Keselamatan Kerja di Sektor Konstruksi: Tantangan dan Perspektif Indonesia dan Inggris
Selasa, 18 Juni 2024 - 18:27 WIB
Sebagian besar perkembangan desain pekerjaan sementara terjadi di Inggris ketika Jembatan Barton, Jembatan Lodden pada tahun 1960an dan 1970an runtuh selama konstruksi dan pemerintah tergerak untuk menentukan apakah Inggris berada dalam kondisi yang sehat untuk mengelola bengunan sementara. Kegagalan besar yang berkait dengan temporary works di Inggris hampir menghilang sejak BS 5975 diterbitkan pada tahun 1982. Di Inggris, desain tiang penyangga sementara biasanya sesuai dengan ketentuan persyaratan BS 5975 kecuali penggunaan Eurocode 12811 dan EN 12812 ditetapkan sebagai persyaratan kontrak.
Temporary Works Forum (TWf) dibentuk pada tahun 2009 di Inggris sebagai lembaga independen dan nirlaba perusahaan yang beroperasi pada basis biaya terbatas. Panduan dan perangkat yang berguna serta dokumen panduan dihasilkan oleh TWf yang membahas masalah pekerjaan sementara dan penerapan Eurocodes untuk konstruksi yang lebih aman di Inggris. Prinsip-prinsip perangkat alat yang dihasilkan oleh TWf ini dapat diterapkan di seluruh dunia.
ILO mengemukakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sangat bervariasi tergantung pada kondisi di setiap negara, yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan sosial. Terutama di negara-negara berkembang, angka kematian dan cedera akibat kecelakaan kerja cenderung tinggi. Namun, ada beberapa negara industri yang berhasil menurunkan angka cedera serius yang mencerminkan keberhasilan dari upaya-upaya perbaikan dalam hal K3, seperti Negara Inggris atau United Kingdom (UK).
ILO menekankan pentingnya menerapkan budaya K3 sebagai strategi global untuk pengelolaan K3 di seluruh dunia. Dalam makalah yang berjudul "Creating A Safety Culture" yang disusun oleh Jane Ardern, disebutkan bahwa ada tiga faktor utama yang membentuk budaya K3, yaitu sikap, lingkungan, dan sistem. Faktor-faktor ini menjadi landasan penting dalam membangun kesadaran akan pentingnya K3 di tempat kerja serta mendorong implementasi praktik-praktik yang aman dan bertanggung jawab.
Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi di Indonesia bersifat mandatory yang telah diatur dalam kebijakan pemerintah, yakni Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dalam Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2012 dalam rangka mengendalikan risiko keselamatan konstruksi dengan elemen yang mesti diterapkan: Komitmen dan Kebijakan, Perencanaan, dan Penerapan.
Di Indonesia, terdapat beragam peraturan yang saling melengkapi satu sama lain dalam menciptakan ekosistem keselamatan kerja yang holistik. Dimulai dari Pengaturan Keselamatan Kerja di Bidang Konstruksi yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Berbagai aturan tersebut melibatkan banyak elemen untuk bisa menciptakan kondisi kerja yang aman dan sehat. Seperti halnya pelaksanaan Konstruksi Berkelanjutan yang merupakan prinsip fundamental dalam membangun bangunan gedung dan/atau bangunan sipil yang mematuhi prinsip berkelanjutan, siklus hidup, dan sumber daya dengan tiga pilar utama: 1) Secara ekonomi layak dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat jasa konstruksi; 2) Menjaga pelestarian lingkungan; dan 3) Mengurangi disparitas sosial masyarakat jasa konstruksi. Dengan adanya prinsip Konstruksi Berkelanjutan, penyelenggara jasa usaha tentunya memiliki kewajiban untuk membangun suatu bangunan dengan basis standar yang solid dan prinsip ini diimplementasikan melalui: 1) Perencanaan umum; 2) Pemrograman; 3) Pelaksanaan konsultasi konstruksi; dan 4) Pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
Dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, pengguna jasa dan penyedia jasa yang bersangkutan juga wajib melaksanakan Pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (“SMKK”) untuk memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan yang berlaku dengan memastikan keselamatan aspek-aspek tertentu dimulai dari aspek keselamatan keteknikan konstruksi, keselamatan publik, hingga keselamatan lingkungan.
Dalam hal perlindungan pekerja/buruh khususnya mereka yang bekerja di ruang terbatas dari potensi bahaya, Indonesia juga telah mengatur hal tersebut melalui Peraturan No. 11 tahun 2023 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Ruang Terbatas (“Permenaker 11/2023”). Ruang terbatas sendiri didefinisikan lokasi yang meliputi: 1) Tangki dan/atau bejana, pesawat uap, dapur/tungku, silo, dan cerobong; 2) Jaringan perpipaan, terowongan, dan konstruksi bawah tanah lainnya yang serupa; 3) Sumur atau lubang yang memiliki bukaan di bagian atasnya dengan kedalaman melebihi 1,5 meter; dan/atau 4) Ruang lain yang dikategorikan sebagai ruang terbatas oleh Pelaku Usaha.
Untuk menjaga keamanan dan keselamatan pekerja, persyaratan K3 untuk ruang terbatas diterapkan berdasarkan enam bidang berikut: 1) Penetapan klasifikasi; 2) Pembatasan akses terhadap ruang terbatas; 3) Izin masuk; 4) Prosedur kerja aman; 5) Peralatan dan perlengkapan; dan 6) Personel K3. Dari upaya tersebut, diharapkan adanya ketentuan protektif bagi para pekerja agar dapat mengetahui tanda-tanda dan/atau limitasi dalam ruang bekerja untuk mencegah kemungkinan terburuk yakni kecelakaan saat bekerja.
Temporary Works Forum (TWf) dibentuk pada tahun 2009 di Inggris sebagai lembaga independen dan nirlaba perusahaan yang beroperasi pada basis biaya terbatas. Panduan dan perangkat yang berguna serta dokumen panduan dihasilkan oleh TWf yang membahas masalah pekerjaan sementara dan penerapan Eurocodes untuk konstruksi yang lebih aman di Inggris. Prinsip-prinsip perangkat alat yang dihasilkan oleh TWf ini dapat diterapkan di seluruh dunia.
ILO mengemukakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sangat bervariasi tergantung pada kondisi di setiap negara, yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan sosial. Terutama di negara-negara berkembang, angka kematian dan cedera akibat kecelakaan kerja cenderung tinggi. Namun, ada beberapa negara industri yang berhasil menurunkan angka cedera serius yang mencerminkan keberhasilan dari upaya-upaya perbaikan dalam hal K3, seperti Negara Inggris atau United Kingdom (UK).
ILO menekankan pentingnya menerapkan budaya K3 sebagai strategi global untuk pengelolaan K3 di seluruh dunia. Dalam makalah yang berjudul "Creating A Safety Culture" yang disusun oleh Jane Ardern, disebutkan bahwa ada tiga faktor utama yang membentuk budaya K3, yaitu sikap, lingkungan, dan sistem. Faktor-faktor ini menjadi landasan penting dalam membangun kesadaran akan pentingnya K3 di tempat kerja serta mendorong implementasi praktik-praktik yang aman dan bertanggung jawab.
Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi di Indonesia bersifat mandatory yang telah diatur dalam kebijakan pemerintah, yakni Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) dalam Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2012 dalam rangka mengendalikan risiko keselamatan konstruksi dengan elemen yang mesti diterapkan: Komitmen dan Kebijakan, Perencanaan, dan Penerapan.
Di Indonesia, terdapat beragam peraturan yang saling melengkapi satu sama lain dalam menciptakan ekosistem keselamatan kerja yang holistik. Dimulai dari Pengaturan Keselamatan Kerja di Bidang Konstruksi yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
Berbagai aturan tersebut melibatkan banyak elemen untuk bisa menciptakan kondisi kerja yang aman dan sehat. Seperti halnya pelaksanaan Konstruksi Berkelanjutan yang merupakan prinsip fundamental dalam membangun bangunan gedung dan/atau bangunan sipil yang mematuhi prinsip berkelanjutan, siklus hidup, dan sumber daya dengan tiga pilar utama: 1) Secara ekonomi layak dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat jasa konstruksi; 2) Menjaga pelestarian lingkungan; dan 3) Mengurangi disparitas sosial masyarakat jasa konstruksi. Dengan adanya prinsip Konstruksi Berkelanjutan, penyelenggara jasa usaha tentunya memiliki kewajiban untuk membangun suatu bangunan dengan basis standar yang solid dan prinsip ini diimplementasikan melalui: 1) Perencanaan umum; 2) Pemrograman; 3) Pelaksanaan konsultasi konstruksi; dan 4) Pelaksanaan pekerjaan konstruksi.
Dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, pengguna jasa dan penyedia jasa yang bersangkutan juga wajib melaksanakan Pelaksanaan Sistem Manajemen Keselamatan Konstruksi (“SMKK”) untuk memenuhi standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan yang berlaku dengan memastikan keselamatan aspek-aspek tertentu dimulai dari aspek keselamatan keteknikan konstruksi, keselamatan publik, hingga keselamatan lingkungan.
Dalam hal perlindungan pekerja/buruh khususnya mereka yang bekerja di ruang terbatas dari potensi bahaya, Indonesia juga telah mengatur hal tersebut melalui Peraturan No. 11 tahun 2023 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Ruang Terbatas (“Permenaker 11/2023”). Ruang terbatas sendiri didefinisikan lokasi yang meliputi: 1) Tangki dan/atau bejana, pesawat uap, dapur/tungku, silo, dan cerobong; 2) Jaringan perpipaan, terowongan, dan konstruksi bawah tanah lainnya yang serupa; 3) Sumur atau lubang yang memiliki bukaan di bagian atasnya dengan kedalaman melebihi 1,5 meter; dan/atau 4) Ruang lain yang dikategorikan sebagai ruang terbatas oleh Pelaku Usaha.
Untuk menjaga keamanan dan keselamatan pekerja, persyaratan K3 untuk ruang terbatas diterapkan berdasarkan enam bidang berikut: 1) Penetapan klasifikasi; 2) Pembatasan akses terhadap ruang terbatas; 3) Izin masuk; 4) Prosedur kerja aman; 5) Peralatan dan perlengkapan; dan 6) Personel K3. Dari upaya tersebut, diharapkan adanya ketentuan protektif bagi para pekerja agar dapat mengetahui tanda-tanda dan/atau limitasi dalam ruang bekerja untuk mencegah kemungkinan terburuk yakni kecelakaan saat bekerja.
Lihat Juga :
tulis komentar anda