Integrasi Media Baru dan Media Tradisional untuk Komunikasi
Selasa, 02 April 2024 - 19:06 WIB
Di negara-negara Asia yang mayoritas penduduknya sudah akrab dengan teknologi tinggi, seperti Jepang dan Korea Selatan, kekhawatiran bahwa media cetak akan ditinggalkan mulai terasa.
Terlebih di Jepang yang senantiasa berkiblat pada fenomena yang terjadi di Barat, walaupun sebetulnya tingkat sirkulasi media cetaknya sampai saat ini masih luar biasa. Oplah Yomiuri Shimbun misalnya, sekitar 10 juta eksemplar. Namun, menurut Editor Senior Yomiuri Shimbun Akira Fujino, saat ini pemasukan iklan untuk media-media cetak di Jepang umumnya turun 10-20 persen.
Meski demikian, masa depan media cetak di Asia tak bisa disimpulkan secara sederhana karena masing-masing negara memiliki kondisi sosial sekaligus perjalanan sejarah persnya yang unik. Di Indonesia, misalnya, tantangan industri pers sampai tahun 1998 adalah memperjuangkan kebebasan dirinya. Tonggak kebebasan itu ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.
Media ikut berperan dalam penetapan agenda-setting perjalanan demokrasi di Indonesia. Dan, menjaga apa yang telah diraih dalam proses reformasi, seperti: memberi peran yang lebih besar bagi masyarakat madani, mencegah militer kembali ke panggung politik, menjamin proses checks and balances di antara tiga pilar kekuasaan, menjunjung penegakan hukum dan penghormatan pada HAM,semua itu menjadi prioritas utama pers Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi di Korsel dan India. Perjuangan terhadap kebebasan pers di Korsel berpuncak setelah rezim militer tumbang tahun 1992. Sedangkan di India yang sudah lebih lama memiliki tradisi pers yang demokratis, kontribusi media cetak begitu dominan dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, di sejumlah negara di Asia, roh jurnalisme begitu erat dengan pembangunan demokratisasi.
Sehingga, bisa jadi persepsi tentang "ancaman" terhadap industri pers berbeda dari satu negara dengan negara lainnya. Misalnya saja, mengenai penetrasi new media. "Di India, media internet belum mengancam dominasi media cetak. Bahkan, survei nasional mengenai tingkat keterbacaan justru menunjukkan lonjakan signifikan untuk surat kabar-surat kabar India," kata Unni Rajen Shanker, Editor Eksekutif The Indian Express yang berbasis di New Delhi.
Alasannya mungkin lebih kurang sama dengan situasi di Indonesia. Kedua negara ini masih berjuang melawan tingkat buta huruf. Di Indonesia jumlahnya masih sekitar 11 juta orang, dengan usia 15 tahun ke atas. Di India yang penduduknya lebih dari 1 miliar, angkanya lebih tinggi.
Tingkat akses terhadap internet di India maupun Indonesia pun masih rendah. Hanya sekitar 25 juta orang di Indonesia saat ini yang memiliki akses terhadap internet atau sekitar 11 persen dari populasi yang berjumlah 228 juta orang. Dengan kata lain, kalaupun saat ini media cetak dan televisi kondisinya sedang "berdarah-darah", hal itu lebih dikarenakan faktor resesi ekonomi.
Terlebih di Jepang yang senantiasa berkiblat pada fenomena yang terjadi di Barat, walaupun sebetulnya tingkat sirkulasi media cetaknya sampai saat ini masih luar biasa. Oplah Yomiuri Shimbun misalnya, sekitar 10 juta eksemplar. Namun, menurut Editor Senior Yomiuri Shimbun Akira Fujino, saat ini pemasukan iklan untuk media-media cetak di Jepang umumnya turun 10-20 persen.
Meski demikian, masa depan media cetak di Asia tak bisa disimpulkan secara sederhana karena masing-masing negara memiliki kondisi sosial sekaligus perjalanan sejarah persnya yang unik. Di Indonesia, misalnya, tantangan industri pers sampai tahun 1998 adalah memperjuangkan kebebasan dirinya. Tonggak kebebasan itu ditandai dengan jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998.
Media ikut berperan dalam penetapan agenda-setting perjalanan demokrasi di Indonesia. Dan, menjaga apa yang telah diraih dalam proses reformasi, seperti: memberi peran yang lebih besar bagi masyarakat madani, mencegah militer kembali ke panggung politik, menjamin proses checks and balances di antara tiga pilar kekuasaan, menjunjung penegakan hukum dan penghormatan pada HAM,semua itu menjadi prioritas utama pers Indonesia.
Hal yang sama juga terjadi di Korsel dan India. Perjuangan terhadap kebebasan pers di Korsel berpuncak setelah rezim militer tumbang tahun 1992. Sedangkan di India yang sudah lebih lama memiliki tradisi pers yang demokratis, kontribusi media cetak begitu dominan dalam menentukan arah kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, di sejumlah negara di Asia, roh jurnalisme begitu erat dengan pembangunan demokratisasi.
Sehingga, bisa jadi persepsi tentang "ancaman" terhadap industri pers berbeda dari satu negara dengan negara lainnya. Misalnya saja, mengenai penetrasi new media. "Di India, media internet belum mengancam dominasi media cetak. Bahkan, survei nasional mengenai tingkat keterbacaan justru menunjukkan lonjakan signifikan untuk surat kabar-surat kabar India," kata Unni Rajen Shanker, Editor Eksekutif The Indian Express yang berbasis di New Delhi.
Alasannya mungkin lebih kurang sama dengan situasi di Indonesia. Kedua negara ini masih berjuang melawan tingkat buta huruf. Di Indonesia jumlahnya masih sekitar 11 juta orang, dengan usia 15 tahun ke atas. Di India yang penduduknya lebih dari 1 miliar, angkanya lebih tinggi.
Tingkat akses terhadap internet di India maupun Indonesia pun masih rendah. Hanya sekitar 25 juta orang di Indonesia saat ini yang memiliki akses terhadap internet atau sekitar 11 persen dari populasi yang berjumlah 228 juta orang. Dengan kata lain, kalaupun saat ini media cetak dan televisi kondisinya sedang "berdarah-darah", hal itu lebih dikarenakan faktor resesi ekonomi.
(maf)
Lihat Juga :
tulis komentar anda