Kejahatan Pemilu, Siapa Bertanggung Jawab?
Senin, 01 April 2024 - 08:58 WIB
Sisi lain dari kelemahan UU Pemilu Tahun 2017 yaitu dibedakan antara pelanggaran etik, pelanggaran administrasi, dan pelanggaran pidana tanpa mengkaji sungguh-sungguh makna ketiga jenis pelanggaran tersebut dari aspek penggunaan HAK RAKYAT UNTUK BERDAULAT, YAITU SATU-SATUNYA HAK RAKYAT YANG MASIH UTUH LENGKAP YANG BERBEDA DENGAN HAK RAKYAT UNTUK MEMPEROLEH JAMINAN SOSIAL DAN PERSAMAAN DI MUKA SERTA PERLAKUAN YANG ADIL DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI.
Selain masalah tersebut, masalah pembuktian ada tidaknya pelanggaran pemilu (tiga jenis pelanggaran) tampaknya sangat mustahil mengingat keterlibatan ASN dan Aparatur Negara lainnya yang bersifat TSM dan saksi-saksi yang diliputi ketakutan karena intimidasi dan ancaman fisik baik bagi yang bersangkutan maupun keluarganya.
Selain masalah tersebut juga proses pembuktian sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) memerlukan waktu terbatas sampai putusan, hanya 14 (empat belas) hari, sehingga tidak memungkinkan Majelis Hakim MK dapat bertindak teliti dan jernih serta objektif memberikan penilaian benar salahnya suatu kasus pemilu.
Pembuktian kecurangan pemilu memerlukan saksi-saksi baik saksi di TPS-TPS sampai saksi-saksi Sirekap penghitungan suara TPS-TPS. Memerlukan waktu, tenaga, dan biaya yang tidak sedikit sehingga jika tidak dapat dicukupi dipastikan kejahatan pemilu tidak akan dapat diungkapkan. Jika kemudian terbukti ada kecurangan, maka pihak penyelenggara, KPU secara keseluruhan dan pelaksana tugas pada khususnya bertanggung jawab atas kecurangan tersebut, tidak terkecuali.
(zik)
tulis komentar anda