK
Adanya revisi UU KPK pada 2019 juga turut mencederai kinerja Jokowi dalam 1 dekade kepemimpinannya. Alih-alih menguatkan KPK sebagai lembaga negara independen, Jokowi justru melemahkan lembaga itu. Berbagai macam upaya pun akhirnya dilakukan, seperti kasus Novel Baswedan yang mengalami penyiraman air keras hingga upaya revisi terhadap Undang-Undang KPK.Upaya kotor ini tak ayal membuat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2023 mengalami kemunduran.
Sumber: Databoks, 2024
Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada 2022 tercatat 34 dan berada di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini memburuk empat poin dari tahun 2021 yang berada pada skor 38. Sedangkan pada tahun 2023 berada pada angka yang stagnan. Dalam arti lain, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sedang berada pada titik terendah dalam 10 tahun terakhir, sehingga tak ayal bahwa adanya pelemahan unsur lembaga negara KPK akhirnya membuat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia mengalami kemunduran.
Masifnya Demonstrasi dan Pasal Karet UU ITE
Banyaknya demonstrasi yang dilakukan publik adalah contoh nyata pula bagaimana Jokowi gagal dalam memimpin dan mengondisikan aparat kepolisian. Berbagai upaya demonstrasi tak sedikit digagalkan dengan cara dan aksi kekerasan.Data Amnesty selama 2019 hingga 2022 menyebut setidaknya terdapat 328 kasus melibatkan serangan fisik dan/atau digital dengan korban yang mencakup pembela HAM, aktivis, jurnalis, hingga demontran dan mahasiswa.
Kasus besar seperti Proyek Strategis Nasional (PSN) yang merupakan warisan Jokowi tak ayal juga menimbulkan kontroversi dan memancing amarah publik.
Misal saja yang terjadi pada PSN di Wadas, yang terletak di Kabupaten Purworejo. Proyek ambisius ini memang tercatat masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) Jokowi-Amin yang berguna untuk pembangunan Bendungan Bener, Purworejo, Jawa Tengah.
Yang menjadi persoalan ialah PSN Wadas dilancarkan dengan penggunaan aksi kekerasan kepada warga kecil yang terdampak. Ini adalah satu contoh kecil. Jokowi mengerahkan seluruh aparat kepolisiannya agar dapat mewujudkan proyek ambisius tersebut.
Belum lagi mengenai Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang turut digunakan untuk memenjarakan orang-orang yang mengekspresikan hak berpendapat.
Salah satu kasus yang mengemuka adalah yang menjerat dua aktivis, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang diadili lantaran dituduh mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan berdasarkan pasal karet UU ITE.
Meski Haris dan Fatia pada akhirnya divonis bebas di persidangan, kasus ini telah menyoroti kekhawatiran soal kebebasan berekspresi.
Alhasil, dengan berdasar pada dua contoh kecil di atas, Indeks Demokrasi Indonesia masih belum pulih. Hal itu terlihat dari sejumlah indikator mengenai kondisi demokrasi di Indonesia, misalnya Freedom House yang menyebut bahwa demokrasi Indonesia masih belum bebas. Bahkan The Economist Intelligence Unit masih mengkategorikan Indonesia sebagai negara dengan 'demokrasi cacat'. Data-data tersebut mencatat demokrasi kita cenderung rendah karena adanya ancaman terhadap kebebasan sipil.
Dalam jurnal penelitian berjudul Power Consolidation and its Impact on the Decline of Democracy in Indonesia Under President Jokowi, indeks demokrasi Indonesia menurun disebabkan karena rezim jokowi cenderung mengintimidasi dan menangkap orang-orang yang berani mengkritik pemerintahan Jokowi.
Dengan demikian, Jokowi dahulu dan sekarang adalah seorang yang berbeda. Jika dahulu, ia cenderung simpatik dan menggunakan politik pencitraan dengan figur yang sederhana, merakyat dan mewakili suara wong cilik, yang terjadi sekarang ialah ia justru sangat otoriter dan anti-kritik.
Kalau sudah seperti ini, janji Jokowi dan mimpi Indonesia yang tak ingin disamakan dengan Orde Baru hanyalah sebuah angan dan mimpi semata. Jokowi sendirilah yang menghancurkan mimpi itu.
Jokowi dan Ambisi Pemindahan Ibu Kota
Isu pemindahan Ibu Kota adalah rapor merah lain dalam 1 dekade kepemimpinan Jokowi. Ide pemindahan ini diinisiasi oleh Jokowi pada 2019 lalu yang ingin memindahkan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.Persoalan yang muncul ialah landasan hukum undang-undang pemindahan ibu kota dilakukan hanya dalam beberapa waktu dan dikebut dengan tanpa mendengarkan aspirasi dan dialog publik. Menurut Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), UU Ibu Kota Nusantara (IKN) disahkan hanya dalam waktu kurang dari dua pekan sejak tim panitia khusus pembahas RUU dibentuk di DPR.
Ambisi Jokowi dalam pemindahan ibu kota ke Penajam Paser Utara hanya dilandaskan pada alasan klasik seperti banjir dan pemerataan penduduk. Namun Jokowi sebetulnya tak terlalu memperdulikan hak masyarakat adat yang pada akhirnya terberengus.
Menurut Alwaton (2023) dalam jurnal penelitiannya, pemindahan IKN justru akan banyak mendapatkan penolakan dan kritikan baik dari akademisi, NGO hingga masyarakat adat dan lokal setempat yang terdampak langsung.
Penolakan yang disebut-sebut misalnya mengenai Pulau Kalimantan yang sedari dulu merupakan paru-paru dunia. Apabila ruang hijau ini digunakan secara serampangan, bukan tak mungkin akan banyak menimbulkan masalah yang berkaitan dengan flora dan fauna setempat hingga masyarakat lokal itu sendiri.
Walhi pun menilai pembangunan IKN akan merusak lingkungan di sekitar Penajam Paser Utara. Contohnya saja mengenai pencemaran dan kerusakan lingkungan.
Maka tak berlebihan apabila banyak pula anggapan yang menyatakan bahwa megaproyek ini justru akan mengancam penduduk asli sekitar seperti yang terjadi langsung pada warga sekitar Sungai Sepaku yang dijadikan pembangunan untuk memasok air baku ke IKN.
Persoalan lain yang menjadi perdebatan adalah tentang investor IKN yang masih sepi. Untuk mewujudkan pemindahan ambisius Jokowi itu, pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp96 triliun dari APBN dari jumlah total dana Rp480 triliun. Ini artinya ada Rp384 triliun sisanya yang harus didanai oleh investor. Namun lagi-lagi, dana investor nyatanya masih mandek. Pertanyaan yang kemudian muncul ialah, sumber pendanaan mana lagi yang harus pemerintah cari untuk membangun IKN?
Dengan demikian mimpi Jokowi ingin menyelesaikan masa jabatannya di IKN pun masih abu-abu.
Dinasti Politik Jokowi
Pada 30 Oktober 2023 lalu Jokowi pernah berjanji untuk netral di Pilpres 2024. Presiden ke-7 RI ini bahkan berulang kali menegaskan bahwa ia akan bersikap netral. Tak sebatas itu, instruksi netral selama pemilu disampaikannya untuk para pemimpin daerah, aparatur sipil negara, hingga personel TNI-Polri.Sikap netral itu kembali disampaikannya untuk menjawab suara publik yang ingin Jokowi netral, seperti saat Jokowi makan siang bersama ketiga bakal capres, yakni Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Prabowo Subianto di Istana Negara.
Namun yang terjadi Jokowi justru meruntuhkan sikap netralnya itu dan jelas-jelas membangun dinasti politik yang melanggar etika. Tragisnya, trah dinasti politik Jokowi ini dibentuk dengan cara-cara yang tidak etis dengan memanfaatkan instrumen keluarga.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman memberikan karpet merah pada Gibran yang umurnya belum genap 40 tahun (36 tahun), yang pada akhirnya membuat Gibran dapat melenggang menjadi Wapres pendamping Prabowo Subianto dengan mudah. Ia diloloskan pamannya yang mengubah ambang batas usia bahwa Gibran tetap bisa mencalonkan menjadi cawapres dengan pertimbangan bahwa Gibran berpengalaman pernah menjadi pemimpin Kota Solo.
Tak sampai situ, untuk mewujudkan dinasti keluarga ini, Jokowi bahkan tak malu mengizinkan anak dan menantunya agar dapat bersama-sama membangun dinasti politiknya. Selain Gibran, ada Kaesang Pangarep yang juga dapat dengan mudah menjadi Ketum PSI tanpa melalui proses pengkaderan. Saat ini Kaesang bahkan tercatat ingin maju ke Pilkada DKI. Belum lagi menantu Jokowi, Bobby Nasution yang mencalonkan diri di Pilkada Sumatera utara.
Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa sebetulnya ada ketidaksesuaian antara apa yang diucapkan Jokowi dengan yang telah dilakukannya. Jokowi telah menelan ludahnya sendiri dan justru membangun dinasi politik keluarganya di negeri ini.
Dengan begitu, dinasti politik ini tampaknya akan benar-benar terjadi. Jokowi seakan ingin tetap memperluas kekuasaannya meskipun nantinya ia tak lagi menjadi presiden. Jokowi dengan citranya yang pendiam itu seakan memiliki 'pisau' tajam di dalam dirinya.
Ia, dengan demikian juga berhasil mendapatkan rapor merah dalam 1 dekade kepemimpinannya.
(abd)