Pakar Hukum Energi Dorong Pembahasan RUU Ebet Transparan
Senin, 05 Agustus 2024 - 20:12 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep) Bisman Bachtiar menilai, skema power wheeling tidak dapat masuk dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU Ebet) . Hal ini karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan menyoroti pembahasannya yang tidak transparan.
"Ada beberapa hal dalam RUU EBET yang berisiko memberikan dampak negatif bagi negara dan masyarakat karena bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945," kata Bisman Bachtiar, Senin (5/8/2024).
"Pasal tersebut mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara," tambahnya.
Dalam Pasal 33 itu, paparnya, sektor ketenagalistrikan masih dianggap sebagai salah satu cabang produksi yang dikuasai negara.
Bahkan kata dia, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menegaskan hal itu dan menolak klausul power wheeling yang sempat masuk dalam dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20/2002, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
"UU Nomor 20 tersebut dianggap telah mereduksi makna dikuasai oleh negara untuk cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana dimaksud Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945," jelasnya.
"Dengan demikian, usaha ketenagalistrikan harus dikuasai negara dengan cara mengelola, mengatur, mengambil kebijakan, mengurus hingga memberikan pengawasan," sambung Bisman.
Selain itu, paparnya, pemerintah dan DPR juga harus menjamin prinsip-prinsip bernegara menjadi pegangan utama pembahasan RUU Ebet. DPR dan pemerintah harus menjamin azas-azas transparansi keterbukaan, demokrasi dan partisipasi publik, serta berjalannya proses pembentukan UU Ebet.
"Ada beberapa hal dalam RUU EBET yang berisiko memberikan dampak negatif bagi negara dan masyarakat karena bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945," kata Bisman Bachtiar, Senin (5/8/2024).
"Pasal tersebut mengamanatkan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara," tambahnya.
Dalam Pasal 33 itu, paparnya, sektor ketenagalistrikan masih dianggap sebagai salah satu cabang produksi yang dikuasai negara.
Bahkan kata dia, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menegaskan hal itu dan menolak klausul power wheeling yang sempat masuk dalam dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20/2002, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
"UU Nomor 20 tersebut dianggap telah mereduksi makna dikuasai oleh negara untuk cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana dimaksud Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945," jelasnya.
"Dengan demikian, usaha ketenagalistrikan harus dikuasai negara dengan cara mengelola, mengatur, mengambil kebijakan, mengurus hingga memberikan pengawasan," sambung Bisman.
Selain itu, paparnya, pemerintah dan DPR juga harus menjamin prinsip-prinsip bernegara menjadi pegangan utama pembahasan RUU Ebet. DPR dan pemerintah harus menjamin azas-azas transparansi keterbukaan, demokrasi dan partisipasi publik, serta berjalannya proses pembentukan UU Ebet.
tulis komentar anda