P2KB IDI Versus Kerancuan dalam Kerancuan

Selasa, 28 Mei 2024 - 07:01 WIB
P2KB adalah salah satu wilayah otonomi profesi dokter untuk meningkatkan mutu layanan kedokteran. Karena, P2KB sering disebut kewajiban profesi atau kewajiban etik. Profesi yang tahu persis apa kebutuhan P2KB anggotanya. Profesil pula yang membuat, mengevalusi, dan mengembangkan kurikulum dan modul P2KB tersebut. Mereka tidak pernah menyontek atau memplagiat kurikulum dan modul P2KB profesi lain, apalagi milik pemerintah.

Program P2KB bukan sekadar mencukupi nilai SKP, melainkan untuk memantau apakah kelima ranahnya itu telah terpenuhi, sehingga seorang dokter dapat dinyatakan laik atau kompeten melayani masyarakat. Kompeten dalam hal: ilmu, keterampilan, dan perilaku (etik). Perilaku ini sangat penting, sehingga setiap penyelenggaraan P2KB diisyaratkan adanya penyajian etik kedokteran.

Lalu, bagaimana mengetahui bahwa dokter itu masih kompeten dan beretik? Kompeten diketahui melalui verifikasi dan validasi akhir berkas P2KB-nya oleh perhimpunan dan penerbitan Sekom sebagai garansi dari kolegium pengampu ilmu. Terkait dengan soal etik, biasanya ada pernyataan tidak bermasalah secara etik dari komite etik atau majelis kehormatan etik.

Sekalipun P2KB merupakan otonomi profesi dan kewajiban etik, namun kini penyelenggaraannya telah diambil alih kementerian kesehatan, dengan berbekal surat edaran (SE). Walau banyak ahli hukum berpendapat bahwa SE itu tidak memiliki kekuatan hukum, apalagi bila hanya SE Dirjen, tapi itu soal lain.

Kita tidak tahu persis seperti masa depan P2KB di bawah Kementerian Kesehatan. Apa menjadi lebih baik atau justru menemui kemunduran dan kerancuan. Kita juga belum tahu bagaimana Kementerian Kesehatan memperlakukan nilai SKP yang diperoleh dari sebuah kegiatan pembelajaran. Pun belum tahu bagaimana memperlakukan sertifikat yang diperoleh dari pertemuan ilmiah di luar negeri maupun di dalam negeri yang tidak memiliki SKP.

Andai menemui kemajuan tentu sangat baik, namun bila terjadi kemunduran dan kerancuan maka tentu penulis khawatir program P2KB terjebak dengan perbuatan sia-sia, seperti wanita pemintal benang yang terekam di dalam QS. An-Nahl: 92: “Janganlah kamu berbuat seperti wanita pemintal benang ini, yang setelah menenungnya ia mencerai-beraikannya kembali.”

Dalam menyelenggarakan P2KB boleh jadi kementerian kesehatan benar, sebab mereka telah melakukan sesuai SE yang diterbitkannya sendiri. Namun, benar itu tidak serta-merta dapat dikatakan bijak. Karena itu, harapan penulis agar kementerian kesehatan lebih bijak dalam menerapkan P2KB yang dibuatnya.

Bijak karena aturan dan sistem yang dibuatnya tidak justru menyulitkan para dokter yang akan melayani masyarakat. Dan juga bijak karena karena berbiaya mahal dan berbelit-belit. Dan juga sangat bijak bila kelak menemui kemuduran dan kerancuan, mereka dengan sukarela mengembalikan penyelenggaraan P2KB kepada IDI sebagai wilayah otonomi organisasi profesi.

Dan, bagi IDI yang sudah terlanjur dikesankan sebagai penyebab “Tahafut P2KB” (Kerancuan P2KB), maka hendaknya ada yang membuat risalah pembelaan, “Tahafut Al Tahafut” (Kerancuan dalam Kerancuan) untuk mengembalikan harkat dan kehormatannya. Sebagaimana risalah yang pernah dibuat Ibn Rusyd untuk membela Ibu Sina dan Al Farabi. Wallahu ‘alam bissawwab.
(rca)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More