Tim Hukum Ganjar-Mahfud Ungkap Nepotisme Tidak Boleh Ditoleransi, Ini Alasannya
Rabu, 27 Maret 2024 - 19:25 WIB
JAKARTA - Tim hukum pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Annisa Ismail membeberkan 3 alasan nepotisme tidak boleh ditoleransi. Annisa menilai nepotisme sebagai bentuk pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) tidak boleh sama sekali ditoleransi keberadaannya.
Sebab, hal itu melanggar asas pelaksanaan pemilu khususnya asas bebas, jujur, dan adil. “Dan karenanya menghasilkan pemilu yang tidak berpegang pada nilai konstitusi, padahal pemilu seyogianya berpegang pada nilai konstitusi agar dapat mencerminkan kehendak rakyat sebagaimana dipertimbangkan berbagai negara di Malawi, Zimbabwe dan Austria,” kata Annisa, Rabu (27/3/2024).
Penyebab kedua, kata Annisa, Undang-Undang Tentang Pemilu mendesain dua jenis pelanggaran berdasarkan skala untuk pelanggaran administrasi pemilu dan pelanggaran berdasarkan jenis untuk politik uang. “Nepotisme seyogianya digolongkan sebagai bentuk pelanggaran TSM berdasarkan jenis, yang artinya keberadaannya sekecil apa pun harus dilihat sebagai pelanggaran berjenis TSM karena akibat dan pelakunya menyerupai money politics,” ungkapnya.
Ketiga, lanjut dia, nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) guna memenangkan pasangan calon nomor urut 2 Prabowo-Gibran dalam 1 putaran memiliki dampak yang luas. Sebab, hal itu menimbulkan abuse of power yang terkoordinasi yang dilakukan oleh instrumen kekuasaan.
“Aparat penegak hukum (APH) dijadikan alat kampanye dan pengontrol massa, kementerian dijadikan pembantu presiden untuk urusan pemenangan dengan diberikan target suara, kepala daerah dijadikan tim pemenangan lokal yang mana penolakan akan berujung pada pencopotan dan penyidikan,” ungkapnya.
“Dan kepala desa pun dijadikan ujung tombak pengumpul suara, di mana masing-masing diberikan target bahwa paslon 2 harus mendapatkan lebih dari 50 persen suara, jika tidak maka bantuan sosial tidak disalurkan dan aparat akan memproses mereka secara hukum,” pungkasnya.
Sebab, hal itu melanggar asas pelaksanaan pemilu khususnya asas bebas, jujur, dan adil. “Dan karenanya menghasilkan pemilu yang tidak berpegang pada nilai konstitusi, padahal pemilu seyogianya berpegang pada nilai konstitusi agar dapat mencerminkan kehendak rakyat sebagaimana dipertimbangkan berbagai negara di Malawi, Zimbabwe dan Austria,” kata Annisa, Rabu (27/3/2024).
Penyebab kedua, kata Annisa, Undang-Undang Tentang Pemilu mendesain dua jenis pelanggaran berdasarkan skala untuk pelanggaran administrasi pemilu dan pelanggaran berdasarkan jenis untuk politik uang. “Nepotisme seyogianya digolongkan sebagai bentuk pelanggaran TSM berdasarkan jenis, yang artinya keberadaannya sekecil apa pun harus dilihat sebagai pelanggaran berjenis TSM karena akibat dan pelakunya menyerupai money politics,” ungkapnya.
Ketiga, lanjut dia, nepotisme yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) guna memenangkan pasangan calon nomor urut 2 Prabowo-Gibran dalam 1 putaran memiliki dampak yang luas. Sebab, hal itu menimbulkan abuse of power yang terkoordinasi yang dilakukan oleh instrumen kekuasaan.
“Aparat penegak hukum (APH) dijadikan alat kampanye dan pengontrol massa, kementerian dijadikan pembantu presiden untuk urusan pemenangan dengan diberikan target suara, kepala daerah dijadikan tim pemenangan lokal yang mana penolakan akan berujung pada pencopotan dan penyidikan,” ungkapnya.
“Dan kepala desa pun dijadikan ujung tombak pengumpul suara, di mana masing-masing diberikan target bahwa paslon 2 harus mendapatkan lebih dari 50 persen suara, jika tidak maka bantuan sosial tidak disalurkan dan aparat akan memproses mereka secara hukum,” pungkasnya.
(rca)
Lihat Juga :
tulis komentar anda