Aspek Hukum tentang Kerugian Negara dalam UU Tipikor
Minggu, 07 Juli 2024 - 18:56 WIB
Perubahan /pergeseran tanggung jawab tersebut khusus ditujukan terhadap penyelenggara negara yang diduga telah menyalahgunakan kewenangan karena kedudukan dan jabatannya yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Di dalam praktik peradilan tindak pidana korupsi, telah terbukti bahwa Mahkamah Agung dan hakim di jajaran kekuasaan kehakiman, berpihak pada yurisprudensi MA aquo tanpa mempertimbangkan lagi eksistensi putusan MKRI terkait sifat melawan hukum dari suatu dakwaan tindak pidana korupsi.
Dari sisi teori sistem hukum yang dikenal sejak lama, sistem hukum Indonesia temasuk sistem hukum Civil Law sebagai warisan pemerintahan kolonial Belanda dan masih dianut sampai saat ini, sekalipun telah terjadi beberapa perubahan terhadap KUHP 1946 dan pergantian KUHP Belanda kepada KUHP dan KUHAP yang baru/nasional. Yurisprudensi yang dianut sepenuhnya dalam sistem hukum Common Law, merupakan kebiasaan praktik peradilan yang mewajibkan pengadilan selanjutnya mengikuti putusan pengadilan dalam perkara yang mirip sama dan telah diputus terdahulu (asas precedent). Namun demikian, sistem (hukum) ketatanegaraan UUD 1945 dan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 Ayat (1): Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh atau erga omnes, yakni setiap lembaga negara termasuk eksekutif, legislatif, dan yudikatif wajib tunduk dan mematuhinya.
Sampai saat ini belum terdapat solusi hukum yang dapat mencerminkan kepastian hukum dalam peradilan tindak pidana tipikor di Pengadilan Tipikor sehingga masih jauh dari tercapainya tujuan keadilan apalagi kemanfataannya baik bagi pribadi indidivu, masyarakat, juga bagi bangsa dan negara. Seperti contoh perkara tipikor yang melibatkan proyek-proyek infrastruktur dengan nilai triliunan rupiah, berdampak terhadap stagnasi efisiensi dana APBN yang disediakan untuk pembangunan infrastruktur dan yang pasti meluapnya kuantitas hunian lapas dengan segala ekses negatifnya serta kemandekan pembangunan proyek-proyek strategis.
Dampak negatif peradilan perkara korupsi juga terjadi dalam baik nilai kuantitas dan kualitas pemasukan/pengembalian keuangan negara yang berhasil diselamatkan dibandingkan dengan biaya proses pemeriksaan perkara korupsi sejak proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai pada persidangan yang memakan waktu paling cepat 6 (enam) bulan dan paling lambat 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) tahun.
Masa depan pemberantasan korupsi sangat tergantung bukan hanya pada integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas aparatur penegak hukum, akan tetapi juga tergantung dari niat baik dan kesungguhan sikap dan kebijakan serta langkah tindakan seluruh penyelenggara negara termasuk elite eksekutif, legislatif, dan lembaga kekuasaan kehakiman itu sendiri. Tanpa hal-hal tersebut, mimpi Indonesia Emas Tahun 2045 tidak akan dapat diwujudkan.
Dari sisi teori sistem hukum yang dikenal sejak lama, sistem hukum Indonesia temasuk sistem hukum Civil Law sebagai warisan pemerintahan kolonial Belanda dan masih dianut sampai saat ini, sekalipun telah terjadi beberapa perubahan terhadap KUHP 1946 dan pergantian KUHP Belanda kepada KUHP dan KUHAP yang baru/nasional. Yurisprudensi yang dianut sepenuhnya dalam sistem hukum Common Law, merupakan kebiasaan praktik peradilan yang mewajibkan pengadilan selanjutnya mengikuti putusan pengadilan dalam perkara yang mirip sama dan telah diputus terdahulu (asas precedent). Namun demikian, sistem (hukum) ketatanegaraan UUD 1945 dan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 Ayat (1): Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh atau erga omnes, yakni setiap lembaga negara termasuk eksekutif, legislatif, dan yudikatif wajib tunduk dan mematuhinya.
Sampai saat ini belum terdapat solusi hukum yang dapat mencerminkan kepastian hukum dalam peradilan tindak pidana tipikor di Pengadilan Tipikor sehingga masih jauh dari tercapainya tujuan keadilan apalagi kemanfataannya baik bagi pribadi indidivu, masyarakat, juga bagi bangsa dan negara. Seperti contoh perkara tipikor yang melibatkan proyek-proyek infrastruktur dengan nilai triliunan rupiah, berdampak terhadap stagnasi efisiensi dana APBN yang disediakan untuk pembangunan infrastruktur dan yang pasti meluapnya kuantitas hunian lapas dengan segala ekses negatifnya serta kemandekan pembangunan proyek-proyek strategis.
Dampak negatif peradilan perkara korupsi juga terjadi dalam baik nilai kuantitas dan kualitas pemasukan/pengembalian keuangan negara yang berhasil diselamatkan dibandingkan dengan biaya proses pemeriksaan perkara korupsi sejak proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai pada persidangan yang memakan waktu paling cepat 6 (enam) bulan dan paling lambat 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) tahun.
Masa depan pemberantasan korupsi sangat tergantung bukan hanya pada integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas aparatur penegak hukum, akan tetapi juga tergantung dari niat baik dan kesungguhan sikap dan kebijakan serta langkah tindakan seluruh penyelenggara negara termasuk elite eksekutif, legislatif, dan lembaga kekuasaan kehakiman itu sendiri. Tanpa hal-hal tersebut, mimpi Indonesia Emas Tahun 2045 tidak akan dapat diwujudkan.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda