Berdamai dengan Hati, Mengelola Kesehatan Mental Remaja

Kamis, 04 Juli 2024 - 05:30 WIB
Khusus orang tua, perlu pula meluangkan waktu lebih banyak untuk anaknya (remaja) agar anak dapat menceritakan situasi, kondisi, atau peristiwa yang sang anak alami selama berada di sekolah maupun lingkungan sekitarnya. Asel – melalui sosok Mahira – memberikan pesan kuat yaitu orang tua tak boleh sekadar menuntut atau menjadikan anak sebagai mesin pendulang nilai akademik dan/atau prestasi lainnya, tanpa memerhatikan situasi batin (hati) sang anak.

Saya pun teringat penggalan puisi Kahlil Gibran: Anakmu Bukanlah Anakmu/Mereka putera-puteri Kehidupan yang damba kehidupan itu sendiri/Mereka datang melaluimu namun bukan darimu/Dan meski mereka bersamamu, mereka bukan milikmu.

Kau boleh memberi mereka cinta tapi bukan pikiranmu/Sebab, mereka memiliki pikiran sendiri/Kau bisa memberi tempat bagi raga tapi tidak bagi jiwa mereka/Sebab, jiwa mereka hidup di rumah esok yang takkan mampu kau singgahi sekalipun dalam mimpi/Kau boleh berupaya untuk menjadi seperti mereka namun jangan pernah berupaya menjadikan mereka seperti dirimu/Sebab, hidup tak berjalan mundur atau tinggal di masa silam.

Kau adalah busur yang melesatkan anak-anakmu, sebagai anak panah kehidupan yang meluncur ke masa depan/Lengkung busur itu mencari tanda di atas jalan lurus yang tak berujung, dan Dia melengkungkanmu dengan daya-Nya agar anak-anak panah melesat cepat dan jauh.

Kembali ke novel “Rindu Tak Ada Ujung” karya Asel. Ada secuil catatan kecil yang kiranya bisa diperbaiki oleh penerbit/editor novel ini ke depan bila novel ini diterbitkan ulang (cetakan berikutnya). Di antaranya, bahasa cakapan sebaiknya perlu ditulis miring (italic), jika memungkinkan. Contohnya kata “gak”. Kata “gak” pun bisa diedit dengan merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) menjadi “enggak”. Kata atau kalimat berhasa Inggris juga sebaiknya dapat ditulis miring (italic).

Berikutnya, saya menyarankan pula, agar penerbit bersama Asel dapat terus menggemakan pesan dan nilai yang terkandung dalam novel ini serta terus melakukan upaya kampanye “stop bullying” atau “hentikan perundungan”. Satu di antara caranya adalah melakukan roadshow bedah novel di sekolah-sekolah. Paling tidak, jika roadshow bedah novel ini dimungkinkan dan memungkinkan.

Balik lagi ke judul novel ini yaitu “Rindu Tak Ada Ujung”. Pembaca akan menemukan alasan mengapa Acidalia El Muqiit Kantiana S. Patramijaya (Asel) memberikan judul demikian. Menurut Mahira, rindu untuk memiliki dunia yang damai (tanpa perundungan) tak boleh berakhir.

baca juga: Buku dan Kertas Berlalu

Teruslah merindu. Rindu yang tak ada ujungnya. Rindu yang tak terlihat akhirnya di mana, kapan, atau bagaimana. “Pesan yang mau aku sampaikan ialah teruslah rindu untuk sampai pada dunia yang penuh kedamaian dan kebaikan,” kata Mahira (hal 220).

Mahira yang telah bertambah usia 20 tahun (dari sebelumnya masa SMP), berujar, kerinduan itu tak boleh berujung. Mengapa? Agar setiap hati selalu berjuang untuk menemukan cara melawan egonya. Bagi Mahira, orang yang di-bully harus menciptakan imunnya sendiri untuk bangkit dan menjadi hebat.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More