Pengalaman Ketakutan Akan Ketertinggalan Momen bagi Gen-Z
Senin, 01 Juli 2024 - 12:28 WIB
Selain faktor internal, tentunya terdapat juga faktor eksternal yang menjadi pemicu seseorang mengalami FoMO. Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Media sosial. Media sosial memiliki peran penting dengan perasaan ketakutan akan ketertinggalan momen. Kehadiran media sosial semakin memperkuat perasaan takut ketinggalan dikarenakan adanya kebutuhan dan keinginan untuk mengetahui apa saja yang dilakukan oleh orang lain (Abel et al., 2016).
2. Kelompok teman sebaya. Lingkungan sekitar juga berpengaruh terhadap perasaan FoMO. Adanya pengaruh serta ajakan dari teman sebaya, serta terpaan teknologi yang mengharuskan seseorang untuk bergabung menjadi pengguna internet dan media sosial yang mengakibatkan seseorang dapat mengalami kecanduan internet dan media sosial.
Birla menjelaskan bahwa dampak dari perasaan FoMO dapat memicu ketidakpuasan yang ekstrem dan berakibat buruk pada kesehatan fisik serta mental (Rosida et al., 2022). Hal lainnya yang disebabkan oleh FoMO adalah perubahan nuansa hati yang signifikan, kesepian, perasaan rendah diri, merasa tak memiliki harga diri, kecemasan dalam bersosial, dan meningkatkan resiko depresi dalam diri.
Istilah FoMO semakin populer dikarenakan adanya media sosial, seseorang yang mengalami FoMO lebih beresiko merasakan stres yang mendalam serta perasaan cemas ketika tidak dapat terkoneksi dengan media sosial. Adanya media sosial juga menjadi sarana untuk penyebaran fenomena FoMO.
Pada media sosial, setiap orang dapat menampilkan versi terbaik dari kehidupannya yang besar kemungkinan dapat membuat orang lain merasa terpojok sehingga mengalami perasaan FoMO karena menganggap kehidupan orang lain lebih indah daripada kehidupannya.
Penelitian lainnya menyebutkan bahwa pemicu FoMO pada seseorang ialah karena tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis, khususnya kedekatan pada orang lain. Minimnya rasa terbuka dan kedekatan seseorang terhadap orang lain ataupun kehidupan sosial, menyebabkan seseorang lebih sering mengonsumsi dan melihat kehidupan orang lain di media sosial agar tak merasa tertinggal (Nadzirah et al., 2022).
Pada artikel Nir and Far (Nir, 2023) bertajuk Getting Over FoMO, the Fear of Missing Out (2023) menuliskan bagaimana caranya keluar dari belenggu perasaan FoMO. Cara pertama adalah yakinkan bahwa tak apa jika tak selalu mengetahui kegiatan orang lain, nikmati saja jika memang tertinggal dari orang lain dan tak ada yang salah dengan itu.
Maka dari itu ada istilah yang berlawanan dengan FoMO yaitu JoMO (Joy of Missing Out) atau kebahagiaan dari ketidakikutsertaan. Hal selanjutnya adalah mengurangi akses penggunaan media sosial, banyak aktivitas lain yang bisa dilakukan selain bermain media sosial seperti membaca buku, menghabiskan waktu dengan teman atau keluarga, hal tersebut dapat membuat hati lebih tenang daripada harus selalu berkutat dengan media sosial.
Hasil penelitian Zahwa & Ayuningtyas (2024), salah satu budaya dari negara lain yang hingga saat ini masih populer khususnya di Indonesia adalah Korean Wave atau dikenal dengan istilah “Hallyu”. Gelombang Korea atau Hallyu merupakan sebuah sebutan yang digunakan untuk menggambarkan penyebaran budaya Korea Selatan yang populer ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (Putri et al., 2019).
1. Media sosial. Media sosial memiliki peran penting dengan perasaan ketakutan akan ketertinggalan momen. Kehadiran media sosial semakin memperkuat perasaan takut ketinggalan dikarenakan adanya kebutuhan dan keinginan untuk mengetahui apa saja yang dilakukan oleh orang lain (Abel et al., 2016).
2. Kelompok teman sebaya. Lingkungan sekitar juga berpengaruh terhadap perasaan FoMO. Adanya pengaruh serta ajakan dari teman sebaya, serta terpaan teknologi yang mengharuskan seseorang untuk bergabung menjadi pengguna internet dan media sosial yang mengakibatkan seseorang dapat mengalami kecanduan internet dan media sosial.
Birla menjelaskan bahwa dampak dari perasaan FoMO dapat memicu ketidakpuasan yang ekstrem dan berakibat buruk pada kesehatan fisik serta mental (Rosida et al., 2022). Hal lainnya yang disebabkan oleh FoMO adalah perubahan nuansa hati yang signifikan, kesepian, perasaan rendah diri, merasa tak memiliki harga diri, kecemasan dalam bersosial, dan meningkatkan resiko depresi dalam diri.
Istilah FoMO semakin populer dikarenakan adanya media sosial, seseorang yang mengalami FoMO lebih beresiko merasakan stres yang mendalam serta perasaan cemas ketika tidak dapat terkoneksi dengan media sosial. Adanya media sosial juga menjadi sarana untuk penyebaran fenomena FoMO.
Pada media sosial, setiap orang dapat menampilkan versi terbaik dari kehidupannya yang besar kemungkinan dapat membuat orang lain merasa terpojok sehingga mengalami perasaan FoMO karena menganggap kehidupan orang lain lebih indah daripada kehidupannya.
Penelitian lainnya menyebutkan bahwa pemicu FoMO pada seseorang ialah karena tidak terpenuhinya kebutuhan psikologis, khususnya kedekatan pada orang lain. Minimnya rasa terbuka dan kedekatan seseorang terhadap orang lain ataupun kehidupan sosial, menyebabkan seseorang lebih sering mengonsumsi dan melihat kehidupan orang lain di media sosial agar tak merasa tertinggal (Nadzirah et al., 2022).
Pada artikel Nir and Far (Nir, 2023) bertajuk Getting Over FoMO, the Fear of Missing Out (2023) menuliskan bagaimana caranya keluar dari belenggu perasaan FoMO. Cara pertama adalah yakinkan bahwa tak apa jika tak selalu mengetahui kegiatan orang lain, nikmati saja jika memang tertinggal dari orang lain dan tak ada yang salah dengan itu.
Maka dari itu ada istilah yang berlawanan dengan FoMO yaitu JoMO (Joy of Missing Out) atau kebahagiaan dari ketidakikutsertaan. Hal selanjutnya adalah mengurangi akses penggunaan media sosial, banyak aktivitas lain yang bisa dilakukan selain bermain media sosial seperti membaca buku, menghabiskan waktu dengan teman atau keluarga, hal tersebut dapat membuat hati lebih tenang daripada harus selalu berkutat dengan media sosial.
Hasil penelitian Zahwa & Ayuningtyas (2024), salah satu budaya dari negara lain yang hingga saat ini masih populer khususnya di Indonesia adalah Korean Wave atau dikenal dengan istilah “Hallyu”. Gelombang Korea atau Hallyu merupakan sebuah sebutan yang digunakan untuk menggambarkan penyebaran budaya Korea Selatan yang populer ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (Putri et al., 2019).
Lihat Juga :
tulis komentar anda